Istilah eco city sudah sangat ramah, namun bagaimana implementasinya pada kasus Rempang? Apakah sudah ramah dan humanis untuk masyarakat?
Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu media sempat memberitakan kejadian miris berupa aksi aparat yang menembakkan gas air mata ke sekolah-sekolah di Rempang. Kasus ini tidak hanya memberikan trauma bagi anak-anak tetapi juga para guru dan masyarakat. Kelompok rentan yang seharusnya mendapat perlindungan.
Menurut pemberitaan, kasus Rempang, Batam tersebut sampai sekarang juga masih belum menemui titik terang. Konflik bermula dari keinginan pemerintah untuk membangun kawasan Eco City. Makna dari eco city sendiri berarti kota ramah lingkungan, yakni pemukiman manusia yang meniru struktur dan fungsi ekosistem alami yang mampu menopang dirinya sendiri.
Definisi ini pertama kali dicetuskan oleh sebuah organisasi nirlaba Ecocity Builders milik Richard Register. Istilah tersebut terdengar sangat ramah. Namun bagaimanakah dengan pengimplementasian proyek eco city itu sendiri? Apakah sudah ramah dan humanis untuk masyarakat?
Proyek yang Menimbulkan Konflik
Pembangunan tersebut tentu saja melibatkan investor dan rencana bertempat di Pulau Rempang, Batam. Namun sayangnya komunikasi yang terjalin dengan masyarakat adat setempat yang sudah bertahun-tahun tinggal di tempat tersebut kurang maksimal.
Puncaknya terjadi konflik antara warga dan aparat yang hendak merelokasi kawasan tersebut. Warga bersikeras untuk tetap mempertahankan tanah adatnya. Sementara pemerintah tetap ingin proyek pembangunan Eco City tersebut terlaksana. Tambahan lagi, tekanan dari para investor yang menginginkan agar lahan sudah kosong mulai tanggal 28 September 2023 ini.
Masyarakat merasa terpaksa dengan adanya relokasi tersebut. Banyak yang melakukan penolakan dengan aksi protes yang menimbulkan ketegangan antara aparat dan warga. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan warga, sehingga jauh dari kata humanis.
Pembangunan yang Mendapat Banyak Sorotan
Banyak pihak yang menyoroti kejadian miris ini. Alih-alih mengayomi dan melindungi masyarakat, ternyata pemerintah malah berpihak kepada investor. Hal demikian akhirnya menimbulkan gejolak di masyarakat Rempang itu sendiri untuk melakukan penolakan yang berujung pada aksi anarkis.
Adanya aksi anarkis pada akhirnya menimbulkan banyak korban. Beberapa anak harus mengalami trauma. Kejadian yang menimbulkan trauma menakutkan dan membutuhkan penyembuhan. Begitu juga beberapa warga yang harus menjalani penahanan oleh pihak kepolisian karena dinilai menjadi provokator.
Mengutip dari detiknews, Komnas HAM yang menyoroti kasus ini menghendaki adanya dialog antara masyarakat dan pemerintah untuk segera dilakukan penyelesaian. Lebih lanjut wakil ketua MPR dalam laman Instagram resminya juga memberikan tanggapan agar investasi harus humanis dan tidak mengorbankan rakyat.
Simpang Siur Pemberitaan
Banyaknya pemberitaan dan simpang siur berita menjadikan konflik Rempang semakin menajam. Terlebih masalah ganti rugi dari pemerintah dan keinginan keras warga untuk tetap bertahan. Bahkan berita terakhir warga menyatakan siap mati terkubur di tanah mereka sendiri demi mempertahankan tanah adat tinggalan nenek moyang.
Di sisi yang lain, pihak pemerintah Batam menyatakan bahwa masyarakat awalnya setuju untuk direlokasi dengan mendapatkan tempat tinggal serta ganti rugi. Terdengar pula bahwa masyarakat tidak bersedia direlokasi meskipun mendapatkan ganti rugi. Lantas mana yang harus dipercayai?
Dari sudut pandang para investor sebagai pemenang proyek pun menanggapi konflik ini sebagai konflik bisnis. Konflik yang berawal dari ketidaksenangan investor asing yang kalah tender. Sehingga melakukan propoganda terhadap masyarakat.
Pembangunan Harus Mengedapankan Sikap Humanis
Sebenarnya kasus seperti ini sudah sering terjadi di negeri ini. Berulangkali masyarakat harus mengalami relokasi dan ganti rugi yang rasanya tidak sebanding. Sehingga hal seperti inilah yang menimbulkan gejolak di masyarakat. Termasuk yang terjadi pada suku Dayak Kalimantan beberapa tahun silam.
Proyek-proyek pemerintah acap kali menggusur pemukiman warga yang sudah tinggal lama di sana. Di mana mereka menggantungkan nasib dari hasil ekonomi di tempat tersebut. Pemerintah saat merelokasi tidak memberikan solusi jaminan lapangan pekerjaan kepada masyarakat, sehingga hal ini memberatkan masyarakat apalagi jika mereka terpaksa.
Proyek-proyek pemerintah harusnya berpihak pada rakyat, karena pemerintah adalah wakil rakyat dan mendapatkan mandat untuk mengelola sumber daya alam yang ada untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat. Setiap keputusan yang Pemerintah ambil haruslah berdasarkan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan partikular dari kalangan elit saja.
Perlu juga mempertimbangkan bagaimana dampak dari relokasi tersebut untuk anak-anak, para perempuan yang tinggal di sana dan juga kelompok rentan lainnya. Sehingga proyek-proyek semacam ini tidak dipenuhi dengan ganti rugi tapi ganti untung.
Negara tidak akan perhitungan untuk memberikan ganti untung yang lebih humanis untuk rakyat, jika saja proyek bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Demikian juga, adanya dialog dan sosialisasi yang memadai antara pemerintah dan masyarakat juga menjadi kebutuhan untuk mencapai kesepakatan dan kemajuan dalam pembangunan bersama. []