Mubadalah.id – Pada hari-hari awal kelahirannya sang ibu, Aminah menyusui Muhammad dengan penuh kasih sayang. Namun kemudian, ia menyerahkan bayi itu kepada Tsuwaibah, sahaya perempuan pamannya, Abu Lahab, untuk menggantikan menyusuinya. Tak ada yang aneh mengenai cara ini.
Orang-orang terhormat dalam tradisi Arabia saat itu acap melakukan cara itu, menyusukan bayinya kepada perempuan lain yang subur, baik dengan memberikan imbalan maupun suka rela. Anak susuan itu kelak akan menjadi “ibu susuan” dan berstatus “mahram” (keluarga sedarah).
Beberapa waktu kemudian, bayi mungil Muhammad itu disusui oleh Halimah al-Sadiyyah, seorang perempuan miskin yang berhati lembut. Nama lengkapnya Halimah binti Abdullah bin Al-Harits As-Sa’diyah.
Suaminya bernama Al-Harits bin Abdul Izzi bin Rifa’ah As-Sadi. Anak-anaknya adalah Abdullah, Anisah, dan Khadzdzamah. Anak-anak Al-Harits adalah saudara sepersusuan Nabi Saw. Halimah juga menyusui Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muththalib.
Ia menerimanya dengan senang hati. Halimah amat bahagia. Dengan menyusui bayi Muhammad itu hidupnya berangsur lebih baik dan terus membaik. Ternak kambingnya yang semula kurus tiba-tiba menjadi gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah-tambah saja.
Bayi mungil yang tampak tampan itu telah memberinya berkah berlimpah ruah kepadanya. Halimah mengasuhnya selama dua tahun. Ia kemudian mengembalikannya kepada sang ibu, meskipun ia masih menginginkannya, karena berkah yang melimpah pada anak itu.
Mengasuh Muhammad
Aminah mengasuhnya dengan penuh kasih sampai usia Muhammad (saw.) kira-kira 6 tahun. Anak dalam usia ini tentu sangat lucu, menyenangkan sekaligus menggemaskan.
Tebersit dalam pikiran sang ibu keinginan untuk berziarah ke pusara ayah sang anak, dan paman-pamannya yang wafat di Madinah. Boleh jadi ia ingin menunjukkan kepada Abdullah, suaminya, akan buah hati mereka berdua itu, meski tentu saja tidak mungkin, karena ayah anak itu telah lama pulang.
Andaikata suaminya masih ada, ia mungkin akan mengatakan kepadanya dengan bangga: “Sayangku, ini buah hati dan hasil cinta kasih kita berdua.”
Ketika keinginan dan kerinduan itu begitu kuat, ia pun bertekad pergi ke Madinah dengan membawa serta anak yatim yang telah bisa berjalan meski belum cukup gesit dan cepat itu.
Dalam perjalanan pulang dari ziarah itu, Aminah sakit dan tak lama kemudian wafat menyusul suaminya. Ia meninggal di Abwa, sebuah desa antara Makkah dan Madinah.
Muhammad, anak laki-laki tampan itu kini kehilangan orang-orang yang menjadi penyangga hidup dan pelabuhan hatinya. Ia kini jadi yatim-piatu. []