Mubadalah.id – Konsepsi aurat sebagaimana kata fitnah masih menjadi problem yang melekat pada perempuan, sehingga ia selalu menjadi sumber masalah ketika memiliki aktivitas di lua rumah.
Lalu bagaimana memaknai konsepsi aurat dalam perspektif mubadalah?
Ungkapan “perempuan aurat” merujuk pada pernyataan Nabi Muhammad Saw.:
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., dari Nabi Saw., bersabda: “Perempuan itu aurat, ketika ia keluar (dari rumah). Maka setan akan menyambutnya (menggodanya berbuat dosa dan mengajaknya menggoda orang lain untuk berbuat dosa)”. (Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Radha’, no. 1206).
Kata aurat ini sering diartikan sebagai keburukan atau sesuatu yang dianggap tidak pantas ditampakkan. Dari sinilah lahir konsepsi “perempuan adalah aurat” untuk melarang mereka dari segala aktivitas publik.
Syekh al-Ghazali, ulama kharismatik al-Azhar dari Mesir, sangat menyayangkan banyak penceramah di negaranya yang melarang mutlak perempuan keluar rumah.
Dalam ceramah mereka, yang Syekh al-Ghazali sayangkan, perempuan hanya boleh keluar dari rahim ibunya, dari rumah orangtuanya ke rumah suaminya. Dan dari rumah suaminya ke liang lahat. Sisanya, perempuan adalah aurat yang harus tinggal di dalam rumah saja.
Padahal, perempuan adalah manusia utuh yang berhak atas segala manfaat dari kehidupan publik di luar rumah, untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, shalat, bekerja agar bisa berzakat, dan seluruh aktivitas sosial, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an (QS. al-Taubah (9): 71).
Perempuan adalah hamba Allah Swt. dan khalifah-Nya yang memperoleh mandat langsung sebagai manusia untuk melakukan kerja-kerja kebaikan dan kemakmuran di bumi secara luas. Baik di dalam maupun di luar kehidupan rumah tangga (QS. al-Ahzab (33): 71: QS. al-Baqarah (2): 30: QS. al-An’am (6): 165, QS. Yunus (10): 14: dan QS. Hud (11): 61). []