Mubadalah.id – Pada tahun 1997, kekuasaan Soeharto tengah memasuki babak pamungkas. Aksi demonstrasi turun ke jalan mahasiswa dan warga yang merasa semakin tidak lagi percaya kepada pemerintah mulai meluas.
Meskipun saat itu aksi unjuk rasa akan pemerintah anggap sebagai tindakan makar, aparat keamanan tidak segan bertindak represif terhadap para pelakunya. Namun demikian, kekuatan para pendemo tidak pernah surut. Saat itu juga terjadi peristiwa PEMILU 1997, di mana mulai muncul bibit perlawanan dari para simpatisan PPP dan PDI terhadap dominasi Golkar.
Aspirasi warga yang teredam dengan sangat keras oleh aparat tidak sepenuhnya mampu membungkam perlawanan tersebut. Kebebasan pers sangat terbatasi. Jika ada yang membangkang, pasti akan dibredel. Pada 21 Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, tabloid Editor, dan Detik, karena dianggap memberitakan kabar yang mengusik kekuasaan rezim Orde Baru.
Rezim Orde Baru
Tekanan keras dari rezim Soeharto semakin menguat. Aksi penculikan, penangkapan dengan kekerasan, dan pemenjaraan terhadap mereka yang dianggap melawan pemerintah terus terjadi. Rumah tahanan banyak terisi oleh para pembangkang yang mereka sebut sebagai tahanan politik.
Semakin keras tekanan pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang muncul dari berbagai elemen warga. Alih-alih tekanan itu bisa membungkam, justru menumbuhkan kekuatan dan solidaritas antar mereka.
Pada tahun 1997 itu pula, situasi ekonomi Indonesia terus memburuk hingga terjadi krisis. Dampaknya luar biasa: harga kebutuhan pokok naik melambung, kerusuhan kerap terjadi. Harga susu untuk anak-anak melonjak hingga 400%.
Kenaikan harga juga diikuti oleh langkanya beberapa jenis barang, seperti minyak goreng, gandum, hingga beras. Dampak sosial yang timbul juga semakin kompleks. Warga mulai resah, kegentingan mulai muncul di beberapa tempat.
Situasi ekonomi dan politik yang terus memburuk itu mencapai puncaknya pada kerusuhan massal di tahun 1998. Kekuatan Pemerintah Orde Baru yang kita persepsi tangguh itu ternyata sebaliknya, mereka lemah dan rapuh. Hingga akhirnya tumbang setelah 32 tahun berkuasa.
Kebangkitan Kaum Ibu
Situasi negara yang limbung itu telah menggerakkan hati nurani kaum ibu untuk bangkit menyuarakan protes atas segala tindak kekerasan yang rezim Orde Baru lakukan. Mereka juga menilai bahwa pemerintah telah gagal mengatasi masalah krisis ekonomi yang tertandai dengan naiknya harga-harga bahan pokok dan meluasnya kemiskinan.
Ketika itu, saya sudah bergabung di WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Ia menjadi salah satu markas yang sering menjadi wahana konsolidasi antar mahasiswa, aktivis, dan warga yang terus mengobarkan perlawanan terhadap Orde Baru.
Saya akhirnya bisa mengenal beberapa nama para penggerak Gerakan Perempuan Indonesia. Antara lain: Myra Diarsi, Julia Suryakusuma, Robin Bush, Yuniyanti Chuzaifah, Tati Krisnawaty, Salma Safitri, Gadis Arivia, Karlina Supeli, Dina, Agung Putri, Riga Adiwongso, Toeti Heraty Noerhadi, Gayatri, Nursjahbani Kacasungkana, Ita F. Nadia, Kartini Sjahrir, Emmy Hafild, dan lainnya.
Suatu ketika, mereka bersepakat untuk melakukan aksi demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. “Suara Ibu Peduli” (SIP) adalah nama yang mereka pilih. Awalnya, mereka memprotes kelangkaan susu dan bahan makanan pokok.
Segala risiko yang akan mereka terima sudah diperhitungkan dengan matang, termasuk risiko kekerasan dan aksi tembak di tempat. Ketika itu, santer beredar rumor bahwa akan ada pemberlakuan siaga satu, yaitu tembak di tempat bagi para pendemo.
Keberanian Para Ibu
Betul saja, saat melakukan aksi di Bundaran HI pada 23 Februari 1998, aparat bertindak cepat. Mereka menangkap tiga perempuan. Karlina Supeli, Gadis Arivia, dan Wiwil, lalu langsung mengangkutnya ke atas truk. Mereka digelandang ke kantor polisi dan tertahan selama satu malam.
Ketiganya diinterogasi dan dicurigai telah “ditunggangi” oleh kaum oposisi. Entah siapa yang pemerintah maksud dengan kaum oposisi pada saat itu. Mereka ditekan dengan pertanyaan: apakah mereka berkiblat pada ideologi komunis?
Sidang ketiganya terjadi di pengadilan pada 4 Maret. Tidak ada kata takut ataupun mundur. Mereka tegar dan siap menyampaikan pledoi. Meski akhirnya hakim menyatakan ketiganya bersalah, melanggar Pasal 510 KUHP tentang arak-arakan, dan didenda Rp 2.250,- atau kurungan 2 minggu. Keputusan hakim mereka tolak dengan tegas. Sayang, sidang selanjutnya tidak pernah terjadi karena Soeharto berhenti pada 21 Mei dan perkara tidak berlanjut.
Bisa kita bayangkan betapa beraninya para ibu-ibu tersebut saat melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang kejam. Tekanan mental saat proses interogasi tidak menyurutkan keberanian mereka. Mereka tertuduh bagian dari Gerakan Komunis. Tuduhan itu menandakan kegagapan aparat dalam membaca peta gerakan dan latar belakang para perempuan yang mereka tangkap.
Gerakan Ibu yang Kembali Bangkit
Jumat, 28 Maret 2025 lalu, para ibu-ibu dan mahasiswa kompak hadir turun ke jalan mengenakan pakaian putih untuk berorasi melawan tindakan represif aparat terhadap anak bangsa yang menolak UU TNI.
Sejumlah perempuan dari berbagai organisasi dan komunitas berkumpul di depan Sarinah, Jakarta Pusat. Mereka tergerak untuk menyuarakan protes atas berbagai peristiwa kekerasan yang kerap aparat lakukan dalam menangani aksi demonstrasi.
Selain itu, mereka juga meminta agar Undang-undang TNI pemerintah batalkan. Mereka yakin gerakan ini akan meluas di berbagai daerah seperti Bandung, Semarang, dan Yogyakarta.
Tekad mereka sama, yaitu melawan setiap aksi kekerasan yang aparat lakukan di era rezim Prabowo Subianto yang mereka nilai akan melegalkan kembalinya dwifungsi militer. Suara Ibu Indonesia tidak akan berhenti pada aksi demonstrasi. Mereka akan terus mengawal kebijakan yang berlawanan dengan agenda reformasi.
Pesan Penting
Presiden Prabowo sebaiknya tidak mengabaikan tuntutan yang disampaikan oleh Gerakan Ibu-Ibu Peduli Indonesia ini. Pengabaian rezim Orde Baru yang pernah terjadi pada tahun 1998 hendaknya tidak terulang. Mengabaikan suara ibu-ibu dalam aksi demonstrasi justru akan sangat merugikan.
Spirit dan nilai yang diperjuangkan oleh para ibu-ibu yang tergabung dalam Gerakan Suara Ibu Peduli di tahun 1997 dan Gerakan Suara Ibu Indonesia yang muncul saat ini memiliki bobot pesan dan nilai kemanusiaan yang sama. Pesan itu muncul dari kalangan ibu-ibu terdidik, cerdik pandai yang memiliki integritas.
Tuntutan itu muncul dari kepekaan batin serta keprihatinan yang begitu dalam sebagai seorang ibu. Kepekaan batin apa yang bisa melebihi kepekaan seorang ibu terhadap anaknya? Begitulah gerakan itu lahir, baik di saat krisis ekonomi tahun 1997 maupun di era Indonesia gelap saat ini.
Tuntutan keprihatinan itu tidak muncul dari suara ibu-ibu sosialita yang gemar memamerkan kemewahan dari uang hasil korupsi suami. Gerakan itu muncul dari keprihatinan yang begitu dalam akibat luka dan tangis seorang ibu yang menyaksikan perilaku kekerasan terhadap anak bangsa. Mengabaikan peringatan seorang ibu, sama dengan menggali lubang kesengsaraan yang akan sangat dalam.
Ketika para ibu sudah turun ke jalan, itu bisa menjadi pertanda bahwa kita sedang berada pada fase kedaruratan yang cukup serius untuk segera tertangani. Mari kita sama-sama waspada. []