Mubadalah.id – Di Kalimantan Barat, kelompok yang paling dekat dengan sumber penghidupan seperti tanah, air, dan hutan adalah perempuan. Perempuan menanam, mengambil air, memasak, dan merawat keluarga. Kedekatan ini bukan sekadar simbol, melainkan praktik sehari-hari dalam merawat lingkungan.
Bagi perempuan, tanah bukan hanya lahan. Ia adalah ibu yang memberi rasa aman. Dari rahim tanah itu, kehidupan dirawat dan dijaga. Karena itu, ketika lingkungan rusak, perempuan menjadi kelompok pertama yang merasakan dampaknya. Mereka bukan hanya kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga kehilangan rasa aman.
Ketika tanah dirampas dan dialih fungsikan menjadi pertambangan, bangunan, atau perkebunan skala besar, ruang hidup perempuan ikut menyempit. Lahan untuk bertani berkurang, air tercemar, dan sumber pangan semakin terbatas.
Kerusakan tanah cepat terasa dalam kehidupan sehari-hari perempuan. Air yang dulu mudah diambil kini sering kali tidak lagi aman digunakan. Untuk mencuci, memasak, dan mandi, perempuan harus berjalan lebih jauh atau menunggu air hujan. Waktu dan tenaga mereka tersita, sementara pekerjaan domestik tetap harus diselesaikan.
Situasi ini bukan cerita tunggal. Melansir dari MOngabay.id, di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, sebelum pertambangan batubara beroperasi, perempuan dapat mengambil air bersih langsung dari anak Sungai Malinau di dekat rumah.
Namun, setelah sungai tercemar limbah tambang, mereka harus menempuh perjalanan sekitar 10–20 menit menuju anak sungai lain untuk memenuhi kebutuhan air harian. Jumlah air yang dibawa pun terbatas, sehingga perempuan harus bolak-balik mengambil air ketika kebutuhan meningkat.
Akses Air
Akses air PDAM yang disediakan perusahaan sebagai kompensasi tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Air baku tetap bersumber dari sungai yang tercemar, alirannya tidak selalu lancar, dan hanya menjangkau wilayah hilir.
Perempuan yang tinggal di hulu terpaksa membeli air atau menggunakan air tercemar untuk mandi, meski berisiko terhadap kesehatan. Kondisi serupa juga dialami perempuan di Sanga-sanga, Kutai Kartanegara, ketika sumur-sumur warga tercemar akibat limpasan limbah tambang yang mengalir melalui drainase di sekitar permukiman.
Kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan tidak berhenti pada kesulitan sehari-hari. Ketika tanah kehilangan daya serap akibat alih fungsi lahan dan eksploitasi, risiko bencana ikut meningkat. Hujan yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru berubah menjadi ancaman.
Banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang pada November 2025 menjadi salah satu contohnya. Air naik dengan cepat dan merusak rumah-rumah warga, menghanyutkan barang, serta sumber penghidupan dalam waktu singkat.
Peristiwa ini kerap disebut sebagai musibah alam, padahal peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari kerusakan alam yang dilakukan oleh orang yang rakus dan tidak bertanggungjawab.
Dalam situasi bencana, perempuan kerap memikul beban yang paling berat. Di tengah rumah yang rusak atau pengungsian yang serba terbatas, merekalah yang bertugas untuk memastikan kehidupan tetap berjalan, mulai dari menyiapkan makanan, merawat anak-anak, dan menjaga keluarga agar tetap bertahan.
Kerja-kerja perawatan ini sering mereka anggap hal sepele, padahal dalam situasi serba terbatas, peran ini makin sulit ia lakukan.
Air Bersih
Beban itu juga makin terasa ketika berkaitan dengan pengalaman reproduksi perempuan. Kebutuhan dasar seperti pembalut, air bersih, hingga layanan kesehatan bagi ibu hamil dan menyusui kerap terpinggirkan dalam penanganan bencana. Perempuan harus mengelola tubuh dan reproduksinya dalam situasi darurat yang tidak ramah, sembari tetap memikul tanggung jawab merawat orang lain.
Oleh karena itu, kerusakan lingkungan sangat berdampak pada kehidupan perempuan, karena merekalah yang sehari-hari berhubungan langsung dengan sumber penghidupan (tanah dan air). Hilangnya ruang hidup bukan hanya soal kerusakan alam, tetapi juga hilangnya rasa aman dan kendali atas kehidupan.
Isu lingkungan tak pernah netral gender. Ia selalu bersinggungan dengan keadilan bagi perempuan. Melibatkan perempuan dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan bukan sekadar soal partisipasi, melainkan pengakuan atas pengetahuan, pengalaman hidup, dan kerja-kerja perawatan yang selama ini menopang keberlangsungan kehidupan.
Sebaliknya, menyingkirkan perempuan dari proses penjagaan alam berarti menutup mata terhadap pengetahuan ekologis yang telah mereka rawat dan wariskan, sekaligus menjadi bentuk pengkhianatan atas relasi panjang perempuan dengan alam. []








































