Mubadalah.id – Masih ingatkah dengan legenda Sitti Nurbaya? Tentu, bahkan rasanya kisah pilu itu tak bisa terlupakan. Kisah romantika yang lahir di tanah Minagkabau, Sumatra Barat ini, tertulis oleh seorang budayawan senior, Marah Rusli, dengan judul “Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai” yang terbit pada 1922 oleh Penerbit Balai Pustaka.
Seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke, nyaris tak tertinggal kereta kisah Sitti Nurbaya. Kendati mungkin mereka mendapatkannya tidak dengan membaca karyanya M. Rusli, tetapi melalui siaran radio, televisi, dongeng sebelum tidur, bahkan anak-anak SD menemukannya di buku-buku ajar Bahasa Indonesia.
Kisah ini, meski hanya legenda, tapi bukan hal mustahil terjadi, atau bukan mustahil jamak terjadi. Di sinilah titik kekuatan karya-karya fiksi. Secara nama tokoh, protagonis, antagonis, dan latar tempatnya mungkin saja fiktif. Namun, pesan moral dan motif lahirnya karya fiksi tersebut, pasti berlatar oleh arus sosial, budaya, ataupun agama di suatu daerah tertentu. Sebab karya fiksi yang besar selalu mampu menggambarkan kondisi tanah tempat ia lahir.
Khansa, Perempuan yang Menolak Nikah Paksa
Hal yang tak jauh berbeda, juga pernah terjadi di tanah Madinah menimpa seorang perempuan cantik bernama Khansa’ binti Khidzam al-Anshari. Sosok perempuan tangguh kaum Anshar ini mampu melewati pilihan hidup yang amat dilematik; antara menaati orang tua yang ingin melihatnya menggenap dengan sepupunya sendiri, atau mengikuti bisik cintanya, menggenap dengan Lubabah bin Abdul Mundzir.
Melihat gejolak cinta Khansa’, hatinya pasti berpihak pada Lubabah. Namun, rasanya juga tak mungkin mengecewakan sang ayah. Dengan teguh hati ia pun mengadu kepada Rasulullah terkait yang ia hadapi. Rasulullah menjawab, “Tidak ada pernikahan dengannya, menikahlah dengan yang engkau cintai”.
Kisah di atas cukup banyak menjadi rujukan para ulama perempuan. Penggunaan pelbagai sudut pandang banyak terpakai guna mengkaji persoalan nikah paksa yang kerap seolah menjadi halal tanpa beban. Di awal-awal berdiri komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (LNL), kami mengkaji kitab Manba’ussa’adah karya Kang Faqih Abdul Kodir. Di antara poin bahasan dalam pasal Muqaddimatunnikah (mengenal konsep nikah islami), yaitu bahwa Islam menolak keras nikah paksa.
Khansa Mengadu pada Nabi
Dalam Manba’ussa’adah (hal. 18), kiai Faqih mengutip kisah seorang perempuan yang sangat khawatir terpaksa menikah oleh walinya. Syukurnya, kekhawatiran itu lenyap setelah ada kabar bahwa dulu, Khansa’ pernah mengalami kejadian yang sama, dan baginda Nabi menolak nikah paksa tersebut. Berikut redaksinya;
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ وَلَدِ جَعْفَرٍ، تَخَوَّفَتْ أَنْ يُزَوِّجَهَا وَلِيُّهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ، فَأَرْسَلَتْ إِلَى شَيْخَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ: عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمُجَمِّعٍ ابْنَيْ جَارِيَةَ، قَالَا: فَلَا تَخْشَيْنَ، فَإِنَّ خَنْسَاءَ بِنْتَ خِذَامٍ أَنْكَحَهَا أَبُوهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ، فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ
Artinya, “Dulu, salah seorang putri Ja’far sangat khawatir akan dinikahkan paksa. Karena itu, segera ia meminta pendapat dua orang ulama besar dari kalangan Anshar, sahabat Abdurrahman dan Mujammai’. Lalu keduanya menjawab, ‘Jangan takut!, Khasa’ binti Khidzam dulu pernah dinikahkan ayahnya sedang ia tidak sudi, lalu baginda Nabi menolak pernikahan tersebut’.”
Kami yang di Ma’had Aly Situbondo terlatih “tidak mudah percaya”, terutama sekali dalam urusan dalil, langsung merujuk sumber, membuka Shahih al-Bukhari yang juga kiai Faqih rujuk. Saya pribadi yakin pasti ada keterangan riwayat Khansa’ dalam ceritanya sendiri. Hal paling mengganjal, mengapa kiai Faqih tidak mengutip itu saja? Mengapa malah mengutip cerita perempuan lain yang sama dengan kisah Khansa’?
Saya mencoba mengamati satu demi satu bab serupa, sampai akhirnya menemukan riwayat Khansa’. Dan, riwayat ini menyimpan perbedaan yang “menggelitik nalar”. Berikut kami sertakan juga;
عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِذَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ، فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَتَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَها
Artinya, “Diceritakan Khansa’ binti Khidzam al-Anshariyah, bahwa ia pernah dinikahkan paksa ayahnya, sedang dirinya sebagai janda. Khansa’ tentu tidak sudi dengan sikap itu, lalu memberanikan diri menghadap Rasulullah (dan menceritakan apa yang terjadi). Rasulullah pun menolak (menyatakan tidak sah) pernikahan yang dijalankan secara paksa tersebut.” (Shahih al-Bukhari (hal. 1261, hadis ke 6945) bab ‘la yajuzu nikahul mukrah’).
Status Khansa
Dari dua riwayat di atas, ada hal yang cukup mencolok. Pada riwayat pertama, tidak menyinggung status Khansa’ sebagai janda, sementara riwayat kedua tegas menyatakannya. Urusan pernikahan dalam fikih kita, janda (tsayyib) dan gadis (bikr) mengantongi konsekuensi yang signifikan.
Seperti pada haqqul ijbar (hak campur tangan wali untuk menawarkan calon suami kepada putrinya), janda dan gadis mendapat perlakuan berbeda. Janda tidak boleh kita intervensi, dan gadis boleh. Bahkan, dalam Mazhab Hanafi, janda boleh menikah tanpa wali alias cukup dihadiri dua orang saksi. Sedangkan gadis tidak, ia harus bersama wali dan dua saksi, dan beberapa konsekuensi lainnya.
Lalu bagaimana dengan nikah paksa (al-ikrah ‘ala an-nikah)? Apakah konsekuensi sebagai janda dan gadis berbeda? Pertanyaan inilah yang mendorong saya menghubungi mualif Manba’ussa’adah dan mendiskusikannya via WhatsApp. Tegasnya, saya ingin mempertanyakan mengapa yang terkutip bukan kisah Khansa’ yang terriwayatkannya sendiri. Di mana, pada kisah itu tersebutkan dengan jelas latar belakang Khansa’ sebagai tsayyib. Saya khawatir status tsayyib ini memiliki konsekuensi berbeda dengan bikr.
Mengingat, dalam memahami teks-teks syariat sangat perlu mengawinkan satu teks dengan teks yang lain (rabth an-nushush ba’dhiha bi ba’dh(in)). Jangan sampai hadis pertama di atas (tentang seorang perempuan yang teranalogikan kasusnya dengan Khansa’) terpahami tanpa melihat bagaimana penjelasan kondisi Khansa’ sebenarnya dalam hadis kedua (Khansa’ sebagai tsayyib). Sehingga berakibat sangat fatal saat kita mulai memasuki taraf tahqiqul manath (memastikan bahwa setiap perempuan layak kita samakan dengan Khansa’ secara generalisasi).
Padahal sebagian dari mereka tidak benar-benar sama. Inilah yang fatal, menyamakan sesuatu yang tidak benar-benar sama. Demikian diskusi eksklusif antara “santri pintar baru”-meminjam istilah Gus Mus, istilah yang sangat halus untuk menunjukkan arti “bodoh”-dengan seorang kiai berkaliber tinggi, guru besar Mubadalah.id.
Maklum, saat itu masih awal sekali turut serta dalam kajian-kajian ulama perempuan. Alhamdulillah, saat ini sudah mulai lebih memahami ulama perempuan tidak hanya qauli tapi juga manhaji.
Jawaban Kiai Faqih Terkait Memahami Teks Hadits
Apa jawaban Kang Faqih terkait persoalan di atas? Kiai yang selalu bersikap egaliter juga supel itu bilang, bahwa memahami teks hadis pertama di atas, rabth an-nushush-nya bukan dengan hadis kedua yang diriwayatkan Khansa’ itu. Melainkan, berkaitan dengan spirit hadis rufi’al qalam (hadis yang berisi tentang orang gila, anak kecil dan orang yang tengah tidur yang tidak memiliki daya untuk menjalankan syariat secara suka rela).
Jadi, orang yang terpaksa itu tidak memiliki beban hukum sebagaimana tiga golongan dalam hadis rufi’al qalam. Begitu terang kiai Faqih. Saya sebagai murid pun mengangguk sepakat.
Dalam tulisan ini, saya akan menyelipkan sebuah hadis yang memiliki spirit yang sama, dan lebih spesifik. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda;
إن الله تجاوز لأمتي عما توسوس به صدورها، ما لم تعمل به أو تتكلم به، وما استكرهوا عليه أي أنه سبحانه وتعالى أسقط التكليف عن المكره فيما استكره عليه
Artinya, “Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan umatku dari segala lintasan hati yang kotor, selama tidak diucapkan atau dilakukan, dan menoleransi segala bentuk paksaan yang mencekik mereka. Artinya, Allah meleburkan beban hukum dari orang-orang yang dilindas paksaan itu.” (al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabil Imam as-Syafi’i (juz 8, hal. 240) buah karya tiga ulama besar; Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan Ali as-Syarbaji).
Ringkasnya, jika orang terpaksa mengikrarkan sesuatu di hadapan hakim, jelas ikrarnya tertolak alias tidak sah. Begitu pula orang yang dipaksa menikah, pernikahannya pun tidak sah.
Dari logika berpikir ini, maka status sebagai tsayyib (janda) tak lagi diperhitungkan. Dalam istilah ushul fiqh, kehadirannya bukan sebagai illat (alasan berdirinya sebuah hukum). Kalaupun terasumsikan sebagai illat, ia adalah illat mulgha, yaitu illat yang tumpul taringnya lantaran bertentangan dengan teks dan konsep universal seperti keadilan (al-’adalah) dan kesetaraan (al-musawah). Berdasarkan ini, tegas kita katakan, larangan nikah paksa tak pandang gadis atau janda. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []