Mubadalah.id – Perhelatan KUPI II baru saja terlaksana di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Berbagai orang dari kalangan pesantren, aktivis, maupun individu, datang dengan semangat yang membara. Bagaimana tidak? KUPI II ini berisi orang-orang yang hadir dari penjuru daerah bahkan kancah internasional. Salah satu peserta yang datang individu di tengah ramainya KUPI II ialah aku.
Meskipun begitu, KUPI mempertemukan aku dengan orang-orang yang berangkat sendiri, tapi memiliki komitmen sama, memperjuangkan hak-hak yang ramah perempuan dan adil gender. “Tidak mengapa datang sendiri, Tuhan akan mempertemukan kamu dengan orang-orang yang datang sendiri, namun sama-sama memperjuangkan kemaslahatan umat,” Pepatah ini aku temukan di hari pertama KUPI II.
Halaqah atau bisa dikenal dengan sekumpulan orang yang membahas sebuah isu penting, disediakan oleh panitia KUPI II sedemikian rupa. Tema yang terbahas saat halaqah musyawarah KUPI II salah satunya “Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Kehamilan Akibat Perkosaan.”
Kisah Pilu Korban Kekerasan Seksual
Aku jadi teringat keresahanku selama ini. Ada kaleidoskop di lingkungan sekitar yang aku temukan. Ini mengisahkan seorang siswi usia belum mencapai 19 tahun mengalami kehamilan tidak diinginkan akibat perkosaan. Selain dikeluarkan dari sekolah, ia juga mendapat tekanan berlipat ganda dari keluarga. Dikeluarkan dari sekolah lantaran dianggap mencemarkan nama baik dan dinikahkan dengan pelaku dengan dalih menjaga martabat keluarga.
Peristiwa ini membuatku patah hati dan tercengang. Jika ada satu perempuan korban, maka aku turut sakit dan menjadi bagian dari korban tersebut. Satu angka korban kekerasan seksual tidak akan sebanding dengan beban fisik, psikologis, ekonomi, dan beban lain yang korban alami. Ketika sekolah tidak bisa memberikan ruang aman, keluarga tidak memberikan rangkulan, lalu kepada siapa perempuan korban harus mendapatkan pemulihan.
Akhirnya, kolektif atau ruang-ruang seperti KUPI ini yang dapat menjadi ruang perempuan korban mendapatkan pemulihan secara perlahan. Jujur, ketika aku melihat kasus perkosaan, maka aku sadar, aku juga terlibat sebagai korban karena terluka melihat realita kehidupan yang meminggirkan perempuan. Aku memiliki rasa pedih saat melihat jiwa perempuan korban belum memiliki kesiapan, akan tapi sudah mengalami kehamilan.
KUPI Menjadi Ruang Aman Perempuan
Kematangan fisik dan psikis korban seringkali terabaikan dan mereka tutup dengan dalih nama baik kelompok tertentu, baik instansi maupun keluarga. Lagi-lagi, korban mengalami kepahitan hidup berlapis. Sebagai refleksi menjelajah ke Jepara, aku temukan halaqah musyawarah KUPI II yang menjawab keresahan tersebut. Beberapa poin yang membuatku sayang jika pengalaman KUPI II tidak saya refleksikan lebih mendalam.
Pertama, pentingnya analisis permasalahan dengan melihat kondisi jiwa dan pengalaman biologis perempuan. Saat Pra Musyawarah KUPI II berlangsung, aku memperhatikan narasumber yang memberikan masing-masing pemahaman. Ada kondisi di mana kasus kekerasan seksual ini nyata terjadi di berbagai ruang, baik ruang umum maupun ruang privat sekalipun.
Sudah semestinya masyarakat menghentikan victim blaming pada perempuan korban kekerasan. Saat kehamilan terjadi akibat perkosaan, kita harus melihat apakah korban memiliki kesiapan yang matang atau tersiksa dengan kondisi kehamilan tersebut. Sehingga tidak langsung memberikan keputusan bahwa korban dinikahkan langsung dengan pelaku dan kehamilannya tetap berlangsung, padahal mengancam jiwa perempuan korban.
Kedua, perlindungan jiwa perempuan akibat perkosaan adalah sebuah urgensi. Keresahanku dengan kisah-kisah ganjil di sekitar tentang korban perkosaan mulai terjawab. Saat Musyawarah Kegamaaan KUPI II berlangsung, aku mendengar berbagai ayat, hadist, dan undang-undang peserta sampaikan untuk memperkuat pentingnya perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan.
Merangkul Korban dan Memulihkan Jiwanya
Hal-hal penting tersebut meyakinkanku untuk merangkul perempuan korban dengan melihat sisi kemanusiaan, bukan lagi menutup kasus dengan dalih nama baik kelompok apalagi menutup dengan dogma-dogma agama.
Ketiga, sebagai perempuan yang kerap membaca linimasa berita kekerasan seksual, melihat realita ketimpangan gender, aku menangis haru setelah hasil musyawarah KUPI II dibacakan. “Perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib,” Apa yang selama ini menjadi keresahanku, terjawab di tengah perhelatan KUPI II. Ini menguatkanku untuk terus bergerak menyuarakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Tidak ada satupun manusia yang berhak menjadi objek kekerasan seksual di manapun berada. Patah hatiku pulih perlahan, recharge daya untuk tidak surut dalam memihak korban kekerasan di luar sana. Masih banyak orang baik yang akan merangkul korban, seperti yang aku lihat dari peserta KUPI II di Jepara.
Hasil musyawarah KUPI II berhak publik ketahui terlebih dapat mempengaruhi kebijakan. Bagaimana perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan akan lebih kita utamakan. Jika sudah sampai pada tahap demikian, bagaimana agar pendidikan dapat terasa oleh korban kekerasan tanpa ancaman diskriminasi.
Perempuan yang mengalami kehamilan akibat perkosaan bukanlah aib apalagi mencemarkan nama baik. Ia adalah korban yang pantas berada di ruang aman, mendapat pemulihan, dan tetap berhak mendapatkan pendidikan non-diskriminatif. Selain menjadi ruang silaturahim, KUPI II juga menjadi ruang pemulihan bagi jiwa perempuan yang selama ini terjerat tafsir agama dan terpenjara dalam ruang-ruang yang meminggirkan posisi perempuan. []