• Login
  • Register
Kamis, 29 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Kriteria Tafsir Adil Perspektif Nur Rofiah bil Uzm

Salah satu upaya mengimplemantasikan prinsip rahmatan lil alamin adalah dengan mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang adil gender

Suci Wulandari Suci Wulandari
31/10/2023
in Figur
0
Tafsir Adil

Tafsir Adil

988
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id– Tafsir yang adil itu kriterianya apa sih, salingers? Selama ini kita memahami ajaran agama lewat tafsir-tafsir yang disuguhkan oleh para ulama dan pemikir keagamaan, mulai dari yang klasik hingga kontemporer.

Namun, apakah kita menyadari bahwa sebagian dari kita seringkali menelan mentah-mentah tafsir agama tanpa melihat konteks penafsiran yang mungkin sudah berbeda jauh dengan masa kita. Sehingga, ada kalanya sebuah pemahaman memang relevan pada masa tertentu, tapi tidak sesuai dengan masa selanjutnya.

Sebagai contoh kasus nusyuz dalam surah an-Nisa ayat 34. Dalam potongan ayat tersebut, al-Qur’an menggunakan kata وَاضْرِبُوْهُنَّ yang seringkali dipahami dengan makna memukul. Makna ini tentu sudah tidak relevan dengan zaman, expired knowledge. Pemukulan sebagai solusi penyelesaian problem rumah tangga bertentangan dengan hak asasi manusia.

Al-Qur’an dan Visi Rahmatan Lil ‘Alamin

Al-Qur’an turun pada masyarakat yang budaya patriarkhinya sangat keras. Perempuan mengalami banyak diskriminasi dan ketidakadilan yang terpampang nyata dalam realitas kehidupan sehari-hari. Adapun laki-laki mempunyai banyak keistimewaan dan hak untuk melakukan apapun terhadap perempuan. Relasi yang ada saat itu adalah dominasi patriarkhi.

Al-Qur’an membawa visi Rahmatan lil Alamin, rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga bagi perempuan. Secara perlahan al-Qur’an menekankan prinsip keadilan dan kemanusiaan pada audience pertamanya tersebut. Al-Qur’an menghapus sistem poligami tak terbatas dan menekankan ajaran monogami. Al-Qur’an juga meniadakan sistem perempuan sebagai barang warisan. Perempuan adalah subyek yang juga berhak menerima warisan.

Baca Juga:

Pesan Nyai Alissa Wahid di Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

Al-Qur’an menekankan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama subyek kehidupan yang mengemban amanah sebagai khalifah fil ardh. Keduanya berkewajiban untuk menebarkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan di bumi ini.

Salah satu upaya untuk mengimplemantasikan prinsip rahmatan lil alamin adalah dengan mendudukkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang adil gender dan menghadirkan narasi tafsir kegamaan yang ramah gender.

Tafsir Adil vis Tafsir Zalim I; Antara Pihak Kuat dan Pihak Lemah

Pihak kuat yang saya maksud di sini adalah mereka yang umumnya mempunyai kuasa atas pihak lemah, seperti penguasa atas rakyat, orang tua atas anak, dan suami atas istri.

Nur Rofiah bil Uzm dalam ngaji KGI menjelaskan bahwa sebuah tafsir dikatakan adil jika;

Pertama, menjadi anugerah bagi semua pihak di setiap relasi, baik laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin, muda maupun tua. Hal ini sesuai dengan prinsip rahmatan lil alamin. Jika sebuah tafsir menjadi anugerah hanya bagi salah satu pihak, dan menjadi musibah bagi pihak yang lain, maka tafsir seperti itu bisa masuk pada kategori tafsir zalim.

Misalnya, Qs. an-Nisa ayat 1 tentang penciptaan perempuan pertama. Kata “نَفْس” menjadi titik tekan pembahasan. Sebagian mufassir merujuk kata tersebut kepada “Adam”, dan sebagian yang lain memaknai kata tersebut sebagai “jenis”. Kedua tafsir ini mempunyai konsekuensi pemahaman terhadap relasi laki-laki dan perempuan.

Makna yang pertama terkesan mengakui bahwa Hawa berasal dari laki-laki, yakni Adam. Pemahaman ini menempatkan laki-laki sebagai pihak yang istimewa dan perempuan sebagai makhluk kedua (relasi patriarkhi). Tafsir seperti ini tentu saja merugikan perempuan.

Adapun makna kedua menekankan bahwa tidak ada perbedaan unsur penciptaan laki-laki dan perempuan. Keduanya berasal dari jenis yang sama. Maka, posisi keduanya sebagai makhluk adalah sama. Tidak boleh ada yang merasa lebih unggul atau istimewa daripada yang lain.

Kedua, mendorong semua pihak untuk berakhlak mulia, terutama pihak kuat kepada pihak lemah. Jika sebuah tafsir hanya mendorong pihak lemah untuk berakhlak mulia kepada yang kuat, maka bisa dikategorikan tafsir zalim.

Perintah muasyarah bil ma’ruf dalam Qs. an-Nisa ayat 19 berlaku bagi kedua pihak. Suami dan istri berkewajiban untuk sama-sama bergaul secara ma’ruf dengan pasangan.

Maka akan masuk kategori zalim jika suami menuntut istri untuk bersikap lembut, sigap melayani kebutuhan lahir batin, menjaga perasaan suami, dan lain sebagainya, tanpa mengimbanginya dengan perbuatan yang sama.

Tafsir Adil vis Tafsir Zalim II

Ketiga, mendorong semua pihak untuk taat kepada Allah dan pada nilai kebaikan bersama. Sebaliknya, jika ada tafsir yang melegitimasi pihak lemah untuk taat mutlak kepada pihak yang kuat, maka bisa masuk pada kategori tafsir zalim.

Hadis tentang laknat malaikat pada perempuan yang menolak melayani kebutuhan seksual suami misalnya, tidak boleh dipahami secara literal saja. Karena pemahaman yang terbentuk bisa bias dan memposisikan perempuan sebagai pihak lemah yang harus selalu taat pada suami.

Baik suami maupun istri wajib mematuhi komitmen rumah tangga dan taat menjalankan perintah Allah. Tidak boleh hukumnya menekankan pentingnya ketaatan mutlak seorang istri pada suami.

Keempat, mendorong pihak yang kuat untuk memberdayakan pihak yang lemah. Bukan sebaliknya, mendorong dan bahkan menormalkan pihak kuat melakukan kezaliman pada pihak yang lemah.

Selama ini, titik tekan pemahaman tentang haid dalam Qs. al-Baqarah ayat 222 lebih pada larangan berhubungan badan dengan istri yang haid karena darah yang keluar adalah penyakit. Yang dituju adalah kebutuhan seksual laki-laki. Titik.

Tafsir seperti ini tidak mempertimbangkan pengalaman biologis perempuan. Bahwa perempuan yang menstruasi itu seringkali menghadapi rasa nyeri dan sakit yang luar biasa. Maka, harus ada inisiatif dari laki-laki untuk berkomunikasi dengan istrinya untuk saling membantu mengurus rumah tangga.

Nah, gimana nih pendapat salingers tentang kriteria tafsir adil di atas? []

Tags: Dr. Nur RofiahKeadilan HakikiMerebut TafsirPerempuan UlamaTafsir Adilulama perempuan
Suci Wulandari

Suci Wulandari

Dosen Ilmu al-Qur'an dan Tafsir di STAI Darul Kamal, Lombok Timur, NTB

Terkait Posts

Hj. Biyati Ahwarumi

Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

23 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Merariq Kodek

    Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alarm Kekerasan Terhadap Anak Tak Lagi Bisa Diabaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • #JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki
  • Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah
  • Budaya Gosip dan Stigma atas Perempuan dalam Film Cocote Tonggo (2025)
  • Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?
  • #JusticeForArgo: Melawan Privilese Dalam Menegakkan Keadilan Korban

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID