Mubadalah.id – Di dalam al-Qur’an, ada salah satu ayat yang membicarakan tentang bagaimana relasi suami-istri atau lebih umum tentang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga). Di situ al-Qur’an hampir selalu menyebut kata-kata bi al-ma’ruf, dengan cara yang baik atau patut. Misalnya:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya: “Dan pergaulilah mereka (para istri-mu) dengan cara yang baik dan patut”. (QS an-Nisa, 4: 19).
Kata ini jelas terkait dengan kata dasarnya, yaitu al-‘urf, yang berarti kebiasaan, tradisi. Para ahli menjelaskan bahwa ma’ruf adalah adat, kebiasaan atau tradisi yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan akal sehat, serta tidak menyimpang dari dasar-dasar agama.
Dengan begitu, maka ma’ruf merupakan kebaikan berdimensi lokal dan temporer, atau dalam bahasa populer, berdimensi kontekstual. Kalau demikian kebaikan jenis ini bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun tetap saja harus berada dalam frame (kerangka) akhlak karimah.
Ayat-ayat teologis yang sementara ini diinterpretasikan bias gender juga harus dikaji ulang dan ditafsiri kembali dengan menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan relasi antara lelaki dan perempuan (Keadilan Gender). Karena alasan bahwa prinsip dasar ideal Islam, seperti yang dinyatakan oleh ayat-ayat di atas adalah persamaan dan keadilan antara lelaki dan perempuan.
Ayat Penciptaan
Seperti ayat-ayat penciptaan, semua harus merujuk kepada ayat yang secara tegas (QS. at-Tin, 95:4) menyatakan bahwa penciptaan manusia (lelaki dan perempuan) adalah penciptaan kesempurnaan.
Karena itu, ayat penciptaan (QS. an-Nisa, 4: 1) yang menjadi dasar bagi sebagian ulama tafsir untuk menjustifikasi keyakinan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk lelaki. Sehingga kualitas yang pertama menjadi lebih rendah dari yang kedua harus dibaca dan dirafsiri kembali.
Keyakinan ini, sebenarnya adalah warisan tradisi dari bangsa-bangsa sebelumnya (kaum Yahudi dan Nasrani) yang menjalar kepada kaum muslimin.
Karena itu, di dalam al-Qur’an tidak kita jumpai satupun ayat yang secara eksplisit menyatakan hal demikian. Yang ada hanyalah interpretasi para ulama yang kita anggap memiliki otoritas penuh untuk menrafsiri teks-teks agama.
Padahal tafsiran adalah tetap tafsiran yang tidak menutup kemungkinan wujudnya keterkaitan dengan perkembangan sosio-pengetahuan yang temporal. []