Mubadalah.id – Dalam Islam, konsep birr al-walidain setidaknya disebut empat kali dalam ayat al-Qur’an. Bahkan konsep ini yang sering dirujuk para ulama dalam memandang birr al-walidain sebagai ajaran dasar Islam, yaitu dalam QS. al-Baqarah (2): 83, QS. al-Nisa (4): 36, QS. al-An’am (6): 151, dan QS. al-Isra (17): 23.
Keempat ayat itu menggunakan kata ihsan untuk perlakuan terbaik kepada kedua orangtua. Ajaran ihsan kepada kedua orangtua disandingkan oleh ayat-ayat ini dengan tauhid kepada Allah Swt.
Dalam ayat ini menyebutkan bahwa kebaikan (al birr) itu bukan dengan klaim, tetapi dengan tindakan nyata.
Mulai dari keimanan kepada Allah Swt., hari akhir, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, menafkahkan harta yang kita cintai untuk kerabat, dan anak yatim.
Kemudian mencintai orang miskin atau orang yang membutuhkan, melakukan shalat, membayar zakat, menunaikan janji, bersikap sabar atas segala kesulitan, kesusahan, dan kekurangan dalam hidup.
Makna-makna dari al-birr ini menjadi menarik ketika kita hubungkan dengan birr al-walidain atau berbakti pada kedua orangtua. Konsep birr al-walidain merupakan ajaran dasar dalam Islam yang menuntut setiap orang untuk berbakti kepada kedua orangtuanya.
Perintah birr al-walidain berlaku bagi anak yang sudah dewasa (mukallaf). Bukan anak kecil yang masih dalam proses pertumbuhan.
Tidak benar jika ada orangtua yang menyalahkan, membentak, dan menghukum dengan kekerasan, kepada anak kecil karena dianggap tidak berbakti kepadanya.
Pada usia anak, tugas kedua orangtuanya adalah mendidik dan membiasakan mereka pada ajaran birr al-walidain dengan penuh kasih sayang.
Bukan dengan memaksa, membentak, atau dengan kekerasan. Anak kecil yang “bersalah” tidaklah berdosa (Sunan Abu Dawud, no. Hadis: 4400), karena belum terkena perintah agama (taklif).
Sementara kedua orangtua yang membentak dan melakukan kekerasan sudah terkena taklif, dan melanggar ajaran kasih sayang terhadap anak-anak (birr al-aulad).
Dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, Telah diangkat pena (pertanggungjawaban hukum) dari tiga orang: orang yang tidur sampai terbangun, orang yang sakit (jiwa, atau gila) sampai sembuh, dan anak kecil sampai ia dewasa.” (Sunan Abi Dawid, No. 4400). []