• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Larangan Perempuan Bekerja, Alarm dari Ruang Sebelah

Di dunia modern kita telah menyaksikan hal yang utopis itu ternyata bisa menjadi kenyataan. Kapan? Yaitu ketika pandangan -pandangan yang bak mimpi itu diturunkan ke dalam kehidupan melalui kekuatan ideologi. Kita pun lalu menyaksikan seorang perempuan seperti Malala dan perempuan perempuan lain di negerinya yang diusir dari peradaban, dari ruang publik, atas nama (ideologi) Islamisme.

Lies Marcoes Natsir Lies Marcoes Natsir
09/12/2020
in Aktual, Rekomendasi
0
298
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Secara berkala, Rumah Kitab melakukan monitoring media dalam isu gender. Temanya bisa apa saja, tergantung isu yang muncul dalam ragam sosial media. Selain soal omong kotor dari seseorang yang dipuja kelompoknya sebagai keturunan Nabi, isu yang termonitor dalam bulan November tahun ini adalah soal larangan perempuan bekerja atau mencari nafkah.

Ungkapan- ungkapan itu muncul dalam ragam platform media sosial seperti twitter, instagram dan facebook. Jumlahnya tak banyak tapi selalu ada setiap harinya. Inti kampanyenya: perempuan tak wajib kerja baik karena mencari nafkah adalah kewajiban lelaki, atau karena di luar rumah iman perempuan gampang goyah, atau perempuan sendiri dianggap sebagai sumber fitnah bagi ruang publik.

Dalam sebuah twitter misalnya, seseorang yang mendakukan diri sebagai ustadz menulis “ Jika suami tak tangguh menafkahi jangan dibantu menutupi kewajibannya, kecuali sementara”. Seorang perempuan dengan nama singkatan AIAD menulis:” Prinsipku sebagai perempuan, bekerja cari uang itu untuk ibadah. Alokasikan dalam hati uang itu untuk orang tua, saudara, untuk sosial. Perihal nafkah, tetep minta suami”.

Masih dalam twitter, seorang lelaki bernama Ferry menulis “ Wanita itu, diam aja jadi fitnah apalagi gerak. Lebih baiknya wanita diam bukanlah perendahan tapi menunjukkan berharganya dia dan betapa ia bisa jadi rebutan yang bermakna fitnah. Itulah mengapa lelaki harus bekerja keras.”

Dalam Facebook, sebuah group Muslimah xxxx yang secara terbuka menyebut diri sebagai kelompok Salafi mengemukakan agrumen yang intinya menghukum sesama muslimah yang aktif di luar rumah. Mereka disebut sebagai perempuan yang membiarkan rumah tangganya menjadi “house of titanic”.

Baca Juga:

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

Awet Muda di Era Media Sosial: Perspektif dan Strategi Perempuan

Kartini di Era Internet, Habis Gelap, Terbitlah Algoritma

Tren Foto ala Studio Ghibli, dan Bagaimana Menghargai Profesi

Perannya di publik mereka nilai akan dengan sendirinya membuat rumah tangga terbengkalai dan berantakan meskipun tampak dari luar sangat indah dan mewah. Mereka menghukum perempuan serupa ini sebagai ibu yang gagal dalam mendidikkan anak-anak perempuan mereka menjadi calon ummun wa robbatul bait ( Ibu dan pengurus rumah tangga).

Dalam instagram dengan gambar-gambar lucu tapi tidak realistis terdapat sebuah diagram yang pusatnya gambar perempuan bertoga. Diseputar gambar itu terdapat ungkapan ”Perempuan boleh kok bekerja asal : mendapat izin wali, berpakaian sesuai syariat, aman dari fitnah, ditemani muhrim saat safar (bepergian).”

Dalam instagram lainnya terdapat diagram yang menggabarkan hal-hal yang membuat perempuan sebagai penangguk dosa: tabarruj (bersolek), tatapan mata, ikhtilat (bercampur dengan lelaki), jabat tangan, suara, aurat. Intinya instagram itu hendak menyatakan dari sudut pandang manapun, perempuan itu akan tetap jadi pendosa sepanjang mereka berada di ruang publik bahkan untuk bekerja sekalipun. Instagram itu kemudian ditutup dengan tawaran solusi:“ Ukhti kembalilah ke rumah!”. “Ukhti berusahalah sekuatnya untuk menghindari fitnah.”

Bagi umat Islam Indonesia, ungkapan yang mengajak perempuan tinggal di rumah dan tak perlu bekerja itu ungkapan yang aneh dan utopis. Anak bangsa di negeri ini yang mayoritas keluarga Muslim sebagian besar anak petani dari dari tradisi agraris dan perdagangan. Lelaki dan perempuan senantiasa ada dalam kedua dunia itu- dari hulu sampai hilir.

Di dunia itu perempuan bekerja baik untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun untuk mencari nafkah. Berkat pendidikan, ragam peluang bagi perempuan untuk bekerja pun terbuka luas. Mereka dapat mengerjakan apa saja yang lelaki kerjakan apalagi pekerjaan yang dianggap sebagai perpanjangan tugas mereka di rumah. Melampaui keterbatasan peran tradisionalnya, mereka bekerja dalam sektor apapun sesuai dengan pendidikan, peluang dan kepintarannya.

Tempat mereka bekerja pun tak lagi (hanya) di sawah ladang dan di pasar melainkan di sektor industri manufaktur, transportasi, profesi dan jasa serta pelayanan. Mereka bisa merantau nun jauh ke ujung bumi dengan mengandalkan tenaga, ketelatenan, keterampilan, keahlian, kecakapan, dan kepintarannya.

Seorang perempuan muda dari Makassar menjadi seorang ahli IT di pabrik mobil Marcedez di Aachen Jerman (itu anak teman saya Nina Basira). Perempuan- perempuan muda lainnya menjadi ahli biomedis di laboratorium bergengsi di Jepang dan Eropa. Masih banyak profesi lain yang mengandalkan kecerdasan mereka di dunia internasional yang dapat diduduki anak perempuan kita.

Pun termasuk yang mengandalkan tenaga dan welas asih kepada keluarga majikannya sebagai ART atau baby sitter atau perawat lansia. Saya kerap menyaksikan youtube mereka yang menyajikan gambaran pengalaman mereka sebagai ART atau perawat lansia di Hongkog, Taiwan, Jepang, Korea, Timur Tengah atau di negara tetangga Mayasia dan Singapura. Mereka fasih menggunakan bahasa lokal di tempat mereka bekerja dan diperlakukan sangat baik oleh keluarga majikannya.
Namun, ungkapan-ungkapan yang menolak atau meminta perempuan tinggal di rumah, dan sepenuhnya berharap kepada nafkah suami, bukanlah isapan jempol. Dan ketika membaca nama-nama yang mengunggahnya jelas sekali mereka bukankah manusia gua atau datang dari negara dengan tradisi yang membatasi secara sangat ketat peran perempuan di ruang publik seperti Saudi Arabia.

Nama- nama mereka sangat Indonesia seperti Euis, Dinar, Asep, Fery, Dedi, Santoso, atau paling jauh bernama Arab Indonesia Maryatun, Aminah, Habibah, Siti Rahmah, Laila, Ahmad, Somad, Mahmud, Ucup dan seterusnya. Itu artinya mereka niscaya datang dari keluaga yang ayah ibunya, atau ayahnya, atau ibunya bekerja untuk menyekolahkan mereka.

Secara logis kita patut menduga orang tua mereka tentu berharap agar anak perempuan yang mereka biayai pendidikannya itu akan mengamalkan ilmunya, dan secara otomatis mendapatkan pekerjaan serta mampu mandiri secara ekonomi. Jadi racun ajaran fundamentalis macam apa hingga mereka bisa kelenger seperti itu?

Tentu saja dengan mudah kita juga dapat mematahkan argumen mereka. Memangnya semua lelaki sanggup menjadi pencari nafkah? Atau memangnya semua perempuan berpasangan atau menikah seumur hidupnya sehingga bisa mengharap curahan nafkah dari suaminya? Bagaimana dengan perempuan lajang?

Tapi dalil bahwa ruang publik itu tidak aman bagi perempuan, sebetulnya tak salah-salah amat. Tempat di mana mereka bekerja rentan pelecehan verbal atau fisik, perempuan diupah lebih rendah, menjadi sasaran eksploitasi maksimal. Singkatnya secara umum perempuan masih mengalami dehumanisasi di ruang publik.

Masalahnya, alih-alih menuntut tempat kerja yang aman, nyaman dan ramah terhadap perempuan dengan dasar argumen bahwa bekerja adalah hak dan ftrah, mereka menuntut perempuan untuk menutup diri baik fisik atau simbolik untuk mengatasi kejahatan di runag publik. Sambil bergelayut (semata-mata) kepada teks, mereka bersikeras bahwa tempat perempuan adalah di rumah.

Dengan demikian secara ekspisit mereka mengakui, ruang publik sebagai sasana adu kejantanan bagi para pejantan. Artinya mereka membenarkan dan menganggap bahwa lelaki di ruang publik itu pada dasarnya kucing garong, apapun diembat tak terkecuali dengan mencuri pandang kepada tubuh perempuan. Sungguh kasihan suami, ayah dan anak lelaki mereka yang telah dididik dengan mengorbankan diri tidak bekerja demi mendidik anak.

Asumi paralelal dari anggapan ruang publik itu neraka, mereka menganggap rumah adalah surga. Seolah mereka tak pernah bertemu dengan perempuan korban kekerasan di dalam rumah, anak korban kebiadaban orang tua, atau ART korban kekerasan majikan. Betapapun tidak realistisnya ujaran-ujaran mereka tentang tak wajibnya perempuan bekerja, saya ingin bercermin kepada sejarah berbagai bangsa.

Di dunia modern kita telah menyaksikan hal yang utopis itu ternyata bisa menjadi kenyataan. Kapan? Yaitu ketika pandangan -pandangan yang bak mimpi itu diturunkan ke dalam kehidupan melalui kekuatan ideologi. Kita pun lalu menyaksikan seorang perempuan seperti Malala dan perempuan perempuan lain di negerinya yang diusir dari peradaban, dari ruang publik, atas nama (ideologi) Islamisme. Jadi pandangan mereka memang seperti utopia, namun berubah menjadi dering alarm yang terdengar sayup menuju nyaring dari ruang sebelah. []

Tags: islamismelies marcoesmedia sosialperempuan bekerjarumah kitab
Lies Marcoes Natsir

Lies Marcoes Natsir

Peneliti senior pada Kreasi Prasasti Perdamaian. Bisa dihubungi melalui [email protected]

Terkait Posts

Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

KUPI Gelar Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Seruan Bangkit dari Krisis Kemanusiaan

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kehamilan Tak Diinginkan

    Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version