Mubadalah.id – Umat Islam waktu itu yang sempat hidup sezaman dan bertemu dengan baginda Nabi, saat tersiarnya kisah gharaniq, terutama yang imannya masih lemah, bermuka dua (munafik), apalagi dari kalangan orang-orang musyrik, sangat meyakini kebenaran kisah tersebut. Akibatnya, tak sedikit yang terhempas jauh dari rahmat Tuhan, tidak lagi mempercayai agama yang baginda Nabi bawa sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan semakin bangga dengan kemusyrikan dan kemunafikan mereka.
Di waktu itulah sejarah mencatat di mana kaum musyrik dan munafik memuji-muji agama Islam, kira-kira dalam bahasa yang lebih lugas mereka mengatakan, “Nah, akhirnya Muhammad pun memuji Tuhan sesembahan leluhur kita”.
Sebuah kekacauan besar jika isu ini tersebar luas tanpa kehadiran isu pembanding yang mengklarifikasi klaim-klaim tersebut. Untung saja mereka berhadapan dengan al-Qur’an, titah Allah yang kokoh, suci, tak tersenggol oleh apa pun. Allah memang sudah berjanji untuk menjaga titah suci-Nya dari laku dan fitnah kotor jahiliah.
Singkat bicara, orang-orang musyrik itu mengaku mendengar baginda Nabi Muhammad menyambung ayat al-Qur’an dengan pujian-pujian kepada berhala-berhala mereka. Klaim inilah yang para ulama bantah habis-habisan kebenarannya. Dengan banyak argumentasi dan logika sederhana, para ulama kita mengatakan bahwa klaim kaum musyrikin menabrak akal sehat. Berikut argumentasi mereka;
Kemaksuman Baginda Nabi dalam Menyampaikan Pesan dari Allah
Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah insan mulia yang terjaga dari segala dosa. Ia maksum dalam segala hal; prilaku, sikap, suara hati dan tutur kata. Apalagi dalam kaitannya dengan titah Allah. Mustahil ia melakukan kesalahan, terlebih yang berdampak fatal bagi umat dan agama Islam.
Salah satunya seperti kisah gharaniq yang isunya tersebar ke seluruh kaum muslimin tanah Haram ini. Isu yang sangat berbahaya ini absurd keluar dari lisan mulia baginda Nabi. Konsensus para ulama kita telah menyatakan demikian.
KH Solahuddin bin Mushif Jember, dalam Umdah at-Tahqiq fi Ibthali Qishshatil Gharaniq (hal. 4) menulis:
وأجمعت الأمة على صدقه صلى الله عليه وسلم وصدق أخباره فيما كان طريقه البلاغ وأجمعت فيما أمر بتبليغه من الإخبار عن مجيء شيء منها بخلاف ما هو به لا قصدا ولا عمدا ولا سهوا ولا غلطا
“Konsensus ulama tegas menyatakan kebenaran baginda Nabi, kebenaran berita-berita yang sampai kepadanya dari Allah, juga sangat terjaga dari menyampaikan kabar-kabar yang tidak sesuai realita, baik secara terencana, atas unsur kesengajaan, kelupaan maupun kesalahan.”
Sehingga, segala ketidakbenaran dan kebohongan yang muncul secara terencana, sengaja, lupa maupun atas kesalahan tantang berita yang akan disampaikan kepada umat, tidak mungkin bersumber dari diri baginda Nabi Muhammad SAW. Mengingat, hal ini terkait erat dengan mukjizat. Dalam teori mukjizat dikatakan;
فمعجزته صلى الله عليه وسلم كما دلت على نبوته دلت على صدقه
“Mukjizat baginda Nabi, karena ini sebagai bukti kenabian tentu menunjukkan kebenarannya.”
Baginda Nabi bersabda;
إني رسول الله إليكم لأبلغكم ما أرسلت به إليكم وأبيّن لكم ما نزل عليكم
“Sungguh, aku adalah utusan Allah kepada kalian semua yang akan menyampaikan apa pun yang disampaikan kepadaku dan menjelaskan segala yang turun untuk kalian.”
Jaminan Allah dalam Penjagaan Al-Qur’an
Hal yang paling absurd orang bijak lakukan adalah “menelan” kebijakannya sendiri, atau tidak menjaganya, membiarkannya begitu saja. Tidak peduli apakah akan tersusupi oleh para perusak atau tidak. Jangankan kebijakan sebagai raja, pemerintah, pimpinan lembaga, dan lain-lain, bahkan kebijakan di kancah terkecil di tengah keluarga pun akan berbuah kekacauan jika kebijakan tersebut tidak kita jaga dengan baik.
Apalagi kebijakan al-Qur’an, titah Tuhan sang maha bijaksana. Inilah hal yang harus kita yakini dan pegang teguh oleh setiap muslim yang berakal sehat.
Allah telah berjanji untuk menjaga kitab suci tersebut mulai sejak di Lauhul Mahfudzh. Ketika Allah turunkan ke kalbu Muhammad, saat tersampaikan kepada umat dengan cara yang sangat aman terjaga. Tidak terdapat celah sedikit pun untuk ruang permainan dan tipu daya hasrat-hasrat rendah jin dan manusia.
Tidak hanya sampai di situ, penjagaan itu juga tetap berlangsung ketika ayat-ayat suci tersebut sampai kepada umat. Bahkan hingga hari kiamat tiba. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam an-Naml ayat 6;
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ عَلِيْمٍ
“Dan, sungguh engkau benar-benar diberi al-Qur’an dari sisi Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.”
Gus Solah, panggilan masyhur pengasuh Ponpes Ali Ba’alawi Kencong berkomentar tentang ayat di atas, menulis;
وهكذا حفظ الله تعالى القرآن المجيد بعد تبليغه صلى الله عليه وسلم للأمّة
“Begitu halnya setelah al-Qur’an disampaikan kepada umat, Allah tidak pernah melepaskan penjagaannya.” Umdah at-Tahqiq fi Ibthali Qishshatil Gharaniq (hal. 7)
Sekali lagi mengutip surah al-Hijr tentang janji Allah untuk menjaga al-Qur’an, Allah berfirman;
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
“Sungguh, kami turunkan al-Qur’an, dan kami sendirilah yang menjaganya.”
Al-Qur’an Terjaga Sejak di Lauh al-Mahfudzh
Ada makna tersirat yang dalam di balik istilah lauh al-mahfudzh. Terjemah sederhananya, papan tulis yang senantiasa terjaga. Allah menamainya demikian tentu selalu sesuai dengan kesungsiannya. Dalam Umdah at-Tahqiq (hal. 8) disebutkan, Wa fi hadza tanbih(un) anna ma hawahu hadza al-lauh wa kutiba fihi mahfudzh(un) min bab aula wa ahaqqa (Dalam penamaan tersebut, jelas ditegaskan bahwa apa pun yang tersimpan dan tertulis di papan itu pasti akan sangat terjaga).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Buruj (21-22);
بل هو قرآن مجيد. في لوح محفوظ
“Bahkan, yang mereka dustakan adalah al-Qur’an yang mulia, yang tersimpan di lauh al-mahfudzh.”
Singkat kalam, berdasarkan dalil-dalil dan berbagai argumentasi di atas, sangat tidak masuk akal saat membenarkan kisah gharaniq tersebut. Ia tidak lain adalah kabar palsu yang mustahil muncul dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab. []