Mubadalah.id – Perceraian merupakan problematika rumah tangga yang seringkali dianggap tidak seimbang karena lebih menuntut dan memberatkan perempuan. Dalam bingkai agama, Perempuan dilarang untuk meminta cerai dan hanya suamilah yang berhak untuk menceraikan istrinya, atau kata lain mentalak istrinya. Di Indonesia, khususnya Pengadilan Agama, perempuan mempunyai hak untuk mengajukan cerai kepada suaminya yang diistilahkan sebagai ‘Cerai Gugat’.
Dalam Islam, istilah talak dan cerai memiliki perbedaan
Menurut Al Jaziry, talak terdefinisikan sebagai menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Pihak yang berhak dan sah menggunakan kata-kata adalah pihak suami yang berniat menjatuhkan talak. Tetapi jika suami menggunakan kata-kata tersebut tetapi tidak berniat untuk menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tersebut tidak jatuh.
Sedangkan perceraian kita definisikan sebagai putusnya perkawinan karena khulu’ (membayar ganti rugi kepada suami), zhihar (menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami), ila (sumpah suami untuk tidak mendekati istri), li’an (menuduh istrinya berbuat zina). Dalam hal ini pun putusnya perceraian sah ketika laki-laki sudah mentalak istri. Dengan kata lain, istri hanya meminta suami untuk mentalaknya.
Menurut ibnu Qudamah, perceraian dari istri kepada suaminya lebih condong pada istilah khulu’. Yang mana tidak ada unsur problematika yang terjadi di rumah tangganya. Hal ini juga menjadi rujukan bagi istri yang tidak mendapat kebahagiaan atau kenyamanan dalam pernikahan maka bisa mengajukan untuk khulu’ (menceraikan suami).
Tetapi dalam agama, menganjurkan untuk tidak dengan mudahnya menjatuhkan perceraian sebagai jalan keluar utama dalam menyikapi problematika keluarga. Karena ada risalah yang mengatakan bahwa jika perempuan yang meminta cerai tanpa sebab akan terjauhkan dari surga. Begitupun dengan laki-laki yang berniat menceraikan istri tanpa sebab juga memperoleh ancaman serupa.
Tidak hanya laki-laki, perempuan juga bisa memutus perkawinan
Risalah ini mengantarkan pada pemikiran keseimbangan perempuan dan laki-laki dalam perceraian. Di mana nantinya akan sama-sama jauh dari surga ketika mereka melakukan hal tersebut. Narasi seimbang ini dapat kita temukan pada Hadis Shahih Muslim, no.3721.
Hal ini menegaskan bahwa istri mempunyai hak yang legal untuk lebih dahulu meminta berpisah atau bercerai. Bolehnya perempuan mengajukan perceraian terlebih dahulu sudah dalam aturan Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi :
“Gugatan Perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”
Dari data laporan Statistik Indonesia prosentase perceraian yang pihak istri ajukan mengalami kelonjakan lebih dari 10% setiap tahunnya. Lalu tahun 2022, 91.53% merupakan perceraian gugatan dengan kata lain istri yang mengajukan perceraian. Terakhir, 8.46% merupakan cerai talak dengan kata lain pihak laki-laki yang mengajukan perceraian.
Pandangan Mubadalah tentang Perceraian
Dalam buku Qira’ah Mubadalah karya Dr. Kiai Faqihudin Abdul Kodir ini menerangkan bahwa perempuan diberikan kesempatan untuk menceraikan suaminya yang berpaling kepada perempuan lain, lalu berkeinginan menikahinya (poligami). Hal ini secara tegas dan jelas dalam QS. an-Nisaa’ ayat 128-130.
Dalam tafsirannya, bisa jadi perceraian ini justru akan membuat perempuan lebih mandiri dan tercukupi. Baik dari segi ekonomi maupun psikologi. Memang tak sedikit perceraian banyak berdampak buruk. Terutama jika keduanya sudah memiliki anak.
Dalam banyaknya aspek di keluarga, ketersalingan perempuan dan laki-laki akan menjadi kunci berjalan baik dan harmonisnya sebuah keluarga. Problematika krusial relasi pernikahan akan mudah terselesaikan jika keduanya berkomitmen dengan lima pilar relasi. Yaitu ikatan yang kokoh, perspektif pasangan, saling berbuat baik, saling musyawarah, dan saling rela pada masing-masing pihak. []