Mubadalah.id – Pernikahan adalah pertemuan dan kerjasama. Sementara perceraian adalah perpisahan dan kedua pihak tidak lagi kerjasama. Laki-laki atau perempuan yang menganjurkan, mendorong, atau membuat dirinya atau orang lain bercerai adalah termasuk orang yang dibenci Allah Swt.
Namun, dalam kehidupan nyata tidak semua perkawinan sesuai dengan yang disyariatkan.
Ketika al-Qur’an (QS. Ar-Rum, 30: 21) berharap agar pernikahan menjadi tempat ketenangan dan kebahagiaan (sakinah) bagi pasutri, dengan memadu cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah), tidak sedikit yang justru terjadi sebaliknya.
Pada kondisi inilah perceraian itu dibolehkan, dan bisa jadi malah menjadi jalan yang lebih baik (QS. Al-Baqarah, 2: 130).
Pada masa Nabi Saw, ada kisah seorang perempuan bernama Habibah bint Sahl ra. yang mengajukan cerai, karena ketakutannya tidak bisa membangun rumah tangga yang diharapkan.
Habibah ra adalah istri seorang sahabat terpandang, tokoh panutan, dan orator ulung penduduk Madinah. Yaitu, Tsabit bin Qays bin Syammas al-Anshari al-Khazraji ra.
Habibah tiba-tiba datang ke rumah Rasulullah Saw.
Saat Nabi Saw membuka pintu rumah, dijumpai ada seorang perempuan. “Siapa ini?,” kata Nabi Saw.
“Habibah bint Sahl,” jawab sang perempuan.
“Ada keperluan apakah gerangan?,” tanya Nabi Saw.
“Aku istri Tsabit bin Qays ra. Ya Rasul, aku tidak sanggup lagi menjadi istri dia. Sekalipun akhlak dia baik dan ibadah dia juga bagus, tetapi aku tidak sanggup serumah denganya,” jawab perempuan.
“Maumu apa?,” tanya Nabi Saw.
“Aku tidak menyalahkannya, tetapi aku sendiri yang ingin bercerai darinya, karena tidak sanggup hidup bersama. Khawatir malah aku berperangai buruk kepadanya,” jawab tegas Habibah.
Lalu Nabi Saw memanggil suaminya, Tsabit bin Qays ra, dan menyarankannya untuk menceraikan istrinya tersebut.
Perceraianpun terjadi dengan tebusan sebidang tanah yang awalnya diterima Habibah sebagai mahar, yang dikembalikan kepada Tsabit.
Inilah kisah cerai tebus pertama dalam Islam, yang dalam fiqh disebut sebagi khulu.
Kisah lengkap ini dari berbagai versi hadits yang dicatat Imam Ibn Hajar dalam Fath al-Bari. Sementara dua teksnya juga bisa dijumpai di Sahih al-Bukhari (no. 5330 dan dan Muwatta’ Imam Malik (No. 1187). (FK)
(Sumber: Ibn Hajar al-Asqallani, Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, ed. Abd al-Aziz bin Baz, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), juz 10, halaman: 496-506)