Mubadalah.id – Setiap hari, kita pasti pernah berada di fase insecure dan mempertanyakan makna kesempurnaan. Perasaan seperti tidak cukup baik, tidak sesuai standar, ataupun perasaan tidak berharga. Hal ini, setiap elemen manusia tentu mengalaminya. Mereka Penyadang Disabilitas, maupun Non Penyandang Disabilitas.
Apalagi di zaman sekarang, adanya media sosial sering kali menjadi alat komunikasi besar untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Di berbagai platform seperti Tiktok, Instagram, Whatsapp, Facebook, Telegram, X (Twitter), Youtube atau media lainya.
Media Sosial Sebagai Standar Kesempurnaan
Seolah-olah kesempurnaan punya standar yang harus di miliki. Ntah itu tubuh yang ideal, Pencapaian yang tinggi, Kulit yang sehat, atau perjalanan hidup tanpa adanya cobaan. Padahal, kita tahu bahwa standar yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari realitas kehidupanya.
Mempublikasikan foto, video, caption, atau cerita di platform media sosial. Hanyalah sebagian part terpilih, dari kehidupan seseorang yang mengaploadnya.
Dengan begitu, ketika kita mempublikasikan di platform media sosial, tentu sudah melewati berbagai proses. Proses editing, pemilihan, atau caption yang sudah di buat semenarik dan sebagus mungkin untuk memenuhi ekspetasi diri sendiri, ataupun orang lain sebagai penontonya.
Kebanyakan dari kita justru menjadikan publikasi itu sebagai standar kesempurnaan. Lalu, bertanya tentang skenario kehidupan diri sendiri, misal begini:
“Kenapa yaa aku nggak bisa sehebat mereka”
“Hidupnya beruntung banget yaa”
“Kapan yaa aku bisa kayak dia yang perfect itu”
“Bagian mana yang salah dari diri aku yaa”
Sebagian contoh pertanyaan di atas, menjadi salah satu sebab dari beberapa yang dapat membuat diri sendiri memiliki perasaan kurang. Kurang cukup, kurang standar lebih baik, kurang berharga. Nah jika kita di fase itu, ada dua pertanyaan yang perlu kita renungkan pada diri sendiri:
“Benarkah kesempurnaan harus sesuai standar media sosial”
“Apakah kesempurnaan lahir ketika manusia berani menerima kondisi dirinya”
Dari semua pertanyaan di atas, insights yang bisa kita ambil ialah melalui perspektif yang lebih luas. Dari mereka Penyandang Disabilitas, yang sering kali mengalami pembedaan, baik itu ketika di ranah privat ataupun publik.
Melalui stigma itu, justru menunjukkan bahwa kesempurnaan manusia bukan dinilai oleh apa yang terihat. Tapi, pada mereka yang berani mengambil langkah kehidupanya, tanpa menyerah pada keterbatasan yang ada.
Dari mereka, kita bisa belajar bahwa perasaan cukup baik dan sesuai standar, bukan melihat seseorang dari fisik yang ideal. Tapi, tekad yang kuat untuk terus berusaha mencapai target menuju makna kesempurnaan. Versi diri sendiri bukan versi media sosial.
Banyak cerita inspiratif dari teman-teman Penyadang Disabilitas yang dapat membantu kita untuk mendefinisikan ulang apa itu makna kesempurnaan. Salah satunya kisah dari perjuangan seorang perempuan luar biasa yang bernama Angkie Yudistia.
Kisah Angkie Yudistia: Perempuan Penyandang Disabilitas
Mengutip dari website kompas.com, sejak kecil, Angkie Yudistia hidup sebagai penyandang disabilitas, tepatnya mengalami gangguan pendengaran. Pada banyak kasus, kondisi seperti ini sering membuat masa depan seseorang dipandang sebelah mata. Tapi, Angkie menolak pada pandangan tersebut.
Angkie terus melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi dan berhasil meraih gelar akademik yang hebat. Keberhasilanya bukan hanya sebagai pencapaian pribadi, tapi sebagai bukti bahwa kesempatan adalah hak semua elemen manusia tanpa terkecuali.
Tidak lama dari kelulusanya, ia berhasil mendirikan Thisable Enterprise, waktunya pada tahun 2011. Thisable Enterprise merupakan sebuah perusahaan sosial yang memiliki misi membuka akses kerja dan meningkatkan kompetensi profesional bagi mereka penyandang disabilitas di Indonesia.
Melalui inisiatif tersebut, Angkie Yudistia.berusaha menghilangkan stigma bahwa Penyandang Disabilitas sebagai beban atau sesuatu yang memalukan. Ia ingin menunjukkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menutup diri dari dunia kerja ataupun produktivitas.
Pada tahun 2019, Angkie Yudistia berhasil mendapatkan amanah menjadi Staf Khusus Presiden Republik Indonesia era Joko Widodo. Ia membuktikan bukan sekadar jabatan, tapi sebagai penyandang disabilitas yang mampu mengambil peran penting dalam pembangunan bangsa, membuat kebijakan, dan ikut memperjuangkan hak bagi kelompok rentan.
Belajar dari kisah Angkie tentang makna kesempurnaan
Kisah di atas, menjadi salah satu contoh dari beberapa pengalaman Penyandang Disabilitas seperti Angkie yang dapat memberikan peran besar.
Kesempurnaan bukan soal tubuh yang ideal, pencapaian yang tinggi, kulit yang sehat, perjalanan hidup tanpa adanya cobaan. Melainkan, soal keberanian menerima diri sendiri dan terus melangkah. Teman-teman Penyandang Disabilitas yang sering kali dianggap hidup dalam keterbatasan, justru menjadi bukti bahwa kesempurnaan terletak pada mereka yang berusaha mengejar usaha, kemampuan ataupun doa (Tawakkal).
Secara keselurahan, terdapat insight yang penting. Di mana kita perlu kembali memaknai arti dari kesempurnaan. Bukan hanya melihat dari tubuh yang serba ideal, bukan tentang kemampuan yang seratus persen sesuai ekspektasi manusia sekitarnya.
Singkatnya, teman-teman Penyandang Disabilitas nggak perlu di labeli kasian, tapi mereka perlu di support. Sebab, keterbatasan dan kesempurnaan bukanlah hambatan untuk meraih kesuksesan. Entah, dalam mencapai mimpi ataupun memberikan inspirasinya. []











































