Mubadalah.id – Sebagaimana halnya laki-laki, perempuan juga memiliki seluruh potensi kemanusiaan seperti akal yang berpikir, naluri yang merasa, dan tubuh yang bergerak.
Bentuk kelamin perempuan boleh berbeda dari bentuk kelamin laki-laki, namun mereka bisa memiliki rasa yang sama dalam cintanya kepada yang lain dan dalam cita-citanya yang tinggi.
Sayangnya, sampai hari ini dalam realitas kehidupan sosial-politik, bermasyarakat-berbangsa, dapat disaksikan dengan kasat mata begitu banyak perempuan yang belum sepenuhnya memperoleh kemerdekaan sebagaimana yang dimiliki lawan jenisnya.
Perempuan acapkali harus mengalami pembatasan dan stereotype yang merendahkan. Fakta kebudayaan sejauh ini masih cenderung memposisikan perempuan sebagai makhluk domestik dan marjinal.
Seorang istri yang hendak keluar rumah harus meminta izin suami, sementara bagi suami tidak ada keharusan sosial dan keagamaan untuk meminta izin istri saat keluar rumah. Kehidupan perempuan juga masih harus tergantung kepada laki-laki dalam banyak aspek.
Peran-peran perempuan tereduksi dan terbatasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan pikiran cerdas dan tenaga yang kuat.
Di sejumlah negara Islam, semisal Arab Saudi, perempuan belum bisa memasuki peran politik praktis baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Hal tersebut terjadi bukan karena tidak ada perempuan yang memiliki kualifikasi untuk memainkan peran dan tanggungjawab pada posisi-posisi politik tersebut. Tetapi karena di sana terdapat pandangan kebudayaan yang membatasi gerak perempuan.
Politik Nasional
Dalam setiap perhelatan politik nasional di Indonesia, hak politik perempuan masih selalu saja menjadi perdebatkan. Perempuan yang ingin mendapatkan hak-hak politik dan publik justru mendapat label negatif di banding laki-laki.
Para perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak cerdas, keluarganya akan berantakan, memicu hasrat seksual, selingkuh, menimbulkan fitnah, dan sebagainya.
Hal paling menyedihkan dewasa ini adalah kecenderungan peradaban baru yang mengarah pada kembalinya praktik perbudakan dengan nama Human Trafficking (Perdagangan Orang).
Dari banyak praktik perdagangan perempuan dan anak adalah korban dengan jumlah paling besar. Praktik perdagangan perempuan dikenal dengan nama Trarfficking in Women. Hal ini lah yang melukai prinsip kemanusiaan kita.
Tubuh perempuan dalam trafficking menjadi komoditas bagai benda yang bisa tereskploitasi, rendah dan distorsi hak-haknya.
Informasi dari laporan internasional sempat menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus trafficking yang besar.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus buruh migran. Jutaan perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. []