Mubadalah.id – Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah menjelaskan bahwa nilai dasar dari perspektif mubadalah adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai subjek penuh di hadapan teks-teks otoritatif agama. Artinya, ketika teks-teks keagamaan berbicara tentang kemaslahatan publik, kepemimpinan, atau kebijakan sosial.
Maka keduanya, baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama diposisikan sebagai pihak yang berhak, berperan, dan bertanggung jawab.
Salah satu kaidah fikih yang sangat mendasar tentang kepemimpinan berbunyi: “Tasharruf al-imâm ‘ala al-ra‘iyyah manâthun bi al-mashlahah.”
Artinya, “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya harus didasarkan pada kemaslahatan mereka.”
Kaidah ini selama berabad-abad menjadi pijakan bagi ulama dalam memahami etika politik Islam. Namun, sebagaimana pandangan Kiai Faqih bahwa tafsir yang selama ini berkembang sering kali bias gender. Karena secara historis, posisi pemimpin lebih banyak adalah laki-laki.
Padahal, jika kita menggunakan tafsir mubadalah, maka “pemimpin” di sini tidak hanya berarti laki-laki. Melainkan perempuan pun berhak dan mampu menjadi pemimpin, sejauh ia menunaikan tanggung jawab untuk menghadirkan kemaslahatan.
Begitu juga konsep “rakyat” dalam kaidah ini tidak boleh kita pahami hanya dari kacamata patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai objek kebijakan. Melainkan juga sebagai subjek yang aktif berpartisipasi dalam perumusan, pengawasan, dan penerapan kebijakan publik.
Dengan demikian, kemaslahatan publik tidak akan benar-benar menjadi maslahat jika perempuan tidak terlibat. Baik dalam proses perumusan maupun dalam penerimaan manfaatnya. Sebab, kemaslahatan yang meniadakan separuh umat manusia bukan kemaslahatan, melainkan ketimpangan. []