Mubadalah.id – Dalam perdebatan soal khitan perempuan, satu hal yang kerap terabaikan adalah absennya dasar teks agama yang sahih dan otoritatif. Ketika landasan normatif ini tidak ada yang valid, maka pembelaan terhadap praktik khitan perempuan nyaris hanya bisa dimaknai sebagai bentuk kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan.
Di sinilah agama atau lebih tepatnya, tafsir tertentu atas agama berubah fungsi yaitu bukan sebagai pembebas, melainkan sebagai alat penjinak. Seksualitas perempuan menjadi sumber kekacauan moral yang harus ia kendalikan.
Maka, alih-alih dihormati sebagai subjek, tubuh perempuan justru dijinakkan melalui praktik khitan yang dilegalkan oleh tafsir keagamaan yang bias.
Kontrol ini berwujud dalam beragam cara, mulai dari ajaran kesucian yang mengharuskan perempuan mempertahankan keperawanan hingga malam pertama pernikahan, bahkan dengan tekanan untuk memiliki “tanda kesucian” berupa selaput darah.
Tubuh perempuan dianggap harus dijaga dari rangsangan, agar ia tidak mudah tergoda dan terjerumus dalam perilaku yang dianggap mencemari kehormatannya. Di sisi lain, dalam relasi suami istri, perempuan justru dituntut untuk selalu siap melayani kebutuhan seksual suami kapan saja, sementara ia sendiri tidak diajarkan untuk meminta, apalagi menuntut kenikmatan yang setara.
Ketimpangan ini semakin mempertegas dengan pembolehan poligami dan tuntutan agar perempuan menerima kondisi itu tanpa reaksi yang berlebihan.
Seluruh beban itu diperkuat oleh budaya dan struktur sosial yang mendorong perempuan untuk menerima peran pasif. Termasuk melalui praktik khitan yang diyakini mampu “menjinakkan” hasrat seksual mereka demi relasi yang sesungguhnya timpang.
Membahayakan Kesehatan Fisik dan Psikologis
Padahal, secara medis, khitan perempuan tidak memiliki manfaat yang terbukti justru berpotensi membahayakan kesehatan fisik dan psikologis. Dalam konteks keagamaan, praktik ini juga tidak sejalan dengan prinsip kesalingan dalam rumah tangga sebagaimana dalam konsep mu’asyarah bil ma’ruf (QS. An-Nisa: 19).
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah menjelaskan bahwa menurut pandangan Imam al-Mawardi, khitan hanya boleh jika terbukti membawa kemaslahatan. Jika tidak, maka praktik tersebut tergolong sebagai tindakan yang menyakiti atau memotong anggota tubuh dan pada dasarnya hal ini terlarang secara agama.
Lebih jauh lagi, Fatima Mernissi, pemikir perempuan asal Maroko, menilai bahwa seksualitas perempuan pada dasarnya aktif dan memiliki otonomi. Namun tafsir agama yang patriarkal berusaha menjinakkannya agar bisa ditundukkan oleh laki-laki.
Karena itu, kontrol atas tubuh perempuan tidak berhenti di khitan semata. Tetapi juga hadir dalam bentuk lain yaitu poligami, larangan keluar rumah, pembatasan akses pendidikan tinggi. Termasuk penghalangan partisipasi di ruang publik semua lahir dari pandangan fikih yang melihat perempuan sebagai sumber fitnah.
Sudah saatnya praktik khitan perempuan kita kaji ulang secara kritis dan objektif. Atas nama agama dan kemaslahatan, praktik yang menyakiti, merugikan, dan melanggengkan ketimpangan tidak selayaknya kita pertahankan. Agama semestinya menjadi jalan menuju keadilan, bukan alat pembenaran bagi kekuasaan atas tubuh perempuan. []