Mubadalah.id – Kriminalisasi aktivis perempuan Laras Faizati Khairunnisa menggambarkan tren pembatasan kebebasan bersuara di Indonesia dengan sangat mencolok. Dittipidsiber Bareskrim Polri menetapkan Laras sebagai tersangka pada akhir Agustus 2025.
Menurut laporan Tempo.co, polisi menuduh Laras Faizati memprovokasi massa melalui media sosial agar membakar gedung Markas Besar Polri selama demonstrasi besar-besaran pada 25-31 Agustus 2025. Polisi juga mendakwa Laras menyebarkan dokumen elektronik tanpa hak. Sehingga mereka jerat Laras dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Polisi menahan Laras Faizati sejak 2 September 2025 di Rutan Bareskrim Polri, dan hal ini memicu gelombang kecaman dari masyarakat sipil. Koalisi organisasi hak asasi manusia dan kelompok masyarakat sipil menilai polisi melakukan teror terhadap demokrasi serta membungkam kebebasan berpendapat.
Kasus Laras Faizati menyatu dengan gelombang besar penangkapan dan kriminalisasi terhadap aktivis serta peserta demonstrasi di tahun 2025. Aparat mengamankan 3.195 demonstran, jadikan 55 individu sebagai tersangka, termasuk tujuh pengguna media sosial.
Aparat jadikan akun Instagram Laras Faizati sebagai barang bukti utama. Banyak pihak berpendapat bahwa tuduhan polisi terhadap Laras sangat lemah dan lebih menargetkan kriminalisasi kritik ketimbang fakta hukum solid. Aparat hukum sering gunakan pasal karet untuk membungkam suara kritis di ruang publik.
Perampasan Kebebasan Bersuara
Kriminalisasi seperti kasus Laras Faizati ini merusak fondasi utama demokrasi Indonesia. Aktivis menyuarakan aspirasi sosial dan politik melalui media sosial, tetapi mereka hadapi ancaman pidana serta kekerasan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat dalam laporannya bahwa aparat kepolisian lakukan 154 kasus kriminalisasi sejak 2019 hingga Mei 2025. Aparat jerat sekitar 1.097 orang sebagai korban, mayoritas saat unjuk rasa atau kritik online.
Tren ini ciptakan rasa takut di masyarakat dan turunkan indeks demokrasi Indonesia karena ruang kebebasan bersuara menyempit.
Stop Pembungkaman Suara Perempuan
Perempuan seperti Laras Faizati hadapi beban jauh lebih besar dalam perjuangan mereka. Tekanan sebagai aktivis, paksa mereka menghadapi risiko kriminalisasi secara langsung. Sekaligus diskriminasi gender yang membatasi partisipasi mereka di ranah publik.
Pengkategorian Laras Faizati sebagai tahanan politik perempuan, dan istilah ini soroti bagaimana kriminalisasi perburuk ketidakadilan gender. Pola ini pengaruhi bukan hanya Laras, tapi juga aktivis perempuan lain di Indonesia, yang aparat anggap suara kritis mereka provokatif serta jadikan alasan pembungkaman.
Beban ganda ini menghambat kemajuan kesetaraan gender karena perempuan berjuang dua kali lipat melawan represi negara dan norma patriarkal masyarakat. Hentikan pembungkaman suara perempuan seperti Laras Faizati dengan segera.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tolak eksepsi dalam sidang perdana Laras Faizati pada November 2025, tambah beban penderitaannya dalam proses hukum.
Berlandaskan pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), tegaskan bahwa perempuan berhak sampaikan pendapat tanpa diskriminasi dan perlakuan tidak adil. Sehingga negara wajib lindungi hak tersebut demi wujudkan demokrasi inklusif dan adil.
Koalisi HAM desak Presiden, DPR, dan Kapolri hentikan penahanan, rombak sistem kepolisian, serta bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan demonstrasi. Tanpa langkah konkret itu, suara perempuan terus terpinggirkan di ruang politik dan sosial.
Kebebasan Bersuara Dijamin Konstitusi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kebebasan bersuara sebagai hak fundamental, khususnya Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kriminalisasi terhadap Laras Faizati langgar jaminan konstitusional ini serta lemahkan pengawasan publik terhadap kekuasaan. Konstitusi lindungi setiap warga negara, termasuk perempuan dan aktivis, agar kekuasaan tidak salahgunakan hak mereka.
Pemerintah seharusnya menguatkan regulasi dan perlindungan hukum terhadap aktivis untuk pulihkan nilai demokrasi Indonesia. Selain itu untuk mencegah kriminalisasi jadi alat pembungkaman terhadap suara rakyat yang kritis.
Tanpa upaya itu, demokrasi terus terkikis akibat pembungkaman suara perempuan dan aktivis. Laras Faizati simbolkan perlawanan terhadap pembungkaman serta ingatkan kita terhadap kebebasan bersuara demi masa depan Indonesia yang demokratis dan adil bagi semua. []











































