Mubadalah.id – Perjalanan spiritual setiap orang memang sangat unik dan khas, apalagi perjalanan spiritual tentang berkurban. Setiap tahunnya, umat Islam merayakan hari Raya Iduladha dengan berkurban. Kurban sendiri merupakan bentuk rangkaian ibadah yang bermula dari perjalanan spiritual Nabi Ibrahim AS. Beliau mendapatkan wahyu untuk menyembelih Ismail yang kemudian Allah ganti kepalanya menjadi kepala kambing.
Dalam syariat Islam sendiri, aturan berkurban terbagi atas empat aturan atau syarat. Pertama, orang yang berkurban diharuskan seorang muslim. Kedua, baligh (orang telah mencapai kedewasaan menurut Islam). Ketiga, berakal (orang yang sudah punya kesadaran penuh). Keempat, mampu secara finansial atau memiliki kecukupan rezeki untuk membeli hewan qurban tanpa mengganggu kebutuhan pokoknya.
Allah memberikan keringanan ibadah kurban pada masyarakat yang telah mampu. Itu artinya, masyarakat yang belum memiliki kemampuan untuk berkurban, tidak wajib berkurban. Hakikatnya, kurban sendiri juga bentuk ibadah yang peduli terhadap orang-orang yang belum “mampu”. Biasanya, daging kurban akan dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian.
Gen Z, Perjalanan Spiritual, dan Ibadah Kurban
Tulisan kali ini mendokumentasikan diskusi bersama seorang sahabat. Sahabat muslim Gen Z yang sedang berkelahi dengan quarter life crisis. Di awal umur 23 tahun, seorang sahabat ingin sekali untuk pertama kalinya dapat beribadah kurban.
“Fase dewasa, tidak begitu menyenangkan, ya! Di awal umur 23 tahun dengan pendapatan yang hanya cukup buat satu bulan ini, rasanya Saya juga berharap kapan bisa berkurban,” ujarnya sambil mengaduk matcha latte yang tinggal separuh itu.
Saya terdiam, melanjutkan mengaduk thai tea yang belum Saya sempat minum. Kulihat wajahnya lagi, pandangannya mulai kosong. Malam yang dingin berubah sedikit mencekam. Saya tahu apa yang sedang dikhawatirkannya.
Sementara itu Saya berusaha menanggapi pendapatnya. “Coba aja kalau pemerintah kita bisa menyediakan lapangan kerja yang sangat memadai. Pastinya, kita juga punya tabungan untuk berkurban meskipun harus menunggu satu atau dua tahun buat menabung,”
Kami saling bertatapan, beberapa hari lagi takbir akan berkumandang di seluruh tempat di bumi. Beberapa orang bersiap dengan membeli hewan kurban, rumah potong hewan juga sudah membuka kuota pemotongan. Kulihat sahabatku tertawa, “Jadi, kita ga bisa berkurban tahun ini karena salah pemerintah?” tanyanya dengan sedikit menjengkelkan.
Saya tersenyum kemudian tertawa. “Engga juga sih, semua hal yang terjadi di dunia karena kehendak Allah. Kalaupun kita belum berkesempatan berkurban, berarti Allah memang belum mengizinkan kita kurban,” jawabku dengan tenang.
Baru saya tahu, ternyata banyak sekali teman-teman gen Z juga ingin kurban. Syarat pertama hingga ketiga sudah tercukupi. Namun, syarat keempat masih belum tercukupi. Bukannya ingin memaksakan, tapi kita juga ingin merasakan ibadah berkurban yang hanya satu tahun sekali. Bagi teman-teman gen Z, memang kondisi saat ini belum memungkinkan untuk berkurban.
Pendapatan yang kecil, lowongan pekerjaan yang tidak banyak tersedia, inflasi yang tinggi, dan serba-serbi hegemoni sosial ekonomi yang menyulitkan rakyat menjadi salah satu akibat. Siapa yang menyangka bahwa kondisi sosial ekonomi dan politik ternyata berdampak kepada perjalanan spiritual untuk berkurban.
Kisah Menggelitik Bilal bin Rabbah yang Berkurban Ayam
Saya jadi teringat sebuah kisah yang menggelitik, saat Rasulullah bertanya kepada Bilal apa yang ia jadikan kurban? Bilal bin Rabbah merupakan budak berkulit hitam yang Rasulullah merdekakan.
Pada kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid karya Ibnu Rusyd, dijelaskan bahwa Rasulullah bertanya kepada Bilal. “Engkau berkurban apa, Bilal?” tanya Rasulullah. “Saya berkurban seekor ayam jago,” jawab Bilal yang suara sandalnya sudah sampai ke surga. “Oh, rupanya muazin berkurban muazin, ya,” kata Rasulullah sambil bercanda.
Respon candaan Rasulullah atas jawaban Bilal bin Rabbah menunjukkan bahwa Rasulullah adalah orang yang penuh kasih sayang. Jikalau Rasulullah bukan orang yang penyayang, pasti Rasulullah akan memarahi Bilal dan berkata bahwa berkurban harus menggunakan hewan ternak, bukan unggas. Tapi, Rasulullah merespon dengan nada yang bercanda.
Beliau memperlihatkan sisi kemanusiaan dan kelembutan hati dalam berinteraksi, bahkan dalam hal ibadah sekalipun (bukan dalam konteks mempermainkan ibadah). Beliau tidak memberatkan Bilal dalam hal berkurban karena memang saat itu Bilal belum mampu untuk berkurban.
Saya yang Berkurban Perasaan
Saya rasa, jawaban Bilal tentang berkurban dengan Ayam masih bisa diterima oleh akal. Setidaknya, ayam juga masih kerabat dekat dengan hewan ternak. Tapi, bagaimana kemudian jika Rasulullah saat ini masih hidup dan bertanya kepada saya atau teman-teman Gen Z?
“Engkau berkurban apa? tanya Rasulullah. Barangkali, dengan senyum yang getir saya akan menjawab, “Ya Rasulullah… Kami berkurban perasaan.” Seketika suasana bisa jadi hening, lalu terdengar gumaman tawa lembut dari para sahabat. Mungkin Rasulullah hanya akan menatap saya sambil menahan tawa.
Rasanya kami juga ingin mengadu kepada Rasulullah tentang sulitnya mencari pekerjaan saat ini, tentang banyaknya kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, tentang semua kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berdampak pada perjalanan spiritual untuk berkurban. Kami juga ingin menjadi seperti sahabat Abdurrahman bin ‘Auf. Sahabat muda Rasulullah yang kaya raya.
Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (halaman 163), dari riwayat Ma’mar dari Az-Zuhri, diceritakan bahwa Abdurrahman bin Auf pernah bersedekah setengah dari hartanya, yaitu 4.000 dinar. Tidak lama setelah itu, ia kembali bersedekah sebanyak 40.000 dinar, dan kemudian bersedekah lagi dengan jumlah yang sama. Jumlah ini sangat besar di zamannya, setara dengan sekitar Rp4,5 miliar.
Selain itu, Abdurrahman bin Auf juga menyumbangkan 500 ekor kuda untuk transportasi, serta 500 ekor unta untuk keperluan jihad di jalan Allah. Sebagian besar kekayaannya diperoleh dari hasil berdagang. Ia juga dikenal karena memerdekakan ribuan budak.
Ah, jangankan seperti Abdurrahman bin Auf yang punya kekayaan hampi 4,5 milyar. Sebagai Gen Z, punya uang buat beli thai tea di akhir bulan saja sudah sangat alhamdulillah. Ya Allah, berikanlah kami para Gen Z kekayaan yang halal dan melimpah agar kami dapat mengelola uang itu di jalan-Mu.
Bagaimana Aku Akan Takut akan Kemiskinan Sedang Aku Adalah Hamba dari yang Maha Kaya
Saya tahu, bahwa dunia adalah tempat yang tidak benar-benar ideal. Ada begitu banyak kejadian yang tidak terduga yang menyebabkan dunia berputar secara tidak ideal. Tentu, itu semua juga atas kehendak dan izin Allah.
Barangkali, boleh-boleh saja kita berpikir bahwa politik dan ekonomi mempengaruhi perjalanan spiritual kita. Boleh-boleh saja kita berpikir bahwa akibat kebijakan yang tidak merakyat juga berpengaruh terhadap bisa atau tidaknya kurban. Namun yang perlu kita perhatikan kembali adalah perjalanan spiritual adalah bentuk dari tuntunan Allah.
Ada suatu pepatah dalam bahasa arab, yang berbunyi:
كيف ا خاف من ا لفقر و انا عبد ا لغير
Kalimat tersebut memiliki arti “Bagaimana kita bisa takut miskin, sedangkan kita adalah hamba dari Yang Maha Kaya?”
Kalimat tersebut menggugah hati kita, mengingatkan bahwa ketakutan akan kekurangan adalah sesuatu yang manusiawi. Namun, tidak seharusnya membuat kita goyah dalam keyakinan. Allah yang Maha Kaya, Maha Pemberi Rezeki, dan Maha Mengetahui segala isi hati.
Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya terabaikan jika kita bersandar penuh kepada-Nya. Tahun ini, mungkin yang bisa kita kurbankan hanyalah perasaan. Tapi siapa tahu, Allah sedang menyiapkan rezeki kurban di tahun-tahun berikutnya.
Refleksi atas Ibadah Kurban
Allah menghendaki segala sesuatu yang berjalan di dunia atas izin-Nya. Barangkali, memang tahun ini Allah belum berkehendak untuk kita kurban. Namun, hal tersebut bukan jadi pembenaran bahwa selanjutnya kita tidak mengusahakan berkurban. Tidak apa-apa jika setiap tahun yang bisa kita jadikan kurban adalah perasaaan.
Belum bisa berkurban sapi atau kambing atau onta juga. Barangkali, Allah sedang memberi kita kesempatan untuk berusaha agar kelak Allah menitipkan sebagian rezeki untuk kita manfaatkan menjadi kurban.
Allah Maha Berkuasa. Tanpa ibadah kita, Allah tetap Maha Berkuasa. Ibadah kita tidak berpengaruh terhadap kekuasaan Allah. Maka, sudah menjadi keharusan untuk selalu memohon kepada Allah agar selalu berada di jalan-Nya.
Kita dapat beribadah adalah anugerah dan nikmat yang Allah berikan. Begitu pula berkurban, juga anugerah dan nikmat yang Allah berikan. Sebagai hamba, Allah adalah satu-satunya tempat kita untuk meminta dan memohon pertolongan.
Dan jika kita bertanya, “Mengapa belum mampu?” Maka, mungkin jawabannya adalah karena Allah sedang mendidik kita untuk bersungguh-sungguh. Karena Allah sedang menanamkan sabar dan keyakinan sebelum memberikan lebih. Karena Allah ingin kita siap. Bukan hanya secara materi, tetapi juga secara iman dan syukur.
Sebab yang paling penting dalam berkurban bukanlah jumlah atau besar kecilnya hewan, melainkan siapa yang menjadi tujuan dari kurban itu. Dan selama Allah adalah tujuan kita, tak ada doa dan usaha yang akan sia-sia. Wallahu a’lam bish shawab. []