Mubadalah.id – Di awal Ramadan ini, lini massa media ramai dengan pemberitaan aksi penutupan patung Bunda Maria. Di mana perisitiwa tersebut viral setelah tersebar di media sosial melalui foto dan video. Patung Bunda Maria sendiri berada di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yacobus, di Dukuh Degolan, Desa Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta.
Aksi penutupan patung Bunda Maria dengan terpal berwarna biru itu terjadi pada pada Rabu, 22 Maret 2023 atau sehari sebelum puasa Ramadan. Penutupan dilakukan oleh beberapa personel kepolisian, di antaranya berasal dari Kepolisian Sektor Lendah.
Sebelum peristiwa itu terjadi, sekelompok orang dari organisasi masyarakat yang berafiliasi dengan partai politik Islam meminta pengelola rumah doa Sasana Adhi Rasa ST. Yakobus menutup serta membongkar patung Bunda Maria. Alasan mereka, patung tersebut mengganggu kekhusyukan ibadah puasa umat Islam.
Melansir dari Tempo.co ketua pengelola rumah doa Sasana Adhi Rasa, Petrus Surjiyanta menyebutkan bahwa lima orang dari ormas tersebut mendatangi rumah doa pada 11 Maret 2023, saat acara serah terima rumah doa kepada pembina Paguyuban Damarjati Marganingsih, atau bidang kerohanian umat Katolik.
Berjarak enam meter dari rumah doa itu berdiri Masjid Al-Barokah atau posisinya saling berhadap-hadapan. Rombongan ormas itu kemudian datang ke Masjid Al-Barokah sepekan setelah menjumpai pengelola rumah doa. Kepada pengelola rumah doa, seorang di antaranya menanyakan kelanjutan permintaan mereka agar patung itu dibongkar atau dipindahkan.
Meski dalam berita terakhir yang saya baca, warga sekitar rumah doa dan Masjid Al-Barokah justru tidak keberatan dengan keberadaan patung Bunda Maria di lingkungan mereka.
Teringat Kisah Abu Nawas
Membaca berita penutupan patung Bunda Maria tersebut, tak ayal membuat saya teringat dengan kisah Abu Nawas. Dia adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami (756-814). Atau kita kenal dengan nama Abu-Nawas. Dia merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik pada awal periode Abbasiyyah (750-1258).
Abu Nawas lahir di Ahvaz, Persia. Lalu meninggal di Baghdad. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab serta Persia. Abu Nawas tergambarkan sebagai sosok yang bijaksana serta pandai bersiasat dengan jenaka.
Abu Nawas belajar di Bashrah, lalu ke Kuffah di bawah bimbingan penyair Walibah ibn al-Hubab. Kemudian berada dalam pendampingan Khalaf al-Ahmar. Namanya disebut-sebut dalam kisah legendaris “Seribu Satu Malam.” Banyak yang mengatakan bahwa karyanya mencerminkan gambaran masyarakat saat itu; lucu, sinis, bahkan berisi ironi kehidupan.
Surga dan Bidadari di Dalam Topi
Cerita yang Abu Nawas kisahkan ini sangat menarik. Suatu hari, Abu Nawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat ke dalam topinya. Orang banyak memperhatikan Abu Nawas dengan wajah heran. Apakah Abu Nawas telah gila? Apalagi dia melihat ke dalam topinya sambil tersenyum. Salah seorang datang menghampirinya, dan bertanya, “Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?”
“Aku sedang melihat surga, lengkap dengan barisan bidadari.” Jawab Abu Nawas singkat.
“Coba aku lihat! Aku tidak yakin kamu bisa melihat seperti yang aku lihat,” kata orang itu, kembali bertanya.
“Mengapa?” tanya Abu Nawas, dan ia menambahkan, “Hanya orang beriman dan saleh saja yang bisa melihat surga di topi ini.”
Orang itu tergoda, dan kemudian melihat ke dalam topi. Sejenak dia berkata, “Benar. Aku melihat surga di topi ini, dan juga bidadari.” Orang itu berteriak dan didengar oleh orang banyak. Abu Nawas pun tersenyum.
Banyak orang kemudian ingin melihat surga di dalam topi. Namun Abu Nawas mengingatkan, “Hanya orang yang beriman dan saleh yang bisa melihat surga di dalam topi ini. Maaf, bagi yang tidak beriman, tidak akan melihat apapun.” Ujar Abu Nawas.
Hanya Orang Beriman dan Saleh yang Bisa Melihat
Satu demi satu orang melihat ke dalam topi Abu Nawas itu. Ada yang dengan tegas menyatakan melihat surga, dan ada juga yang lalu mengatakan bahwa Abu Nawas telah berbohong. Tetapi Abu Nawas tetap tenang saja mendengar kata-kata itu, sambil menebar senyum.
Akhirnya yang tidak melihat surga di dalam topi itu melapor kepada Raja dengan mengatakan bahwa Abu Nawas telah menyebarkan kebohongan. Raja pun memanggil Abu Nawas untuk menghadap ke singgasana Raja.
“Abu Nawas, benarkah apa yang kamu katakan itu, jika orang dapat melihat surga di dalam topimu?” tanya Raja.
“Benar Raja. Tetapi yang bisa melihat hanya orang beriman dan saleh. Bagi yang tidak bisa melihat itu artinya dia tidak beriman, dan tidak saleh,” jawabnya tenang.
“Oh, begitu? Coba saya buktikan, apakah benar ceritamu itu?” kata Raja, yang lalu melihat ke dalam topi. Setelah melihat ke dalam topi, Raja terdiam. Dalam hati Raja berkata, “Benar, tidak tampak surga di dalam topi ini. Tetapi kalau aku bilang tidak ada surga, orang banyak akan mengatakan bahwa aku tidak beriman. Tentu akan hancur reputasiku sebagai Raja.”
Lalu Raja berkata, “Benar! Saya sebagai saksi, di dalam topi Abu Nawas kita bisa melihat surga dengan sederetan bidadari yang cantik nan rupawan.” Setelah Raja mengatakan hal itu, orang yang mendengarnya menerima cerita Abu Nawas karena khawatir berbeda pendapat dengan Raja, dan yang lebih penting akan dicap sebagai orang yang tidak beriman.
Agama dan Kemanusiaan
Bersenjatakan surga, Abu Nawas mampu membuat orang merasa ketakutan. Yakni takut kehilangan jabatan, kehilangan kekuasaan, tidak populer dan dianggap tidak beriman. Secara ironi, orang-orang itu membuang akal sehat, mematikan rasa empati, dan melakukan kebodohan. Bahkan yang lebih tragis, sebagaimana diungkapkan Lucretius (99-55 SM, betapa hebatnya keyakinan agama sampai bisa mendorong manusia untuk berbuat jahat.
Kejahatan karena agama dalam sejarah manusia banyak terjadi di mana-mana, di seluruh dunia, termasuk berita terhangat terkait kontroversi penutupan patung Bunda Maria di Kulon Progo. Dunia yang kita tinggali ini, pernah pula diwarnai dengan perang 30 tahun (1618-1648) antara Katolik dan Protestan di wilayah yang sekarang menjadi Jerman.
Lalu perang di Irlandia Utara antara Protestan dan Katolik, Perang Salib, konflik Sunni dan Syiah di Irak, konflik Hindu dan Muslim di India. Fanatisme agama yang berlebihan, atau kelewat batas, telah meruntuhkan toleransi antar umat manusia yang beragam ini. Agama telah mereka gunakan sebagai senjata untuk melegalkan semua cara, termasuk untuk tujuan-tujuan politik. Bahkan demi, dan atas nama agama, orang bisa menyakiti orang lain.
Terakhir sebagai penutup tulisan ini, saya meminjam kalimat dari buku “Kredensial: 130 kisah tentang manusia dan kemanusiaan”, yang ditulis Trias Kuncahyono, seorang jurnalis Kompas. Ia mengatakan bahwa jika keberadaan agama harus kita bela dengan kekerasan, apa sumbangannya terhadap peradaban manusia? Bukankah toleransi, saling menghormati, menghargai, dan nilai-nilai persaudaraan merupakan ungkapan keberadaban manusia? []