Mubadalah.id – Dalam Islam, konsep mar’ah shalihah tidak semestinya hanya dikaitkan dengan relasi perempuan terhadap suaminya. Karena, bukankah setiap manusia, perempuan dan laki-laki memiliki relasi dengan Allah sang Pencipta, dengan keluarganya dan masyarakatnya.
Pernyataan Nabi: “Maukah aku tunjukan simpanan terbaik seseorang? Perempuan shalihah adalah yang ketika dilihatnya menyenangkan, ketika diperintah menurut, dan ketika ditinggalkan olehnya, mau menjaga diri dan harta suami,” dinyatakan di hadapan sahabat-sahabat yang miskin.
Saat itu, mereka mendatangi Nabi dan mengeluhkan bahwa perintah-perintah al-Qur’an banyak yang mengarah kepada orang-orang kaya, seperti haji, zakat, dan shadaqah. (lihat teks hadis lengkap pada Sunan Abu Dawud, juz I1/126, nomor hadis: 1664).
Mereka, karena kemiskinannya, merasa tidak memiliki apa-apa untuk bisa beramal shalih lebih banyak. Dalam konteks ini, Nabi menyatakan perempuan shalihah sebagai harta atau simpanan terbaik.
Berarti, konteksnya adalah menenangkan, melipur lara, dan memberi kesempatan kepada orang-orang tertentu untuk tetap bisa merasakan kenikmatan dan tetap bisa melakukan amal shalih. Tetapi keshalihan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, bermakna luas, seluas makna shalih itu sendiri: layak, patut, baik, dan bermanfaat.
Di samping pemaknaan ulang terhadap beberapa teks hadis yang bias. Maka dari itu, pengajaran hadis juga harus kita perkuat dengan teks-teks yang secara jelas dan tegas memperkuat posisi sosial-politik perempuan. Seperti teks-teks tentang perjuangan Siti Khadijah ra. dan beberapa sahabat perempuan yang lain.
Termasuk tentang kemitraan laki-laki dan perempuan, tentang hak perempuan dalam perkawinan dan perceraian. Bahkan tentang aktivitas sosial-politik perempuan yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW. Juga tentang kehidupan surgawi yang ada di telapak kaki ibu (perempuan), dan beberapa teks lain mengenai hak-hak perempuan. []