• Login
  • Register
Senin, 16 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Ketika Perempuan Tidak Tersenyum, Patriarki Tergoncang

Saya bersyukur bahwa saya bisa mengekspresikan perlawanan mengenai lelucon dan panggilan “Shay”

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
21/01/2025
in Personal, Rekomendasi
0
Patriarki

Patriarki

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Saya berulang kali mengalami pelecehan verbal di jalan seperti catcalling. Mulai dari panggilan “Cantik mau ke mana?”, “Assalamu’alaikum”, hingga “Senyum dong”. Ketika saya tidak tersenyum atau bahkan mengekspresikan ketidaksenangan saya, mereka akan berkata saya jutek atau sombong. Ini adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang seringkali perempuan alami dalam budaya patriarki.

Perempuan dalam gender tradisional harapannya bisa tampil cantik dan menyenangkan laki-laki, salah satunya dengan tersenyum. Beberapa hari yang lalu, seorang laki-laki berusaha bercanda dengan saya dengan memperagakan kesalahan kecil yang pernah saya lakukan di depannya saat di gym.

Dia melakukannya dengan tertawa di depan teman-teman saya. Kemudian saya berkata “Memangnya lucu?” Dia hanya menggeleng sambil tertawa. Lalu saya berkata, “Kalau gak lucu ngapain ketawa?”, dan dia pun berlalu.

Dia berkata pada salah satu teman saya, bahwa saya terlalu serius dan “galak banget”, karena tidak tersenyum atau tertawa pada leluconnya. Bagaimana saya bisa tertawa atau tersenyum, saat hal tersebut dilakukan untuk mempermalukan saya?

Saya juga dianggap galak dan terlalu serius, ketika tidak sesuai dengan harapannya. Saya tidak akan diam dan menerima saat orang lain menertawakan saya, hanya karena mereka merasa superior dan menjadikan saya objek leluconnya.

Baca Juga:

Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Perempuan Bukan Hanya Objek

Chimamanda Ngozi Adichie, penulis dan feminis kulit hitam, dalam bukunya “Teruntuk Ijeawele: Manifesto Feminis dalam Lima Belas Anjuran” menjelaskan salah satu anjuran yaitu mengajari anak perempuan untuk menolak “disukai”.

Dia menjelaskan bahwa selama ini masyarakat patriarki mengajarkan anak perempuan untuk kita sukai, menjadi baik dan menjadi palsu. Namun anak laki-laki tidak kita ajarkan begitu.

Menurut Chimamanda, hal ini berbahaya bagi perempuan karena banyak dari perempuan tetap diam ketika terlecehkan. Alasannya hanya karena mereka ingin terlihat baik dan kita sukai. Perempuan dalam budaya patriarki mereka ajarkan untuk menyenangkan orang lain, sekalipun pada mereka yang menyakitinya.

Chimamanda menjelaskan bahwa perempuan bukan hanya objek untuk kita sukai ataupun tidak kita sukai, tapi juga subjek yang bisa menyukai dan tidak menyukai.

Menolak Seksisme: Stop Telling Women to Smile

Tatyana Fazlalizadeh, seorang artist berkulit hitam, membentuk projek “Stop Telling Women to Smile”. Proyek ini dalam bentuk poster dan lukisan sebagai bentuk protes atas kemarahannya. Dia menyuarakan pelecehan di jalan yang ia alami dan perempuan lainnya melalui lukisan.

Dia juga menuliskan hal ini dalam bukunya dengan judul yang sama dengan pengalaman dan sudut pandang perempuan, trans woman, queer, dan cis perempuan lainnya.

Laki-laki cis hetero di jalan seringkali meminta mereka untuk tersenyum dengan mengatakan, “Smile for me.” “You’re too pretty not to smile”, “Can I get a smile?”, dst. Menyuruh perempuan untuk tersenyum adalah bentuk seksisme. Baik dalam bentuk pelecehan di jalan ataupun di ranah pekerjaan.

Seksisme menurut Tatyana adalah penindasan yang terbentuk untuk menempatkan seseorang dalam posisi berkuasa. Di mana dalam situasi ini membuat perempuan dan orang-orang yang terpinggirkan mengalami penderitaan.

Menurut Tatyana, menyuruh perempuan untuk tersenyum adalah seksisme. Hal ini merupakan cara untuk mengontrol tubuh, penampilan dan sikap perempuan pada laki-laki yang bahkan tidak mereka kenal. Padahal perempuan memiliki otonomi sepenuhnya untuk mengatur tubuh, emosi dan ekspresi mereka tanpa harus terkontrol oleh orang lain.

Perempuan Bisa Mengekpresikan Ketidaksukaan

Perempuan kita harapkan untuk selalu tampil bahagia, menyenangkan dan “santai”, tanpa memahami bahwa perempuan bisa mengekspresikan ketidaksukaan mereka. Saya pernah berkenalan dengan seorang laki-laki, dia memanggil saya “Shay” dan saya mengatakan bahwa saya tidak menyukainya. Namun saya disebut “terlalu kaku” dan “tidak santai”. Dia tidak peduli bahwa saya tidak nyaman dengan sikapnya. Alih-alih dia memberikan saya hukuman dengan mengatakan bahwa saya kaku dan tidak santai.

Dalam posternya dengan lukisan teman perempuannya, Tatyana menuliskan “My name is not baby, sweetie, sweetheart, shorty, sexy, honey, pretty, boo, ma”. Tatyana, saya dan juga perempuan lainnya juga mungkin muak dengan panggilan atau catcalling seperti ini. Saya ingin kita semua dapat merasa aman untuk berjalan dan melakukan apapun di ruang publik tanpa harus terlecehkan dan anggapannya objek lelucon saja.

Tatyana menjelaskan bahwa kadang perempuan tersenyum atau mengangguk saat laki-laki menggoda atau melecehkan mereka. Karena mereka takut laki-laki ini akan melakukan balas dendam atau menyerang mereka. Dia pernah terlecehkan di jalanan, dipegang tangannya dan diikuti oleh mereka. Kekerasan verbal dari menyuruh tersenyum dapat dengan cepat menjadi kekerasan fisik, dan bahkan kekerasan seksual hingga femicide.

Male Entitlement: Jika Perempuan Menolak Maka Akan Diberi Hukuman

Kate Manne dalam bukunya “Entitled: How Male Privilege Hurts Women”, menjelaskan bahwa male entitlement adalah sikap laki-laki yang merasa berhak untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan sekalipun dengan kekerasan. Laki-laki dengan male entitlement tidak dapat menerima penolakan, mereka ingin selalu kita terima.

Manne menjelaskan bahwa ketika perempuan gagal memberikan apa yang laki-laki inginkan, maka perempuan seringkali harus menghadapi hukuman atau pembalasan. Baik dari laki-laki itu sendiri, dari pendukung di sekitarnya ataupun dari struktur sosial patriarki yang misogini. Manne menjelaskan bahwa perempuan yang menyuarakan ketidakadilan yang dia alami dan melakukan perlawanan akan terhukum dan disalahkan.

Saya bersyukur bahwa saya bisa mengekspresikan perlawanan saya mengenai lelucon dan panggilan “Shay” di atas. Jika saya diam atau ikut tertawa, hanya untuk menyenangkannya, dia merasa berhak melakukan apapun yang dia inginkan. Dia juga mungkin melakukannya lagi pada saya atau bahkan pada orang lain. Saya tidak keberatan dengan hukuman sebuah cap negatif bahwa saya galak, kaku dan terlalu serius. []

 

 

 

 

Tags: Chimamandafeminismemisoginispatriarkiseksisme
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Catcalling

Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik

15 Juni 2025
Tragedi Pemerkosaan

Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98

15 Juni 2025
Palestina-Israel

Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

14 Juni 2025
Jadi Perempuan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

14 Juni 2025
Perempuan Berolahraga

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

13 Juni 2025
Humor

Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

13 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tragedi Pemerkosaan

    Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Isu Perceraian Veve Zulfikar: Seberapa Besar Dampak Memiliki Pasangan NPD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Pengepungan di Bukit Duri: Bagaimana Sistem Pendidikan Kita?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tanggung Jawab Pasangan Suami Istri dalam Menjaga Perkawinan
  • Mari Berani Bersuara Melawan Catcalling di Ruang Publik
  • Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II
  • Pentingnya Komitmen Suami dan Istri dalam Kerja Domestik dan Publik

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID