Mubadalah.id – Lebaran Ketupat adalah salah satu tradisi yang terkenal luas di kalangan masyarakat Jawa. Perayaan ini berlangsung seminggu setelah Hari Raya Idulfitri. Tepatnya pada 8 Syawal, dan memiliki makna yang mendalam baik dari segi sosial maupun spiritual.
Dalam tradisi Jawa, ketupat bukan sekadar hidangan, tetapi sebuah simbol yang mengandung berbagai makna yang berkaitan erat dengan ajaran Islam. Lebaran ketupat dalam tradisi Jawa dapat kita kaitkan dengan simbol rukun Islam. Selain itu juga sebagai bagian dari upaya penyucian diri setelah menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan.
Ketupat sebagai Simbol Rukun Islam
Ketupat dalam budaya Jawa memiliki bentuk yang unik, yakni segi empat atau segi lima, yang melambangkan simbol-simbol dalam ajaran Islam. Sebagai contoh, ketupat segi empat kita anggap melambangkan rukun Islam yang keempat, yaitu puasa di bulan Ramadan.
Bentuk persegi empat ini mengingatkan umat Muslim akan kewajiban menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu pilar utama dalam agama Islam. Puasa adalah bentuk latihan spiritual yang mengajarkan umat untuk menahan diri dari berbagai godaan duniawi.
Selain itu, ketupat dalam tradisi Jawa juga terkenal dengan makna “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Hal ini mengacu pada konsep pembersihan diri yang merupakan bagian dari puasa di bulan Ramadan.
Dalam ajaran Islam, seseorang yang berpuasa kita harapkan dapat menahan hawa nafsunya dan membersihkan diri dari dosa-dosa yang telah lalu. Dengan demikian, ketupat bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga sebuah pengingat untuk merenung dan memperbaiki diri.
Bentuk ketupat yang terbungkus dengan janur (daun kelapa muda) juga mengandung makna mendalam. Janur dalam bahasa Jawa disebut “jatining nur,” yang berarti hati nurani.
Daun kelapa ini melambangkan kesucian hati yang harus kita jaga dalam menjalani kehidupan, serta simbol dari nafsu duniawi yang harus terbungkus dan kita kendalikan. Oleh karena itu, ketupat menjadi simbol penting dalam tradisi Jawa. Yakni sebagai pengingat akan pentingnya menjaga kesucian hati dan niat dalam beribadah.
Ketupat sebagai Sarana Penyucian Diri
Lebaran Ketupat yang dilaksanakan pada 8 Syawal bukan sekadar perayaan, tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyucian diri setelah menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan. Dalam tradisi Jawa, hari tersebut terkenal dengan istilah Bakda Kupat, yang berarti hari setelah Lebaran yang kita maknai sebagai puncak dari penyucian diri.
Pada hari ini, masyarakat Jawa saling mengunjungi satu sama lain, memberikan ketupat sebagai simbol dari permohonan maaf. Kitamenjalin kembali tali persaudaraan yang mungkin terputus selama setahun sebelumnya.
Proses penyucian diri ini kita mulai dengan berpuasa selama bulan Ramadan, yang merupakan kewajiban bagi umat Islam untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.
Setelah Ramadan berakhir, datanglah Hari Raya Idulfitri, yang merupakan momen kemenangan atas hawa nafsu. Namun, perayaan belum lengkap tanpa adanya Lebaran Ketupat, yang memberikan kesempatan bagi umat Muslim untuk benar-benar membersihkan diri dari kesalahan, baik terhadap Allah maupun sesama manusia.
Ketupat, yang memiliki makna “ngaku lepat” (mengakui kesalahan), menjadi simbol utama dalam upaya ini. Saat seseorang memberikan ketupat kepada kerabat atau teman, itu adalah bentuk pengakuan atas kesalahan yang pernah dilakukan dan permohonan maaf atas segala kekhilafan.
Dengan berbagi ketupat, kita harapkan ada pembersihan jiwa. Di mana setiap orang saling memaafkan dan menjalin kembali hubungan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang mengajarkan pentingnya saling memaafkan, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Ketupat sebagai Wujud Silaturahmi dan Kemenangan Spiritual
Selain sebagai simbol penyucian diri, Lebaran Ketupat juga merupakan waktu yang sangat penting untuk mempererat hubungan sosial antar masyarakat. Salah satu nilai utama dalam tradisi ini adalah silaturahmi, yang kita harapkan dapat memperkuat ikatan persaudaraan antar individu.
Pada hari Lebaran Ketupat, masyarakat Jawa biasa saling berkunjung ke rumah saudara, teman, atau tetangga, membawa ketupat sebagai hidangan. Momen ini tidak hanya berfungsi untuk merayakan kemenangan setelah berpuasa, tetapi juga untuk memperbaiki hubungan sosial yang mungkin terputus akibat berbagai masalah atau kesalahpahaman.
Ketupat, sebagai simbol dari pembersihan diri, memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kedamaian di masyarakat. Ketika seseorang memberikan ketupat, itu merupakan cara untuk mengungkapkan niat baik dan memperbaharui hubungan.
Makan ketupat bersama-sama menjadi ritual yang mengingatkan setiap orang untuk selalu menjaga sikap rendah hati, saling menghargai, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui hubungan yang harmonis dengan sesama.
Lebaran Ketupat juga menandakan puncak dari perjalanan spiritual seorang Muslim setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadan. Ketupat segi lima yang sering disajikan dalam perayaan ini memiliki makna lebih dalam lagi.
Lima Nilai Utama dalam Islam
Selain melambangkan lima waktu salat wajib (Subuh, Zuhur, Asar, Maghrib, dan Isya), ketupat segi lima juga mencerminkan lima nilai utama dalam kehidupan Islam, yakni ketakwaan, keikhlasan, kesabaran, syukur, dan maaf. Dalam hal ini, Lebaran Ketupat bukan hanya perayaan kebahagiaan, tetapi juga perwujudan dari pencapaian spiritual yang tinggi setelah menjalani ibadah puasa.
Tradisi Lebaran Ketupat dalam masyarakat Jawa bukan sekadar perayaan yang dilaksanakan seminggu setelah Idulfitri, tetapi lebih dari itu, ketupat menjadi simbol yang mendalam dari ajaran Islam. Ketupat menggambarkan rukun Islam, terutama puasa di bulan Ramadan, sekaligus menjadi sarana penyucian diri dari dosa.
Lebaran Ketupat juga menjadi momentum untuk mempererat silaturahmi dan mengajarkan nilai-nilai pemaafan, sebagai wujud dari kemenangan spiritual yang tercapai setelah sebulan berpuasa. Lebih dari sekedar tradisi Jawa, pemaknaan ini juga memperkuat ajaran-ajaran Islam serta memperkuat solidaritas antar sesama dalam kehidupan sehari-hari. []