Mubadalah.id – Beberapa waktu terakhir nama Nunung kembali menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Hal tersebut penyebabnya karena ia mengklaim telah menafkahi 50 anggota keluarganya.
Secara keadaan, Nunung sendiri mengaku sedang mengalami kesulitan karena ia tidak mendapatkan pemasukan sekitar 1,5 bulan pasca menjalani rehabilitasi. Meski demikian, ia masih bisa memenuhi kebutuhan puluhan keluarganya. Perjuangan tersebut ia jalani meski dengan menguras tabungan, menjual rumah, mobil sampai hidup di kos.
Kisah Nunung yang menanggung beban puluhan orang tersebut dengan landasan ingin membantu sekaligus menunaikan amanah dari ayahnya. Si ayah menitipkan anak-anaknya kepada Nunung terutama ketika ia telah meninggal.
Mencuatnya kisah Nunung merupakan satu dari ribuan perempuan yang menanggung nafkah anggota keluarganya. Meski tidak sebesar apa yang Nunung lakukan, namun fenomena tersebut jelas terasa di masyarakat Indonesia.
Fenomena Perempuan Sebagai Tulang Punggung Keluarga
Berdasarkan data yang Badan Pusat Statistik (BPS) terbitkan, bahwa sebanyak 12,73 persen perempuan di Indonesia adalah kepala keluarga (penanggung utama beban finansial). Kalaupun kita buat gambaran, 1 dari 10 kepala keluarga di Indonesia merupakan sosok ibu atau perempuan.
Perempuan menjadi tulang punggung keluarga bisa karena beberapa faktor. Semisal kondisi keluarga di mana seorang suami tidak bekerja, ataupun kalau bekerja pendapatannya masih minim dan jauh di bawah seorang istri.
Selain itu, perubahan struktur keluarga karena perceraian, atau kematian pasangan dapat menyebabkan perempuan terpaksa menjadi orang tua tunggal yang harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
Fenomena perempuan sebagai pemikul beban keluarga bisa juga berdasarkan peningkatan pendidikan dan partisipasi kerja perempuan. Pada saat ini, banyak kita temukan pabrik, maupun tempat-tempat kerja lainnya yang membuka lowongan kerja bagi para perempuan saja.
Melalui beberapa data tersebut, peran perempuan sebagai pemberi nafkah utama di keluarganya menjadi sesuatu yang lumrah di era modern.
Dampak Positif dan Tantangan
Perempuan sebagai tulang punggung keluarga memiliki dampak baik dan buruk. Di antara dampak baik dari fenomena tersebut yakni meningkatnya pemberdayaan perempuan di dunia kerja. Pada masa lalu, ada tuntutan yang menginginkan perempuan dapat berkarir selayaknya laki-laki dan hal tersebut ter-amini dari fenomena yang ada sekarang ini.
Keberadaan perempuan sebagai penghasil uang tidak kita pungkiri dapat menstabilkan ekonomi keluarga. Kasus seperti ini sudah sering terjadi di kaum milenial di mana istri menjadi “rekan kerja suami” agar mendapatkan penghasilan secara lebih masif.
Meski demikian, peran perempuan sebagai tulang punggung keluarga memiliki beberapa tantangan. Pertama, beban ganda perempuan. Sosok ibu yang selama ini terkenal memiliki peran domestik melebarkan sayapnya untuk terjun ke peran eksternal. Penambahan peran ini tentu semakin memperberat beban perempuan.
Kedua, adanya diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja. Kita sadari maupun tidak, bahwa dunia kerja sering memberikan gaji yang lebih rendah kepada pekerja perempuan. Selain itu, promosi yang mereka dapatkan juga lebih susah jika daripada pekerja laki-laki. Hal tersebut terjadi sebab adanya stigma perempuan yang masih dianggap sebagai kelas kedua di masyarakat.
Ketiga, minimnya dukungan kebijakan kerja dan sosial. Para pekerja perempuan berhadapan dengan berbagai regulasi yang memberatkan mereka. Seperti ketiadaan cuti bagi wanita hamil, fasilitas penitipan anak, dll. Beberapa hal tersebut semakin mempersulit perempuan untuk bisa terlibat di ruang eksternal.
Kesetaraan Peran Nafkah Keluarga: Sebuah Tawaran
Hemat penulis, perempuan sebagai kepala keluarga maupun tulang punggung keluarga menjadi hal yang sah di era modern. Sebagaimana yang Nunung lakukan. Walaupun begitu, tetap kita memerlukan beberapa aturan yang bisa menguntungkan perempuan agar menghasilkan relasi yang adil.
Terdapat beberapa tawaran yang bisa kita pertimbangkan, seperti melakukan komunikasi secara terbuka di antara masing-masing anggota keluarga, perihal pengelolaan, jumlah penghasilan dan pembagian beban mencari uang.
Selain itu, membutuhkan pembagian tugas secara adil (tidak harus sama). Pada kasus pekerja perempuan jika memang dituntut untuk bekerja sedangkan ia punya anak, maka anggota keluarganya seyogyanya dapat membantu mengurus anaknya, sekaligus membantu kebutuhan domestik di rumah.
Tawaran terakhir yakni perlunya rasa tenggang rasa antar anggota keluarga. Perasaan ini dibangun oleh rasa peduli dan empati ketika melihat salah satu anggota kesusahan. Perasaan tersebut sekaligus menjadi penanda kehidupan keluarga yang sehat.
Praktik perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga merupakan sesuatu yang banyak terjadi, bukan hanya di kawasan metropolitan, namun juga pedesaan. Dari semua itu, titik tekan yang diperlukan adalah rasa saling membantu dan bukan malah mengeksploitasi salah satu pihak. wallāhu a’lām. []