Mubadalah.id – Paska Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I, substansi KUPI berubah wujud menjadi sebuah gerakan bersama untuk meneguhkan eksistensi dan peran keulamaan perempuan Indonesia.
Siapapun yang mengakui keulamaan perempuan, menerima dan meyakini konsep keadilan hakiki bagi perempuan. Termasuk memakai perspektif kesalingan dalam relasi gender, menganut metodologi musyawarah keagaman yang KUPI pakai selama Kongres. Serta mengamalkan hasil-hasil Kongres adalah bagian dari gerakan keulamaan perempuan KUPI.
Karena sifatnya sebagai gerakan, maka KUPI harus berbasis sel-sel jaringan, tidak hirarkis, tidak sentralistik, dikelola dengan kepemimpinan yang kolektif, satu sama lain antar individu dan jaringan adalah setara, berakar pada realitas di lapangan yang dibungkus pengetahuan yang bernas, juga berbasis sensitivitas pada nurani dan moral.
Istilah “keulamaan perempuan” adalah merujuk pada perspektif dan kerja-kerja “ulama perempuan”. Definisi “ulama perempuan” sendiri telah dibahas di Kongres, dengan segenap paradigma, perspektif, metodologi pengetahuan, kerja dan kiprah sosial yang masuk di dalamnya.
Singkatnya, “ulama perempuan” adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki ilmu pengetahuan keagamaan dan sosial. Serta meyakini dan bekerja untuk keadilan relasi laki-laki dan perempuan.
Istilah ini berbeda dari “perempuan ulama” yang lebih tertuju pada jenis kelamin perempuan yang memiliki illmu pengetahuan semata.
Empat karakter dari seseorang atau lembaga untuk bisa kita sebut sebagai bagian dari gerakan keulamaan perempuan adalah sebagai berikut:
Pertama, meyakini dan mengamalkan keislaman yang meneguhkan sendi-sendi kebangsaan, kelestarian lingkungan, dan perdamaian dunia.
Kedua, mengakui eksistensi, peran dan kiprah ulama perempuan sebagai bagian dari keniscayaan keimanan dan keharusan sejarah peradaban kemanusiaan. Serta panggilan kebangsaan.
Ketiga, meyakini dan menggunakan konsep keadilan hakiki bagi perempuan dan perspektif Mubadalah (kesalingan) dalam memahami teks-teks rujukan Islam dan realitas sosial.
Keempat, merujuk pada al-Qur’an, Hadits, Aqwal Ulama, Konstitusi, dan pengalaman riil perempuan dalam merumuskan sikap. Serta pandangan keagamaan mengenai isu-isu kehidupan sosial. Terutama yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. []