“Kancil tidak licik, tapi kancil cerdik. Dia selamat dari buaya yang hendak menyantapnya karena kecerdasannya. Banyak juga kisah-kisah lain tentang kecerdikan kancil, Hannah.”
Mubadalah.id – Seorang ayah muda bercerita kepada putrinya yang masih berusia 5 tahun. Mereka tiduran di kasur, dengan si anak berbantal tangan ayahnya. Menatap bintang-gemitang buatan yang bercahaya di kamar sederhana itu. “Tapi, Ayah, lagu yang Ayah ceritakan tentang si kancil anak nakal, bukankah berarti kancil itu seekor pencuri?” tanya Hannah, si kecil cerdas yang senang dengan cerita-cerita. Penuh rasa ingin tahu, dan banyak bertanya.
“Memangnya Hannah sudah hafal lagunya?” Ayah muda menatap Hannah penuh kasih dan mengelus rambutnya. Dia balik bertanya kepada putrinya itu.
Hannah kecil mengangguk mantap, untuk kemudian mulai bersenandung.
Si kancil anak nakal
Suka mencuri timun
Ayo lekas dikurung
Jangan diberi ampun
“Bantulah dia. Bagaimanapun dia adalah Ayahmu.”
Ibu membuyarkan lamunanku. Kulihat mimiknya begitu amat memohon. Aku menatapnya lembut. Menarik nafas pelan, dan mulai menimbang-nimbang.
Aku berusaha menghindari tatapan mata ibu. Sungguh sangat tak tega memandang wajahnya yang begitu berharap. Membuatku sangat getir.
Terawangan nalar memaksaku mengenang saat-saat aku mulai berkarir sebagai jurnalis yang magang di kantor warta berita, sampai semuanya menyeretku kembali pada kisah-kisah dari masa kecilku.
Siapa sangka bahwa perjalananku sebagai jurnalis membawaku menemukan kenyataan yang sangat mengharukan sekaligus menyesakkan. Sekelumit cerita tak terduga, di mana aku bertemu dengan ayah yang selama belasan tahun sangat kurindukan. Seorang ayah yang bercerai dengan ibu, untuk kemudian terpaksa meninggalkan Hannah kecilnya. Dan kini, Hannah yang telah dewasa itu, merasa tertuntut untuk membantu sang ayah yang sekarang terjerat kasus dugaan korupsi.
2 tahun aku menjadi jurnalis, semua hal-hal baru yang kutemukan tak pernah aku simpan sendiri, selalu kuceritakan pada ibu. Termasuk pertemuanku dengan ayah.
“Bu, redaksi meminta Hannah melakukan wawancara dengan dewan pejabat yang sedang naik daun lantaran donasinya dan keterlibatannya membantu masyarakat kabupaten.”
“Siapa pejabat itu, Hannah? Ibu tahu beberapa nama pejabat dari koran dan berita televisi,” kata ibu menanggapiku dengan antusias.
Ragu kuucapkan, “Tuan Basyir Malik, Ibu.” Kulihat ibu termenung beberapa saat, menatap mataku lurus. Tapi kemudian langsung mengalihkannya dengan menampakkan senyum yang bagiku tampak sangat kaku.
“Ah, Iya.” Jawabnya singkat. Tak mau berpanjang lebar membahas pencapaianku yang berhasil dipercaya untuk mewawancarai seorang anggota dewan.
Aku tahu dia ayahku karena berita-berita tentangnya tak pernah kulewatkan sedikitpun. Sejak dia baru menjadi anggota dewan berkarir rendah, sampai menginjak posisi yang cukup berpengaruh sebagai pejabat. Dan tentu, wajahnyalah yang selalu terekam dan melekat jelas dalam ingatanku yang membuatku kadang terpekik acapkali menemukan berita tentangnya, sekaligus miris mengingat akan hubungan kami yang terpisah.
Suatu ketika karena aku begitu senang bertemu ayah, aku berterus terang kepada ibu dengan menyebut statusnya dalam keluargaku, meskipun itu kisah di masa lalu.
“Bu, Hannah tadi baru mewawancarai Ayah.”
Aku merasa tak enak, tapi rasa senang mengalahkan segala perasaan segan dan canggung itu, bahkan meskipun rentan menyakiti Ibu.
Ibu menatapku lekat selama beberapa detik namun tidak ada ketersinggungan sedikitpun di sana. “Iya, Hannah. Pasti dia hebat sekali. Kamu kelak seperti dia. Menjadi orang hebat,” katanya.
Wajahnya yang mulai menua lantaran usia dan beban kehidupan menyuguhkan senyuman yang tulus. Aku balas tersenyum. Ibu pasti sudah menduga dari jauh-jauh hari bahwa aku, pada akhirnya akan bertemu kembali dengan ayahku. Ibu juga tahu bahwa aku sangat berharap agar kelak dapat bertemu dengan ayahku lagi dan bisa menjalin hubungan baik dengannya.
Dan ketika saat itu tiba, ibu harus belajar menerima. Aku benar-benar salut kepada ibu. Dia begitu tegar dan berusaha menelan rasa sakit. Tak ingin mengenang masa lalu menyesakkan, melainkan menjadikannya pelajaran. Sungguh sosok wanita yang kuat.
Ayah dan ibu. Kisah keduanya amat klasik. Keluarga ibu yang dari kalangan agamis kurang menyetujui hubungannya dengan ayah yang seorang anak anggota dewan. Keduanya akhirnya memutuskan berpisah, usai serentet pertengkaran yang terjadi hampir setiap hari.
Tapi baik ayah maupun ibu sama-sama tak dapat membohongi perasaan mereka bahwa keduanya masih saling mencintai. Namun setelah ibu mendengar kabar ayah menikah lagi, ibu mulai ragu akan kesetiaan ayah. Namun rupanya ibu salah, setelah selama 15 tahun dia selalu menerima kiriman uang dari ayah dalam jumlah besar untuk membantu menyokong kehidupanku, ibu menghempas prasangkanya dan menghargai tanggung jawab nafkah dari ayah meskipun status mereka bukan lagi sebagai suami-istri lagi.
Aku tahu semuanya karena seperti yang telah kubahas, baik ibu maupun aku, tak ada rahasia di antara kita. Kala itu aku berusia 6 tahun dan baru masuk sekolah dasar. Tapi sayang, aku, Hannah kecil, kehilangan sesosok pendongeng handal seperti ayahku.
Di usia 8 tahun aku mulai tahu bahwa ayah menikah lagi dengan janda beranak satu, yang juga dari kalangan pejabat. Kudengar putranya berusia 3 tahun diatasku.
Dalam tekadku aku berjanji akan terus berbakti, menghormati, menuruti, sayang dan welas kepada ibu yang telah membesarkanku seorang diri dengan penuh perjuangan. Namun tak lantas aku juga mengabaikan ayahku, karena meski bagaimanapun, dia turut menafkahiku. Dan yang pasti, tak ada keinginan sama sekali dalam hati ayahku untuk meninggalkan kami, melainkan karena keadaan yang kurang berpihak.
“Dengan siapa, Mbak?” tanya ayah saat pertama kali kami bertemu di ruangan kerjanya.
Aku berdiri tegak nan sopan seraya mantap menjawab, “Hannah Malika, Pak. Mahasiswi magang dari Fakultas Komunikasi Media.”
Sebuah perkenalan yang berhasil membuat sang anggota dewan mematung, tetapi kemudian langsung mempersilahkanku duduk di kursi yang ada di depannya. Sesaat dia terlihat bingung harus bersikap apa. Wajahnya pasi dan sangat kaku. Namun kesadaran akan andil besarnya dalam mewakili rakyat sekaligus sikap formal yang tak boleh di luruhkan, dia mendehem dan menyembunyikan kegugupannya. Dia harus terlihat berwibawa.
Dia mengangkat wajah dan menatapku lurus seraya memberanikan diri untuk berkata, “Kamu pasti sudah tahu, kalau saya adalah Ayah kamu.” Jeda cukup lama. Keheningan menyelimuti kami. Dia pasti tengah mengontrol rasa gundah dalam hatinya. Kesedihan mulai tampak di wajahnya dan dia terlihat sangat menyesal.
Dia batuk-batuk kecil sebentar kemudian tersenyum, menyembunyikan perasaannya. “Kamu sudah sebesar ini. Kamu cantik seperti ibumu. Dan pastinya seorang muslimah yang baik,” lanjutnya.
“Sebuah kehormatan bagi Ayah karena dapat bertemu dengan Hannah.” Kata-kata itu meluncur juga akhirnya. Meski tak kusangka sama sekali dia akan mengucap demikian.
Ah, Ayah… Desirku terenyuh. Hatiku terasa nyaman, senang sekaligus sedih. Campur aduk sampai aku tak dapat menerjemahkannya. Mataku ikut berkaca-kaca. Namun sebisa mungkin aku menahan gejolak di hati. Hanya senyuman yang dapat mewakili.
Setelah berujar demikian, dia menanyai kabarku, kabar ibu, kuliahku, dan kehidupanku. Perasaan malu dan rasa bersalah terpancar jelas di matanya. Tapi perasaan lega dan bahagia juga tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Aku bersyukur ayah senang bertemu denganku.
Kami berbincang banyak.
“Hannah bisa datang kapanpun Hannah mau. Boleh langsung masuk ke ruangan Ayah. Jangan segan untuk meminta apapun pada Ayah. Hubungi Ayah kapan saja Hannah sempat. Hannah adalah anak Ayah.”
Aku tersenyum untuk kemudian mengangguk.
Aku sangat gembira karena pertemuan ini bukan pertemuan yang buruk. Justru sebaliknya, kami saling terbuka dan menerima.
Di akhir pertemuan perdana itu, ayah memelukku sembari membisikkan sesuatu, “Maafkan Ayah yang pengecut ini, nak.” Setelah melepas pelukan, kulihat dia mengusap air mata. Dia pasti sama terharunya sepertiku.
Seringnya aku melakukan wawancara dengan ayahku, tentunya menjadikan aku juga bertemu dengan anak tiri ayah.
“Aku Haqqi, seorang polisi, anak sulung keluarga Malik. Ehm, maaf, maksudku, Tuan Basyir,” ujarnya sembari menunjuk ayah.
Itu perkenalan anak tiri ayah saat dia datang ke kantor papahnya dan mendapatiku sedang wawancara di sana.
Saat itu ayah terlihat kikuk. Namun aku langsung menyambut uluran tangannya dan balik memperkenalkan diri dengan tegas dan lugas. Pembawaan khas seorang awak media
“Hannah. Jurnalis di salah satu kantor warta berita.”
Setelah itu aku dibiarkan mendengar percakapan mereka. Karena memang aku dipersilahkan untuk mendengar obrolan yang lumayan bersifat privasi bagi keduanya, dengan dalih bahan wawancaraku yang telah disetujui kedua pihak, pihak kantor berita maupun pihak kantor pejabat.
“Papah sudah bilang tidak usah mengirim anak buahmu untuk melindungi keamanan Papah. Justru itu akan semakin menarik perhatian publik,” pinta Tuan Basyir, ayah kandungku, yang juga papah tiri Haqqi.
“Pah, desas-desus itu makin gencar. Haqqi takut terjadi apa-apa sama Papah.”
Aku tahu desas-desus yang di maksud. Yakni tentang penggelapan pajak di kantor sang dewan, juga pencucian uang melalui perantara pembangunan jembatan. Rupanya Haqqi amat menyayangi ayah. Aku dapat menerkanya dengan hanya melihat cara Haqqi melindungi dan menghormati papahnya.
Dan semuanya benar-benar terjadi. Ayah terseret kasus dugaan korupsi. Aku juga tahu kenapa ibu memaksaku membantu ayah. Selain dari kiriman uang yang rutin, ibu selalu yakin bahwa ayah adalah orang baik. Ibu juga selalu percaya, bahwa ayah bukanlah orang yang keji. Meskipun dengan gelimangan harta dan jabatan menjanjikan, kebaikan yang melekat dalam jati diri seseorang adakalanya memang mudah goyah, sayangnya ayahku berbeda.
Kini tugasku adalah menggiring opini publik untuk menafikan bahwa ayahku tidak bersalah, melainkan difitnah. Lewat media tempatku bekerja, aku menulis hal-hal yang sekiranya dapat mematahkan dugaan korupsi ayahku. Tentunya, aku juga bertanya padanya langsung dalam suatu pertemuan.
“Bukan Ayah, kan?” tanyaku.
Ayah mendongak, menaruh kopi yang baru saja diminumnya, lalu menatapku tenang. Dia menarik nafas pelan dan tersenyum. “Ayah tidak melakukan itu, nak. Ayah adalah contoh, tidak mungkin Ayah berbuat buruk.”
Ah, benar. Sebagaimana yang dikatakan ibu, bahwa ayah adalah sosok yang jujur, antisuap, nepotisme apalagi korupsi. Ayah juga sosok pejabat yang pantas digugu, dia sering berdonasi menggunakan uang pribadinya dan sering melakukan pembangunan serta menggalakan lembaga pemberdayaan masyarakat. Andai semua pejabat seperti ayah.
“Hannah, kalau memang kancil mencuri timun, dia pantas dihukum. Tapi seandainya dia dijebak, sebisa mungkin, dengan kecerdasannya, meskipun terkesan licik, dia akan berusaha meloloskan diri dari perangkap.”
Dongeng itu. Aku sedih sekaligus terenyuh mendengarnya. Dongeng di mana ketika ayah belum meninggalkanku, membuat hatiku teriris perih. Ayah menganalogikannya dengan situasi yang dialaminya sekarang. Kancil itu adalah ayah. Tapi aku tahu, kecerdasan dan kecerdikan yang dia maksud adalah aku. Ayah berharap aku membantunya lepas dari jeratan ini. Kancil jangan sampai dikurung. Karena kancil tidak mencuri timun.
Di luar pembahasan kasus ayah kuberanikan diri mengapa dia tega meninggalkan ibu dan aku. Juga kenapa dia menikah lagi sedangkan ibu memilih sendiri. Jawabannya memang seperti yang kuduga, ayah tak tahan dibicarakan keluarga ibu, dan menikah lagi pun atas dasar keinginan keluarga ayah.
“Nak, kamu tahu, apa yang lebih luas dari langit?” tanya ayah.
“Apa, Ayah?”
“Hati yang sabar dan menerima.”
Aku tahu kata-kata itu bukan untuk menasihati ayah sendiri ataupun sebagai penguat dirinya, melainkan untukku. Sebab ayah bukan orang sabar dengan perlakuan keluarga ibu, juga bukan orang yang dengan lapang menerima setiap ocehan dari mulut mereka. Ayah menyitir kata itu untukku. Sebuah nasihat agar aku lebih tabah dan legowo melebihi dirinya. Sabar dan tetap tangguh menjalani kehidupan yang keras ini, juga tetap berdiri menghadapi kenyataan-kenyataan yang terkadang di luar keinginan.
Keterlibatanku meliput kasus ayah membuatku sering bertemu Haqqi. Siapa duga kami malah dekat. Acapkali Haqqi juga bertanya mengapa aku begitu antusias membuktikan bahwa papahnya tidak bersalah. Entah demi siapa, aku berbohong bahwa aku hanya kagum dengan papahnya dan meyakini bahwa papahnya orang bersih.
Dalam satu kesempatan ketika aku ditugasi mengetik jurnal di kantor sang dewan sampai malam, Haqqi menawari menemaniku. Dia membantuku mencari berkas-berkas untuk dijadikan bukti di dalam ruangan papahnya itu.
Kian larut, mulai banyak nyamuk berdatangan, membuatu ingat akan suatu kisah, yang mendorongku untuk membaginya kepada Haqqi.
“Kamu tahu, gak, kenapa nyamuk suka berdengung kencang di telinga?” tanyaku memulai percakapan.
Haqqi terlihat malas berfikir dan langsung saja bertanya, “Kenapa?”
“Soalnya dulu nyamuk pakai anting, tapi kemudian cara berpakai anting-anting mereka ditiru manusia. Jadinya nyamuk pada suka berdengung di telinga, deh, karena ada antingnya. Kebayang, kan, lucunya nyamuk pakai anting?” Aku terkekeh sendiri mengingat kisah itu.
Haqqi tak langsung menjawab. Dia menatapku lekat. “Kamu dapat cerita itu dari mana? Aku serasa pernah dengar. Kalau gak salah dari Papahku,” ucapnya.
Gantian aku yang membisu. Benar. Pasti ayah juga menceritakan banyak kisah kepada Haqqi.
Aku tergagap, “Aaah, itu cuma cerita fiktif anak-anak aja, kok.” jawabku kikuk.
Haqqi mengangguk. “Oke. Tapi, kan, yang pake anting kebanyakan cewek. Pantes banyak nyamuk yang ngegigit dan berdengung di telinga cewek.” Haqqi nyengir.
“Hemmm, iya, deh, terserah Haqqi aja. Tapi yang jelas nyamuk gak ada yang deket-deket telinga Hannah. Hannah, kan, pake jilbab. Hahahaaa…”
Itu salah satu kisahku dengan Haqqi. Sampai kejadian serius yang menegangkan benar-benar menimpaku. Semuanya karena beberapa kelompok yang tidak menyukai tulisan-tulisan pembelaanku terhadap ayahku sendiri, sang anggota dewan.
Tragedi itu terjadi di malam lengang, saat aku lembur di kantorku sendirian. Karena berambisinya aku ingin membantu ayah dengan menyusun berkas-berkas bukti ketidakbersalahannya_untuk kemudian kuberikan kepada kuasa hukum ayah_kuputuskan untuk segera menyelesaikannya.
Dari ruanganku aku mendengar gerasak-gerusuk dan langkah kaki yang terkesan hati-hati juga sembunyi-sembunyi. Perasaanku menjadi gelisah. Rasa was-was membuatku melangkah ke dapur kantor dan mengambil pisau. Tak lupa gunting kertas dari meja kawanku. Begitu aku bersembunyi di balik pintu kayu pembatas ruangan para pegawai, 4 orang berpakaian serba hitam dan bertopeng muncul.
Aku menghunuskan pisau namun mereka lebih sigap dan berhasil menyergap, serta merta mereka langsung mengepungku. Salah seorang berhasil menyanderaku dan menempelkan pisau yang berhasil dia renggut ke leherku. Seorang yang lain mengambil paksa gunting dari tanganku sehingga tanganku tergores dan mengeluarkan darah. Aku pasrah dan menegang. Tak berani melawan atau bergerak seinci pun.
Tetapi semuanya tak berlangsung lama ketika Haqqi tiba-tiba datang menembakkan peluru ke orang yang mendekapku. Juga menyusul ke tiga lainnya. Mereka tumbang dan mengerang kesakitan karena punggung dan bahu mereka yang terkena peluru.
Aku langsung menghambur ke Haqqi dan bersembunyi di belakangnya. Tanganku gemetar hebat mencengkeram seragam polisinya. Haqqi balik menggenggam erat punggung tanganku yang dingin untuk memberi rasa aman kepadaku. Lengan seragam polisinya memerah akibat darah yang keluar dari tanganku. Dia kemudian menelepon rekannya. Tak lama sirene polisi mengaung untuk selanjutnya menangkap keempat orang itu.
“Sejak kemarin aku mengunjungimu. Aku curiga dengan mobil misterius yang selalu terparkir di jalan. Makannya malam ini aku bersembunyi menemanimu di kantor. Takut terjadi apa-apa. Dan benar saja, keempat orang ini berniat mencelakaimu.”
Kisah selanjutnya memang mengejutkan. Penangkapan keempat orang itu membawa sidang berjalan sesuai harapan kami, sebagai pembuktian bahwa ayah tidak bersalah. Hal sepele terkadang bisa mengungkap hal-hal yang besar. Keempat orang itu adalah suruhan lawan bisnis ayah yang bersepakat bekerjasama dengan rekan kerjanya untuk menghancurkan bisnis ayah. Keempat orang itu berniat mengancamku agar berhenti membuat berita-berita ketidakbersalahan ayah. Ayah di fitnah rekan kerjanya itu dan akhirnya ayah pun bebas.
Ketika ayah melihat tanganku diperban, dia langsung memelukku yang membuat Haqqi memandang keheranan.
“Papah hanya lega bisa melihat Hannah baik-baik saja. Papah sangat takut jika sampai keempat orang itu berhasil melukai Hannah. Hannah sudah baik kepada kita,” kata ayah, yang kemudian balik memeluk Haqqi supaya tidak ada rasa curiga atau salah paham. Mereka berpelukan dengan sangat erat sekali.
Aku tahu, meski Ayah mengakuiku sebagai anaknya, dia masih belum bisa membuka kenyataan itu semua pada keluarga barunya. Aku maklum. Meski benar aku merasa sakit hati atas takdir yang tidak kusukai ini. Karena jujur aku sangat ingin keluarga utuh dengan peran ayah dan ibu yang lengkap di sampingku.
Tetapi aku bersyukur karena hari-hari berikutnya aku, ayah, dan Haqqi semakin dekat. Aku tidak tahu status apa yang tengah aku jalani. Tapi yang pasti, aku senang bisa menjadi sangat dekat dengan ayah. Haqqi mungkin akan menjadi kakak tiriku, namun kini bukan saat yang tepat untuk mengungkap semuanya. Sehingga bisa saja Haqqi mengira aku adalah teman kencannya.
Seandainya Haqqi benar mencintaiku, bagaimana reaksinya ketika tahu bahwa aku adalah adik tirinya?
Semua kemungkinan itu membuatku teringat kata-kata ayah dan berhasrat memberitahunya juga kepada Haqqi, pada malam di mana, kami menikmati bintang gemintang di daerah Dago yang tenang dan nyaman.
“Qi, kamu tahu, apa yang lebih luas dari langit?” tanyaku.
“Apa?”
“Hati yang luas dan menerima.”
Haqqi tertegun. Dia pasti pernah mendengar nasihat itu.
Dari papahnya! []