Mubadalah.id – Kita semua pasti tahu kalau tidak hanya umat Islam saja. Namun, juga ada pemeluk agama Kristen; Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, dan Penghayat yang hidup bersama di Indonesia. Namun, seberepa sadarkah kita, bahwa dalam kehidupan yang beragam ini, sikap saling menghormati perbedaan dalam kehidupan bersama itu sangat perlu?
Ekspresi beragama yang mengedepankan sikap saling menghormati perbedaan, merupakan jalan damai dalam keberagamaan. Tanpanya, realitas perbedaan agama masyarakat Indonesia amat rentan perpecahan. Oleh karena itu, saling menghormati perbedaan agama amat penting, demi wujudnya kehidupan bersama yang rukun.
Meruntuhkan Tembok Mayoritas-Minoritas
Sikap saling menghormati perbedaan itu, kita bangun di atas pondasi semangat kesetaraan antar umat beragama dalam menjalani kehidupan bersama.
Dalam perbedaan agama, sudah menjadi realitas kehidupan bahwa ada penganut agama yang kuantitasnya lebih banyak, dan ada yang lebih sedikit. Realitas keberagamaan seperti ini, jika mengekspresi dalam laku mayoritas mendiskriminasi minoritas, dan minoritas juga tidak mau menghormati mayoritas, maka akan memunculkan sekat antara kelompok yang meniranisasi diri sebagai si paling kuasa (mayoritas), dan kelompok yang menjadi si tidak berdaya (minoritas).
Laku beragama yang mengekspresikan sekat mayoritas-minoritas tidak akan membawa kehidupan yang majemuk pada kerukunan. Yang ada malah chaos akibat jarak antara kedua pihak terus menjauh, sehingga kita tidak bisa saling menghormati perbedaan agama satu sama lain.
Oleh karena itu, realitas keberagamaan sepatutnya kita bangun di atas pondasi kesetaraan antar umat beragama. Bukan kesenjangan antara kelompok yang kuasa dan tak berdaya. Relasi ini dapat kita katakan sebagai hubungan mubadalah antara mayoritas dan minoritas. Di mana adanya kesalingan mayoritas mengayomi minoritas dan minoritas menghormati mayoritas.
Laku beragama yang mubadalah berdasarkan semangat kesetaraan antar umat beragama, akan dapat meruntuhkan tembok mayoritas-minoritas. Untuk kemudian mendorong kehidupan pada keadaan masyarakat multi-agama yang dapat hidup rukun dan damai dalam perbedaan.
Sebagai Satu Masyarakat Semua Pemeluk Agama Adalah Sama
Untuk mewujudkan keadaan masyarakat majemuk yang mengedepankan prinsip masyarakat multi-agama, kita perlu menyadari bahwa meski berbeda agama, sejatinya kita semua adalah satu masyarakat yang hidup bersama.
Dalam hal ini, sebagaimana penjelasan Gus Dur dalam Melawan Melalui Lelucon, “…kita harus mampu membedakan antara berjenis-jenis ‘kesamaan’, yang di mata agama dan yang di mata negara. Kesamaan di mata agama berkait dengan masalah inti ajaran, sedangkan kesamaan di mata negara adalah status di muka undang-undang, kedudukan di muka hukum.”
Jadi, berdasarkan status kepemelukan agama kita memang berbeda, namun sebagai warga negara, dan juga sebagai manusia, kita adalah sama sebagai satu masyarakat.
Gus Dur juga menjelaskan, “…Alquran sudah menetapkan agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Namun, tidak berarti negara tidak boleh memberikan perlakuan yang sama kepada semua agama. Sebaliknya, keutuhan negara hanya akan tercapai kalau ia memberikan perlakuan sama di muka hukum.
Persamaan teologis antara dua agama tidak akan mungkin ada–kalau diartikan sebagai hak merumuskan kebenaran mutlak Tuhan. Namun, persamaan kedudukan di muka hukum dapat ditegakkan selama ada yang memberikan perlakuan yang sama. Kita seharusnya memahami dengan kearifan.”
Dalam masalah teologis jelas bahwa agama-agama tidak sama, sebab masing-masing memiliki konsep ketuhanan dan imannya. Namun, dalam hal kehidupan bernegara, apa pun agamanya, semua pemeluk agama pantas mendapatkan ruang ekspresi beragama yang setara. Sebab, dalam konteks ini, kita semua adalah sama sebagai satu masyarakat yang hidup bersama.
Masyarakat Multi-Agama yang Hidup Bersama
Dalam kondisi hidup ber-“sama” sebagai satu masyarakat sepatutnya pondasi kehidupan kita bangun di atas semangat kesetaraan, dan bukan di atas ego mayoritas-minoritas. Bagi umat Muslim sendiri kesetaraan tidak sekadar tuntutan undang-undang dalam bernegara, namun juga merupakan kebajikan dalam berislam. Oleh karena itu, tidak heran jika sosok kosmopolit seperti Gus Dur mendasari keberislamannya dengan semangat kesetaraan.
Sebagaimana Greg Barton dalam Memahami Abdurrahman Wahid menjelaskan, “Tema yang paling jelas muncul dalam tulisan Abdurrahman adalah bahwa Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan.
Artinya Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan kelas, suku, ras, gender, atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara. Bahkan status Muslim dan non-Muslim pun setara….”
Karenanya tirani mayoritanisme merupakan tabu dalam kehidupan umat Muslim. Sebab, pada dasarnya, semangat keislaman mendorong pada kesadaran kesetaraan sesama manusia. Sehingga, bagi umat Muslim di Indonesia seharusnya term yang berkembang dalam realitas masyarakat Nusantara yang majemuk bukanlah “kami adalah mayoritas”, melainkan “kita adalah satu masyarakat multi-agama yang hidup bersama.”
Tentu kesadaran sebagai masyarakat multi-agama tidak hanya bagi umat Muslim. Namun, juga perlu mengedepan dalam kehidupan umat non-Muslim. Sehingga, kita semua dapat benar-benar membangun satu masyarakat multi-agama yang hidup bersama dalam kerukunan dan kedamaian. []