Mubadalah.id – Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Banyak orang dengan mudah membagikan potret aktivitasnya, mulai dari makanan yang disantap, tempat yang dikunjungi, pakaian yang dikenakan, hingga rasa galau atau kesal pun kini lebih mudah diekspresikan lewat unggahan, entah dalam bentuk foto, tulisan, atau video.
Menurut Ardiansyah dan Maharani dalam buku Optimalisasi Instagram sebagai Media Marketing, media sosial adalah sarana untuk mempermudah interaksi antar pengguna dengan komunikasi dua arah. Platform ini juga kerap digunakan untuk membangun citra diri dan dimanfaatkan perusahaan sebagai alat pemasaran.
Sementara itu, McGraw Hill Dictionary (2011) yang dikutip oleh Watie menyebut media sosial sebagai wahana untuk menciptakan, berbagi, dan bertukar informasi serta ide di ruang virtual. Kedua pendapat ini menegaskan bahwa media sosial memiliki fungsi strategis, baik dalam kehidupan personal maupun profesional.
Sisi Negatif Media Sosial
Namun, di balik potensi positifnya, media sosial juga menyimpan sisi negatif. Ia bisa menjadi alat penyebar kekerasan, intimidasi, dan ujaran kebencian, terutama terhadap kelompok rentan seperti perempuan. Kasus yang menimpa jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana menjadi salah satu korbannya.
Melansir Poskota.co.id pada Maret 2025, Christy menjadi korban kekerasan digital yang serius. Identitas pribadinya disebarkan (doxing), ia mendapat teror berupa kiriman kepala babi dan berbagai bentuk ujaran kebencian. Bahkan ibunya turut menjadi sasaran serangan.
Serangan ini bukan hanya karena pekerjaannya sebagai jurnalis, tetapi juga karena statusnya sebagai perempuan yang berani menyuarakan isu-isu sensitif seperti kekerasan berbasis gender.
Dalam masyarakat yang masih diliputi budaya patriarki, perempuan yang lantang bicara dianggap mengganggu tatanan. Akibatnya, tak jarang mereka menjadi sasaran empuk intimidasi, baik secara langsung maupun di dunia digital.
Fenomena ini mencerminkan bahwa perempuan masih belum sepenuhnya mendapat ruang aman untuk berekspresi. Ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, yang telah lama mengakar dalam struktur sosial kita, menjadi salah satu penyebab utama.
Perempuan dianggap lemah, emosional, dan lebih cocok berada di ranah domestik. Ketika mereka hadir di ruang publik dan menyuarakan pikirannya, mereka kerap kali dilihat sebagai ancaman.
Perempuan Menurut Islam
Padahal, dalam ajaran Islam, perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang setara. Dalam hadis riwayat Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas, menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah berkata:
“Dulu kami, pada masa Jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam datang dan Allah menyebutkan mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami.”
Hadis ini menggambarkan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap perempuan setelah datangnya Islam. Hak-hak mereka yang sebelumnya diabaikan, mulai dari hak untuk dihormati, hak pendidikan, hingga hak untuk didengar, mulai diakui dan dilindungi.
Sayangnya, nilai-nilai kesetaraan ini belum sepenuhnya hadir dalam praktik keseharian, terutama dalam kehidupan digital.
Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi bebas, justru sering menjadi tempat kekerasan berbasis gender. Tidak sedikit warganet yang dengan enteng melontarkan ujaran kebencian, menyebarkan hoaks, atau menyerang secara pribadi tanpa memikirkan dampaknya.
Kebebasan Berekspresi
Dalam konteks hukum di Indonesia, kebebasan berekspresi tentu diakui. Namun, kebebasan itu tetap memiliki batas. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menegaskan larangan terhadap penyebaran kebencian, pencemaran nama baik, dan penyebaran informasi bohong. Mereka yang melanggar bisa mendapat sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Kasus Francisca Christy adalah bukti bahwa media sosial bisa menjadi medan tempur yang sangat tidak ramah bagi perempuan. Ia mengalami bukan hanya serangan identitas, tapi juga teror simbolik yang menjijikkan dan ujaran kebencian yang berlapis.
Kepala babi, misalnya, adalah bentuk penghinaan yang tidak hanya keji tetapi juga sarat pesan kekerasan. Kekerasan digital semacam ini bisa berdampak panjang terhadap kondisi psikis, sosial, dan profesional seseorang.
Bijak Menggunakan Media Sosial
Kondisi ini menuntut kita semua untuk lebih bijak menggunakan media sosial. Menulis di internet tidak bisa kita lakukan sembarangan. Setiap kata yang kita unggah punya dampak, baik atau buruk.
Maka, penting untuk menumbuhkan empati sebelum mengetik komentar, menjaga tutur kata agar tetap santun, serta menghindari perdebatan yang tidak produktif.
Ketika kita menemukan konten yang mengandung unsur kebencian, kekerasan, atau diskriminasi, kita tidak boleh diam. Laporkan, suarakan, edukasikan diri dan orang sekitar.
Media sosial pada akhirnya adalah cermin dari siapa kita. Ketika digunakan secara bijak, ia bisa menjadi sarana belajar, berbagi, dan memperkuat solidaritas. Namun jika disalahgunakan, ia akan menjadi alat kekerasan baru yang memakan korban dalam diam.
Kita bisa belajar dari kasus Francisca Christy bahwa dunia maya tidak sepenuhnya aman, terutama bagi perempuan yang berani bersuara.
Tapi kita juga bisa belajar bahwa perubahan bisa kita mulai dari hal kecil yaitu dari cara kita berpikir sebelum menulis, dari cara kita memperlakukan orang lain di ruang digital, dari pilihan kita untuk tidak diam ketika melihat ketidakadilan. []