Mubadalah.id – Saya baru menonton Film “The Age of Adaline” di Netflix. Film besutan sutradara Lee Toland Krieger serta penulis Salvador Paskowitz, Allison Burnett dan J. Mills Goodloe ini diproduksi pada tahun 2015.
Ia berkisah tentang hidup seorang perempuan bernama Adaline Bowman, diperankan oleh Blake Lively yang tidak bisa menua. Tampilan fisik dan jiwanya berhenti pada usia 29 tahun, meski usianya sudah sampai pada angka lebih dari 100 tahun.
Kisahnya sebagai berikut. Pada tahun 1935, Adaline Bowman, 29 tahun, hidup seperti perempuan pada umumnya. Ia bahagia, menikah hingga memiliki seorang putri. Saat mengendarai mobil dalam cuaca buruk, mobilnya jatuh ke sungai, ia tenggelam ke dasar.
Dalam kondisi tak tersadarkan diri, tiba-tiba petir menyambar tubuhnya. Sambaran petir itu telah membangunkannya. Ia tersadar, bangkit kembali, sehat seperti semula. Efek sambaran petir itu telah menjadikanya seorang perempuan jelita yang terjebak pada usia 29 tahun. Ia tidak pernah lagi bisa menua. Ia seakan menolak tua.
Apa yang terjadi selanjutnya? Sebagai perempuan muda yang tidak bisa menua, sementara putri semata wayangnya terus tumbuh dewasa, sungguh tidak mudah. Dalam kesehariannya, para tetangga dan kolega di lingkungannya sering menggunjingkanya. Mereka kerap membanding-bandingkan paras dan tubuh di antara ibu dan anak itu. Tidak cukup sampai di situ, masalah ikutannya semakin kompleks, isunya meluas dan liar.
Tidak Berani Jujur
Adaline lelah. Ia menutup rapat semua kejadian aneh yang menimpa diri dia. Ia terus berlari dan berusaha melawan sekuat tenaga. Namun tetap belum berani jujur. Hidup berpindah-pindah tempat tinggal, lalu memalsukan identitas dirinya dengan pembuatan paspor palsu baru di pasar gelap, adalah pilihan pahit. Polisi pun curiga akan jati diri Adaline yang aneh. Untung tidak pernah ada rekam jejak kejahatan pada dirinya.
Untuk sementara waktu, upaya itu cukup membuahkan hasil. Tetapi, masalah ikutan baru dari kebohongan yang dia buat terus bermunculan. Selama sumber permasalahan hidupnya belum terselesaikan, masalah baru akan terus memburunya. Adaline beruntung, karena masih bisa menumpahkan masalah hidupnya kepada putri tunggalnya. Mereka terus berbagi hingga bisa lega sejenak.
Singkat cerita, masalah Adaline itu muncul karena kebohongan yang ia pilih. Ketika dia berani bersikap jujur kepada diri sendiri, perlahan-lahan masalah hidupnya selesai. Mudah sekali. Meski awalnya berat, Adaline berani mengatakan bahwa ”saya adalah perempuan yang sedang terjebak pada umur 29 tahun, padahal sejatinya umur saya sudah lebih dari 110 tahun”.
Sejak kejujuran itu ia nyatakan, hal-hal buruk yang sangat dia takuti akan menimpa dia, ternyata tidak terjadi. Bayangan itu lebih menakutkan dari kenyataan. Adaline sangat bersyukur karena telah berani bersikap jujur.
Menolak Tua itu Sia-sia
Jika Adaline begitu susah payah keluar dari masalah yang menghinggapi diri karena tubuhnya menolak tua, hal itu bertolak belakang dengan mereka yang ingin selalu awet muda. Ada yang berusaha keras, rela membayar mahal, melakukan apa saja untuk melawan ketuaan. Usaha mereka semakin kuat, seiring dengan gencarnya propaganda industri skincare, kosmetik dan berbagai produk ramuan untuk melawan tua.
Saat ini, fenomena menolak tua itu terus tumbuh subur. Ia tidak hanya menghinggapi satu kelompok tertentu. Tetapi jauh melampaui batas usia dan jenis kelamin. Apalagi mereka yang bergelimang harta dan kekuasaan. Ada tuntutan keras agar selalu tampil muda, sehat dan prima. Bagi mereka, menjadi tua adalah ancaman teror yang sangat menakutkan.
Baru-baru ini, jagat media telah dihebohkan oleh pernyataan sorang pesohor bernama Gita Savitri. Menurutnya, menjadi childfree, alias keputusan untuk tidak memiliki keturunan adalah cara alami mencegah penuaan. Saya boleh saja tidak sepakat, tapi faktanya, pilihan itu ada.
Di kalangan laki-laki, fenomena menolak tua itu juga terjadi. Ingat Muammar Khadafi, pemimpin Libya yang berkuasa selama 42 tahun? Penguasa Negeri Arab yang kejam itu rajin sekali memoles wajahnya. Dia harus melakukan operasi khusus bersama seorang ahli bedah plastik kondang asal Brazil, bernama Liacyr Ribeiro.
Khadafi punya alasan khusus mengapa dia harus tampak selalu segar. Setelah memimpin selama 25 tahun saat itu, dia tidak ingin orang-orang muda di negerinya melihatnya nampak seperti orang tua. Kenang Ribeiro kepada Associated Press.
Pada Januari 1995, Ribeiro mengiris tumpukan lemak dari perut Khadafi. Lemak itu tidak dibuang, melainkan dipakai untuk melapisi wajah Khadafi, yang saat itu sudah mulai berkeriput. Wajah Khadafi pun jadi kencang lagi. Lebih dari itu, Ribeiro juga harus menumbuhkan kembali rambut-rambut di kepalanya yang mulai jarang. Semua usaha itu dilakukan hanya untuk satu tujuan, melawan tua (https://www.viva.co.id/arsip/211557-dokter-ini-pernah-mempermak-wajah-khadafi)
Jujur itu Obat Mujarab
Meski bukan pesohor, ataupun penguasa hebat seperti Kolonel Moamar Khadafi, yang harus selalu ingin terlihat prima saat tampil di hadapan publik, saya pernah bersikap serupa. Menyembunyikan usia kepada orang lain. Merasa terganggu ketika ada orang mengatakan ”udah tua kamu ya ternyata….”. Meski itu benar adanya, namun tetap merasa tidak nyaman.
Sikap tidak mau jujur itu bertahun-tahun tersimpan rapat di tengah arus pergaulan luas. Saya selalu menemukan cara sopan, tidak menyinggung perasaan orang lain, saat harus berkelit untuk memberikan informasi tentang usia. Saya pernah mengomeli istri, karena mengucapkan selamat ulang tahun sambil menyebut usia di Medsos. Sejak saat itu, istri memahami bahwa pasangannya sedang punya ”masalah” dengan kejujuran dalam hidupnya.
Pada usia 54 tahun saya terkena GERD (Gastroesophageal reflux disease). Yaitu naiknya asam lambung ke tenggorokan hingga menyebabkan batuk, dibarengi sesak nafas, dan sensasi cemas yang terus menghantui. Akibatnya, susah tidur, nafsu makan hilang dan tidak bisa konsentrasi. Tubuh jadi merasa cepat lelah dan linglung.
Pada level tertentu, sakit bisa menuntun penderitannya pada tumbuhnya kesadaran alami. Atas alasan tertentu, manusia bisa bangkit dengan keberanian baru yang prima, hingga berani mengambil keputusan.
Di tengah ancaman kecemasan itu, saya jadi berperilaku aneh. Salah satunya, kerap menyembunyikan diri. Sikap itu bertolak belakang dengan keseharian saya. Pada puncaknya, saya memutuskan untuk melawan dengan berani bersikap jujur kepada diri sendiri. Mulai dari hal-hal kecil, yaitu terkait usia.
Kita harus jujur mengakui jumlah usia, dan jujur menerima kenyataan bahwa saya pasti menua. Jujur menerima kondisi tubuh yang semakin menua dan mulai berpenyakit. Jujur bahwa kematian adalah nyata, ternyata menjadi obat mujarab yang membahagiakan. []