• Login
  • Register
Jumat, 16 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Keluarga Sebagai Ruang Aman Tidak Hadir di Dunia Samantha

Keluarga tempat paling aman? Lebih baik kita penuhi hak korban untuk menyuarakan pengalamannya. Itu jauh lebih baik daripada menjustifikasi korban dengan ribuan dalil.

Miftahul Huda Miftahul Huda
02/11/2020
in Keluarga, Kolom
0
kawin anak di masa pandemi
160
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Keluarga adalah madrasah al-ula; tempat mengadu paling nyata ketika hidup terasa begitu tak adil; tempat paling aman dari segala bentuk kejahatan. Di dalamnya ada ibu, orang yang bersusah payah menjaga keseimbangan rumah; ada ayah, orang yang “memaksa diri” berada di garis terdepan ketika ancaman datang; ada saudara-saudari yang saling menguatkan dengan bahasa kasih-sayang.

Bangun pagi lalu saling mengingatkan sarapan. Baju sekolah yang sudah “disiapkan” oleh ibu. Segala kebutuhan keluarga sudah “dipenuhi” oleh ayah. Sebagai anak hanya bertugas bersekolah, belajar, dan berbakti.

Tatanan keluarga ideal, aman, dan harmonis seperti itu tidak akan ditemukan di dalam kehidupan Samantha C. Weaver. Ia membukukan pengalamannya dengan judul Saving Samantha (2007). Hanya akan menemukan dunia yang disusun dari kekerasan, siksaan, kesakitan, dan pelecehan ketika membacanya.

Samantha adalah seorang anak perempuan yang diseret menjadi dewasa oleh keluarganya. Ia dipaksa kuat menghadapi kejamnya dunia yang diciptakan orang tuanya sendiri, secara khusus ayahnya. Sejak kecil, Samantha tidak pernah mendapatkan pelukan, ucapan kasih sayang ataupun sedikit pujian atas apa yang dilakukannya. Hanya ada wajah ayah yang beringas dan ibu yang terpaksa mengimitasi sikap ayahnya karena takut.

Semakin hari, ibu yang pengasih hanya diyakini Samantha sebagai kisah dari negeri dongeng; setelah ibunya memilih zona amannya sendiri daripada memberontak dan melindungi anak-anaknya. Bahkan, tamparan dan amukan mudah sekali mendatangi Samantha (h. 71).

Baca Juga:

Peran Penting Ayah di Masa Ibu Menyusui

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

Ayah sebagai pelindung keluarga?

Samantha akan jijik dan mual sekaligus kesal jika harus mengingat wajah ayahnya, apalagi dibubuhi “sebagai pelindung”. Sebaliknya, ayahnya lebih menyerupai algojo abad ke-19 yang digambarkan oleh Foucault daripada seorang pelindung.

Cekikan dan bantingan adalah hal “lumrah” yang diterima Samantha dari ayahnya. Bahkan ayahnya tidak pernah meragukan kredibilitas atas kesalahan yang dituduhkan orang lain kepada Samantha. Berbeda jika Samantha mencoba menjelaskan, semua akan dianggap kebohongan; lebih tepatnya, ayah Samantha tidak pernah memiliki rasa percaya pada anaknya (67).

Jijik dan mual, adalah ekspresi natural Samantha jika harus mengingat pelecehan yang dilakukan oleh ayahnya—yang disadari Samantha di kemudian hari.

Barangkali beberapa hal yang dialami Samantha berikut akan masuk dalam term “mahram”, sehingga bukan menjadi masalah. Seperti menarik handuk yang dililitkan ditubuh Samantha; atau memeluk dan memegang dada Samantha (h. 61); atau juga ketika ayahnya memaksa Samantha untuk membuka sweater dan singlet dan menggeranyangi dadanya, karena harus memastikan benjolan (penyakit) yang tumbuh di sana.

“Aku menghadap ke luar jendela, marah karena benjolan itu bukan kanker, dan aku tidak akan mati,” ucap Samantha yang berharap itu adalah kanker dan membuatnya mati untuk lepas dari semua siksaan keluarga (h. 64).

Kekerasan dalam lingkaran setan keluarga barangkali membuat orang menyeletuk, “Kenapa tidak lapor?” atau, “Kenapa tidak mengadu?” mungkin juga, “Kenapa tidak melarikan diri?”—paling tidak, penanya masih mengakui korban, tapi tidak mentolelir sikap abainya terhadap relasi kuasa.

Keluar dari lingkaran kekerasan di dunia Samantha bukanlah perkara mudah. Apalagi hidup terisolasi dan belajar di lingkungan sekolah yang tak kalah kejamnya dengan keluarga. Jarang ada orang yang ke rumah, baik teman ibunya atau ayahnya untuk menengok keadaan rumah Samantha. Aduan yang berhasil diterima guru Samantha hanya dimentahkan oleh ibunya, ketika Jocelyn, kakak Samantha, didapati bekas lecutan ditubuhnya. Oleh karena itu, Dinas Sosial tidak pernah melanjutkan kasusnya (h. 38).

Ada banyak hal yang membuat kita sadar melalui pengalaman Samantha, anak di bawah 16 tahun, bahwa keluarga tidak mutlak menjadi tempat aman dan nyaman. Ada berbagai faktor yang berkelindan yang membuat anak menjadi korban kekerasan dan memilih kematian sebagai jalan keluar. Pertama, karena orang tua yang kaku dan mewarisi kekerasan dari orang tuanya dulu (h. 1)—tapi ini bukan melegitimasi bahwa kekerasan layak diwariskan.

Kedua, maskulinitas akut dari diri orang tua. Seperti, menundukkan anak—yang lebih mirip perbudakan—karena merasa membiayai hidupnya. Dan ini lebih sering menjadi legitimasi kekerasan. Kemudian memaksa anak untuk mensyukuri apa yang telah dimiliki dengan mengutip nasib orang lain yang kurang beruntung (h. 45). Ini yang membuat Samantha selalu pesimis untuk keluar dari rumah, karena pikirannya sudah tertanam dogma bahwa di luar lebih keras dari pada di dalam keluarga.

Ketiga, membatasi ruang sosial anak dan merasa keluarga adalah satu-satunya kebenaran. Kondisi ini yang membuat Samantha terisolasi di lingkaran setan, dan berasumsi: bercerita kepada orang lain tentang pengalaman pribadi hanya akan menimbulkan masalah baru.

Ketiga masalah tersebut berkelindan dan membuat Samantha tumbuh bersama depresi (bukan psikosis)—dengan gejala-gejala seperti, kemerosotan semangat dalam waktu cukup lama, susah berkonsentrasi, tidak ada yang membuat bahagia, merasa tidak berharga dan mencoba bunuh diri (h. 91).

Samantha dewasa telah tumbuh dan berhasil meloloskan diri dari sergapan pelaku kekerasan. Lalu, ia menuliskan kisahnya dalam buku Saving Samantha agar anak atau orang-orang yang senasib bisa keluar dari lingkaran setan kekerasan. Bagi orang tua atau yang terindikasi sebagai pelaku kekerasan, pengalaman Samantha perlu dibaca untuk berelasi secara seimbang dan menghargai kedirian orang lain—terkhusus orang tua kepada anak, hak mereka harus dipenuhi.

Ruang privat (keluarga) sering dinomor-sekiankan dalam list “ruang kekerasan”, karena romantisasi orang tua sebagai penyayang dan harus dihormati. Ortodoksi semacam itu akan menendang keluar keluarga dalam list ruang kekerasan, bahkan sebelum list itu disusun.

Pembentuk list (stakeholder) perlu untuk mengurai relasi kuasa yang bersemayam di dalam keluarga. Karena dengan itu, kesangsian terhadap kekerasan di dalam keluarga bisa “didepak” terlebih dahulu ketika menyusunnya; kemudian memasukkan keluarga dalam list ruang kekerasan. Dengan begitu, menolong korban-korban yang tersekap dan dibisukan oleh tembok keluarga bisa berjalan. []

Tags: anakKekerasan seksualkeluargaorang tuaparentingpsikologi
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Solusi Kemiskinan

Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nakba Day; Kiamat di Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami
  • Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan
  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!
  • Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban
  • 5 Kewajiban Suami untuk Istri yang sedang Menyusui

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version