Mubadalah.id – Salah satu Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an, kesaksian perempuan dan laki-laki sesungguhnya lebih didasarkan pada faktor kapabilitas dan integritas, bukan faktor jenis kelamin.
Nyai Badriyah menyebutkan, jika mengakui perempuan kapabel dan integritasnya, maka kesaksiannya tidak perlu mempertanyakannya. Bahkan jika ia bersaksi seorang diri.
Bukti nyata dari hal ini adalah ketika Rasulullah saw menerima kesaksian seorang perempuan yang datang bersaksi bahwa dua orang calon mempelai yang akan menikah adalah anak-anak sesusuannya.
Mendengar kesaksian ini, Rasulullah langsung membatalkan rencana pernikahan tersebut. Rasulullah menerima kesaksian seorang perempuan yang beliau percaya integritasnya dan memiliki kapabilitas.
Serta kapasitas untuk memberi kesaksian karena ia adalah pelaku langsung.
Di kalangan ahli hadis pun, Nyai Badriyah mengungkapkan, kesaksian perempuan tidak mempersoalkannya. Yang menjadi pertimbangan, lagi-lagi adalah soal integritas dan kapabilitas yang berlaku juga untuk kesaksian laki-laki.
Para istri Nabi tidak perlu mendatangkan orang lain untuk memperkuat kesaksiannya tentang perkataan dan perbuatan yang Nabi mengetahui.
Demikian juga sahabat perempuan lain yang terkenal integritas dan kapabilitasnya. Bahkan ada pengakuan jujur dari kritikus hadis terkemuka, adz-Dzahabi dalam kitabnya yang berisi kritik terhadap para perawi hadis, “Mizan al-I’tidal”.
Beliau mengakui bahwa dari 400-an perawi yang tertuduh dusta di dalam hadis, dan tidak ada satu pun nama perempuan yang masuk di dalamnya.
Dengan melihat ragam ayat dan fakta sejarah yang terekam dalam khazanah hadis sebagaimana di atas.
Maka, Nyai Badriyah mengingatkan sekali lagi bahwa masalah kesaksian dalam Islam tidak relevan jika alasan kesaksian itu untuk mendiskriminasi atau mensubordinasi perempuan.
Kalaupun masih ada pemahaman yang cenderung demikian, rasanya perlu melihat kembali ayat-ayat dan hadis-hadis secara komprehensif sekaligus memahami ruh, substansi, dan tujuan dari nash-nash tersebut.
Sehingga Islam yang pada hakikatnya ramah terhadap perempuan tidak menjadi sebaliknya akibat pemahaman umatnya sendiri. (Rul)