Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan ulama fikih tentang konsep kafaah, maka mereka memiliki beragam pendapat mengenai hukum kafaah.
Imam Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/778 M), Hasan Basri (w. 110 H/728 M), al-Karkhi dari Mazhab Hanafi (w. 200 H/815 M) memandang konsep kafaah bukan bagian dari akad nikah, tidak sebagai syarat, rukun, atau kelangsungan akad.
Argumentasi dasar dari para ulama ini adalah bahwa kedudukan semua manusia, di mata Islam, adalah setara dan sepadan.
Sehingga pertimbangan status sosial, ekonomi, pendidikan. Bahkan menjadi tidak penting dalam pernikahan selama kedua mempelai memilih untuk menikah dan membangun rumah tangga.
Argumentasi para ulama ini juga berdasarkan Hadis, baik teladan perbuatan maupun pernyataan.
Teladan perbuatan Nabi Muhammad Saw yang secara status keagamaan maupun sosial adalah paling tinggi dan tiada banding. Faktanya, Nabi Saw menikahi perempuan yang tidak sebanding secara keagamaan maupun sosial.
Begitu pun Nabi Saw menikahkan putri-putri baginda dengan para laki-laki yang juga tidak sebanding dengan status keagamaan maupun sosial Nabi Saw.
Sementara teks Hadis yang cukup populer di kalangan ulama fikih dalam hal ini adalah:
“Manusia itu laksana gigi-gigi sisir (setara dan sama), tidak ada keutamaan yang satu terhadap yang lain, kecuali atas dasar ketakwaan.” (Subul al-Salim, juz 2, hal. 189).
Sementara mayoritas ulama fikih dari berbagai mazhab memandang bahwa kafaah ini penting dalam pernikahan.
Menurut Syekh Wahbah al-Zuhailiy, persamaan-persamaan sosial dalam kafaah ini perlu untuk membuat ikatan pernikahan lebih kuat, langgeng, dan membahagiakan kedua belah pihak.
Ketidak cocokan status sosial sering kali menyulitkan mereka untuk bisa membangun rumah tangga secara lebih kokoh. []