Mubadalah.id – Di pekan-pekan terakhir, udara Indonesia terasa semakin menyengat. Termometer di beberapa kota besar menembus 37 hingga 38 derajat Celsius.
Bagi banyak orang, suhu panas yang tinggi ini terasa seperti sekadar fenomena musiman akibat posisi matahari di garis khatulistiwa. Namun, bagi para ilmuwan dan pemerhati lingkungan, ini bukan sekadar “musim panas”. Ini adalah tanda bahwa Bumi sedang kelelahan—dan manusialah yang menambah bebannya.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu panas yang tinggi dan cuaca ekstrem yang melanda Indonesia bulan Oktober ini bukan hal baru. Tapi bedanya, kali ini ia datang lebih lama, lebih kering, dan lebih tajam. Gerak semu matahari dan monsun Australia memperkuat gelombang panas, sementara minimnya awan membuat radiasi matahari menghantam langsung permukaan bumi.
Namun, di balik semua faktor meteorologis itu, ada sebab yang lebih dalam: perubahan iklim global. Data BMKG menunjukkan suhu rata-rata Indonesia pada September 2025 naik 0,35 derajat Celsius dibanding rata-rata tiga dekade terakhir. Angka yang tampak kecil, tapi dalam konteks planet sebesar Bumi, itu berarti tambahan energi panas yang luar biasa besar—setara ratusan miliar ledakan bom atom Hiroshima.
Politik yang Memanaskan Bumi
Pemanasan global bukanlah sekadar isu sains. Ia adalah hasil pilihan politik, ekonomi, dan gaya hidup manusia. Seperti ditulis Ahmad Arif dalam Kompas.id, Indonesia sempat berhasil menurunkan laju deforestasi antara 2017–2021 berkat moratorium sawit dan pengendalian kebakaran.
Namun kini, deforestasi kembali meningkat. Proyek Food and Energy Sovereignty Plan, pelonggaran izin tambang, serta ekspansi biomassa untuk energi “hijau” justru memperluas perusakan hutan.
Ironisnya, di satu sisi pemerintah menampilkan citra hijau di panggung internasional, tetapi di dalam negeri membuka ruang legal untuk pembabatan hutan. Padahal, setiap pohon yang tumbang berarti hilangnya sekat pelindung Bumi dari panas berlebih. Ketika hutan di Merauke, Gorontalo, dan Papua dijadikan lahan industri, kita sedang menandatangani kontrak penghancuran masa depan anak cucu sendiri.
Islam menegaskan bahwa alam bukanlah benda mati yang boleh dieksploitasi sewenang-wenang. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum [30]: 41)
Ayat ini bukan sekadar nubuat ekologis, melainkan cermin atas kondisi hari ini. Bencana iklim, panas ekstrem, dan kekeringan adalah cara bumi “bersuara” setelah lama diperlakukan sebagai komoditas.
Keadilan Iklim dan Amanah Khalifah
Pemanasan global menyingkap ketimpangan yang tajam. Mereka yang paling miskin dan paling bergantung pada alam—petani, nelayan, masyarakat adat—justru menjadi yang paling menderita. Ketika hujan tak menentu, panen gagal, dan laut naik menenggelamkan desa-desa pesisir, merekalah yang pertama kehilangan penghidupan.
Dalam pandangan Islam, keadilan bukan hanya antara manusia, tapi juga antara manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Konsep mubadalah—timbal balik dalam kemaslahatan—mengajarkan bahwa relasi manusia dengan alam pun harus setara dan saling menghidupi. Alam memberi kehidupan, manusia menjaga keseimbangannya.
Sayangnya, logika ekonomi modern menempatkan alam hanya sebagai “sumber daya”, bukan “sahabat hidup”. Hutan ditebang demi energi, tambang dibuka demi mobil listrik, dan laut dicemari demi industri. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jika terjadi kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon, maka tanamlah.”
(HR. Ahmad)
Hadis ini menunjukkan bahwa menanam bukan sekadar aktivitas ekologis, tapi tindakan iman—pernyataan harapan di tengah kehancuran. Bahkan dalam kondisi paling akhir sekalipun, Islam mengajarkan optimisme ekologis: bahwa setiap pohon, sekecil apa pun, adalah saksi kesetiaan manusia pada amanahnya sebagai khalifah fil ardh—pengelola bumi.
Perempuan dan Ketangguhan di Tengah Krisis
Krisis iklim tidak netral gender. Dalam banyak masyarakat, perempuan adalah pihak yang paling dekat dengan sumber air, pangan, dan energi rumah tangga. Ketika sungai mengering, merekalah yang harus berjalan lebih jauh mencari air. Ketika sawah gagal panen, merekalah yang menanggung beban ganda—sebagai penyedia makanan dan penjaga keluarga.
Dari perspektif mubadalah, pengalaman perempuan bukan sekadar penderitaan, melainkan sumber hikmah dan inspirasi spiritual. Mereka menunjukkan cara bertahan dengan kasih, kerja sama, dan solidaritas. Di banyak desa, perempuan menjadi motor penggerak gerakan hijau: menanam pohon, mengelola sampah, dan menciptakan ekonomi alternatif. Dalam konteks ini, mereka menjalankan fungsi khalifah secara nyata—melindungi kehidupan dalam segala bentuknya.
Seruan Iman: Menyejukkan Bumi, Menyelamatkan Diri
Pemanasan global bukan hanya soal suhu, tapi soal moralitas. Ia menantang manusia untuk memilih: menjadi penjaga bumi atau perusaknya. Setiap keputusan politik, setiap izin tambang, setiap produk yang kita konsumsi adalah pilihan moral yang memihak kehidupan atau kematian.
Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf [7]: 56)
Perintah ini menegaskan bahwa menjaga bumi bukan opsi, melainkan kewajiban spiritual. Menjaga iklim adalah bagian dari ibadah sosial, sebab tanpa bumi yang sehat, tak mungkin ada kehidupan yang makmur.
Maka, seruan iman di tengah panas yang kian meninggi adalah sederhana namun mendalam: kembalilah menjadi khalifah yang memelihara, bukan menjarah.
Mulailah dari hal kecil—mengurangi sampah plastik, menanam pohon, memilih energi bersih, mendukung kebijakan hijau, dan mendidik anak-anak untuk mencintai bumi. Sebab setiap tindakan baik, sekecil apa pun, akan menjadi naungan di hari yang lebih panas daripada hari ini.
Mengembalikan Sejuknya Rahmat
Bumi sedang demam, dan manusialah penyebab sekaligus penyembuhnya. Krisis iklim bukan kutukan, tetapi ujian keimanan. Apakah kita masih sanggup menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), atau justru menjadi sumber malapetaka bagi ciptaan Allah yang lain?
Panas yang kita rasakan hari ini mungkin baru permulaan. Namun, jika kita berani berubah—menata ulang politik, ekonomi, dan spiritualitas kita menuju keadilan ekologis—maka masih ada harapan. Seperti janji Allah dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
Perubahan itu bisa kita mulai dari kesadaran sederhana: bahwa iman sejati bukan hanya tentang hubungan vertikal kepada Tuhan, tetapi juga tentang kasih horizontal kepada sesama makhluk dan bumi yang menjadi rumah kita bersama. Dan mungkin, di tengah panas yang membakar ini, itulah bentuk ibadah paling penting di zaman kita—menyejukkan bumi dengan cinta dan tanggung jawab. []