Sampai hari ini, cuti haid dan cuti hamil masih menjadi agenda perjuangan para aktivis perempuan. Kesempatan perempuan untuk menjalankan hak reproduksinya baru diberi batas waktu tiga bulan oleh kebijakan resmi di negara kita, yakni untuk melahirkan, menyusui dan merawat bayi pasca persalinan.
Pemberian ASI Eksklusif selama empat bulan sudah gencar dikampanyekan. Namun kampanye itu masih belum bisa terimplementasi secara nyata karena belum diikuti oleh kebijakan “cuti ASI Eksklusif”. Itulah realita kesenjangan antara wacana dan kebijakan tentang kesehatan reproduksi (kespro) perempuan di Indonesia dan banyak negara lain yang sudah gencar menyuarakan pentingnya perlindungi hak reproduksi.
Ketentuan Allah
Berbeda dengan kebijakan manusia, ketentuan Allah SWT untuk perempuan yang sedang menjalani proses reproduksinya sungguh sangat nyata dan konsisten melindungi perempuan. Perlindungan hak reproduksi perempuan diberikan secara total agar perempuan bisa paripurna menjalankan fungsi reproduksinya, mulai haid, hamil, melahirkan, hingga menyusui.
Beragam ketentuan Allah diturunkan sebagai bentuk affirmative action kepada kaum perempuan. Haid, nifas, hamil dan menyusui selalu berimplikasi pada hukum yang bersifat “pengkhususan”. Haid dan nifas membebaskan perempuan dari dua kewajiban rukun Islam, yakni shalat dan puasa.
Untuk shalat bahkan pembebasan kewajiban itu tanpa syarat. Tak ada qadha shalat bagi perempuan yang sedang haid dan nifas. Siklus reproduksi yang ditandai dengan keluarnya darah setiap bulan atau setelah melahirkan ini bagi sebagian perempuan mengundang rasa sakit. Bagi sebagian yang lain menjadikan emosi tidak stabil.
Yang pasti setiap perempuan mengalami rasa tidak nyaman saat haid dan nifas dalam beragam bentuknya. Semua itu adalah kodrat dari Allah untuk perempuan dalam rangka menjaga keberlangsungan hidup manusia.
Dengan “pengorbanan rutin” itu, kerahimanNya menyertai perempuan setiap kali mengeluarkan darah dari rahimnya. Allah pun memberikan “cuti shalat”, hal yang sesungguhnya merupakan pokok agama, tanda ketaatan hamba kepada Tuhannya, dan hak Allah sebagai al-Ma’bud (Yang Disembah).
Bebas Memilih
Hamil dan menyusui juga menjadikan perempuan bisa memilih, apakah ia berpuasa Ramadhan atau tidak. Ia bebas memilih sepanjang masa hamil dan menyusui itu. Tak hanya tiga bulan atau empat bulan. Jika ditotal masa hamil sembilan bulan dan masa menyusui dua tahun, maka total masa “bebas memilih” berpuasa atau tidak adalah dua tahun sembilan bulan atau 33 bulan.
Bandingkan dengan kebijakan negara yang hanya memberi waktu cuti melahirkan 3 bulan! Demi menjaga kualitas kesehatan reproduksinya dan melindungi kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkannya, perempuan diberi masa bebas memilih oleh Allah sebelas kali lipat yang diberikan negara. Subhanallah.
Meskipun “cuti puasa” tidak menggugurkan kewajiban perempuan haid, nifas, hamil dan menyusui untuk berpuasa qadha di saat yang lain, tetap saja adanya pilihan “cuti puasa” merupakan simbol kerahiman Allah terhadap kaum perempuan dan anak.
Kebebasan perempuan untuk memilih “cuti puasa” atau tidak sesuai keadaan dirinya adalah juga bukti bahwa keadaan perempuan merupakan alasan utama perumusan hukum dalam syariat. Bandingkan dengan negara yang jarang bahkan sering tidak menjadikan keadaan perempuan sebagai dasar perumusan kebijakan!
Bandingkan pula dengan kebiasaan yang berlaku di sebagian masyarakat yang tidak menganggap masa reproduksi sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan! Apa yang terjadi? Ibu dibiarkan menjalani proses reproduksinya sendiri.
Kurang perhatian saat hamil, tak didampingi saat melahirkan, tak disupport gizi dan perhatian memadai saat menyusui, bahkan dibiarkan merawat dan mengasuh anak sendiri sambil mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tampak sekali kesenjangannya dengan perlakuan Allah, bukan?
Qadha dan Tidak Qadha
Lagi-lagi kebijaksanaan Allah tampak dalam tidak adanya kewajiban qadha shalat dan adanya kewajiban qadha puasa. Dalam fikih qadha shalat mengandung makna sanksi atas keterlambatan. Haid dan nifas bukan keadaan yang patut diberi sanksi karena ia adalah anugerah dan kodrat Allah kepada perempuan.
Secara praktis pun, andai shalat yang ditinggalkan saat haid dan nifas wajib diqadha, sungguh repot perempuan. Baru selesai mengqadha shalat saat haid yang lalu sudah datang siklus haid berikutnya. Tanpa qadha shalat, perempuan selalu menjalani shalat saat ia tidak sedang haid atau nifas.
Berbeda dengan qadha shalat, qadha puasa lebih bermakna netral, yakni sebagai pengganti puasa yang tidak dilakukan karena memang diperbolehkan. Para ulama sepakat sanksi bagi yang tidak puasa karena sengaja melanggar atau perbuatan dosa adalah kaffarat.
Haid, nifas mewajibkan perempuan untuk tidak puasa. Hamil dan menyusui memberi pilihan kepada perempuan untuk berpuasa atau tidak. Semua siklus reproduksi ini menempatkan perempuan dalam posisi baik dan benar. Maka, perempuan pun wajib mengqadha puasanya agar bisa meraih kesempurnaan puasa yang hanya sebulan dalam setahun.
Sebaliknya jika tidak ada qadha puasa, perempuan berpotensi tidak bisa merasakan nikmatnya ibadah shaum yang hanya untuk Allah itu. Tahun ini hamil, dua tahun ke depan menyusui, tahun depannya hamil lagi, dan seterusnya. Bisa jadi selama lima belas tahun setiap Ramadhan perempuan dalam siklus reproduksi.
Maka, adanya kewajiban qadha puasa dengan waktu yang diserahkan kepada perempuan dalam rentang satu tahun itu menunjukkan bahwa di tengah fleksibilitas waktu puasa, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengasah spiritualitas dan solidaritas yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang berpuasa. Subhanallah!
Meniru Kerahiman Allah
Kita pun lantas bertanya mengapa hingga hari ini cuti haid, cuti hamil, cuti menyusui begitu jauh gapnya dengan cuti reproduksi yang diberikan Allah? Jawabnya karena para pengambil kebijakan tidak menjadikan keadaan riil perempuan dan perlindungan anak sebagai pertimbangan utama, serta tidak menjadikan keberlangsungan hidup umat manusia sebagai sesuatu yang membutuhkan perlakuan khusus negara.
Benefit institusi dan produktifitas kerja masih lebih penting dibandingkan perlindungan perempuan dan anak demi keberlangsungan hidup manusia. Sudah semestinya kemaharahiman Allah dalam memperlakukan perempuan yang menjalani masa reproduksinya ditiru dan diterapkan dalam kebijakan negara dan kultur rumah tangga, meski tidak “serahim” Allah yang menjadikan proses reproduksi sebagai “dispensasi penyembahan diriNya”.
Bukankah memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak saat proses reproduksi di hari ini sama dengan investasi untuk masa depan anak bangsa yang berkualitas? Di saat negara-negara maju mengalami “surplus manula” yang kian lama kian akut, bukankah ini saat yang tepat bagi Indonesia untuk menyiapkan diri “memimpin dunia masa depan” dengan perhatian total pada kesehatan reproduksi perempuan dan perlindungan premium bagi anak sejak dalam kandungan? []