Mubadalah.id – Muhammad Saw kecil kehilangan tumpuan harapan, kasih sayang, kelembutan, dekapan hangat sang ibu. Ia tak akan lagi merasakan tangan lembut yang menyuapinya.
Tak ada lagi senda-gurau yang mengembangkan bibir untuk tersenyum-senyum atau tawa lebar yang indah bersama seorang perempuan yang mengandung dan melahirkannya itu.
Kita semua dapat membayangkan atau merasakan betapa kebingungan, pilu dan sedihnya anak yang tak punya ibu, dan tak punya ayah.
Bahkan Muhammad Saw kecil tak punya kekasih, tak punya dambaan kalbu, tak punya tempat mengadu, dan menumpahkan gelisah ketika hatinya luka atau terganggu. Tetapi Muhammad kecil itu menerima kehilangan orang yang sangat dicintainya dengan sangat sabar dan tabah.
Ia kemudian diasuh dan dalam perlindungan kakeknya, Abdul Muththalib. Tetapi ini hanya berlangsung dua tahun. Karena sang kakek kemudian juga wafat. Sang paman, kakak ayahnya, Abu Thalib, menggantikannya, merawat, menjaga dan melindungi Muhammad Saw.
Tuhan tak membiarkan calon pemimpin dunia itu terus bersedih hati dan kehilangan harapan masa depan. Dia membimbing tangannya menapaki dan menyusuri jalan cahaya.
Tuhan akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka. Melalui pengalaman hidup yang memilukan itu Dia sedang memberinya pelajaran mulia, agung dan berharga bagi masa depan kemanusiaan. Pelajaran itu kira-kira berbunyi: “Jika kau menyayangi si fakir dan orang yang menderita, kau harus menjadi hatinya.”
Kelak anak yang mulia (Muhammad Saw) itu memang sangat peka dan amat sayang terhadap orang-orang yang miskin, yatim-piatu, terlantar dan menderita lainnya. []