“Jika bukan karena tantangan
Engkau tidak akan pernah tahu apa itu artinya perjuangan”_Shella Carissa_
Mubadalah.id – Kisah pada rentang tahun 2017-2018.
Di mana ada Alwan dan Zaala, disanalah pertengkaran. Serupa alif lam dan tanwin, mustahil mereka satu pandangan, satu tujuan, satu suara, dan satu hati. Eh. Di sinlah kisah santri mereka bermula.
Di kelas, teman-teman banyak yang merasa risih. Ada juga yang menjadikan ini sebagai hiburan, sebagian ikut pusing, sebagian tak peduli.
“Emangnya ada cowok yang becus ngurusin pekerjaan rumah mulai dari nyapu sampe ngepel, cuci baju, ngejemur, nyetrika, pokoknya semua pekerjaan perempuan. Emang ada? selesai selama setengah hari? Ada gak? Gak bakal ada! Kamu ajah piket kelas gak becus gini!”
Seperti pagi itu, tentang keunggulan peran masing-masing.
“Jangan sok tahu. Semua laki-laki pasti ada yang bisa, kok. Dunia ini kan manusianya banyak. Gak mungkin gak ada!” Alwan tak mau kalah. Seperti biasa, menanggapi sekenanya.
“Ya, ada. Tapi yang jelas bukan kamu!” Zaala apalagi. Semakin sinis.
Mula dari semua kisah santri mereka sederhana, Alwan yang jarang piket dan Zaala yang emosian menegur Alwaan sambil misuh-misuh. Namun Alwaan bukannya malah piket justru semakin sengaja mogok piket.
“Udahlah, itu, kan tugas perempuan,” kilahnya.
“Iya! Memang! Itulah kenapa para pria gak becus ngurus rumah tangga! Bisanya Cuma bercocok tanam saja!” balas Zaala sengit.
“Hei. Kamu kalau ngomong!” Alwaan pura-pura syok. Padahal mungkin dalam hatinya tertawa.
Diskusi tentang KUPI
Pada satu kesempatan, para murid diberi tugas untuk berdiskusi tentang acara KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) yang sukses terlaksana dua minggu yang lalu di Pondok mereka.
Saat itu, dengan sengaja Alwaan menunjuk Zaala untuk menjawab dan bertanya tentang peran beberapa orang perempuan yang ikut acara KUPI. Namun, bisa dibilang, cara berpakaiannya kurang seronok. Apakah tidak apa-apa? Sementara dari judulnya saja jelas, Kongres Ulama. Ulama. “Apakah tidak papa?” tekan Alwaan.
Saat itu Zaala bungkam. Kikuk melihat seisi kelas yang menatapnya dan menunggu apa jawabannya. Jebakan, pikirnya. Semua orang tahu bahwa selama hampir satu tahun sekelas dengannya, dia adalah tipe orang yang tak pernah bertanya atau menjawab atau menanggapi saat diskusi berlangsung.
Dan selama 4 tahun karirnya menjalani kisah santri, dia terlihat sebagai orang yang tidak pernah berminat dalam ilmu pengetahuan. Namun, Zaala langsung pura-pura tegap sok serius. Berdehem dan menjawab.
“Karena zaman telah merdeka, bukan zaman perbudakan dan peperangan, perempuan bisa memakai pakaian apa pun yang dia inginkan! Entah itu jilbab, rok mini, you can see atau not full body sekalipun!”
Seisi kelas terdiam. Menunggu kelanjutannya. Sekaligus menahan napas sebab jawabannya cukup vulgar bagi mereka yang masih Aliyah. Tidak pernah menyangka, Zaala yang di Pondoknya diam bisa berkata terang-terangan begitu.
“Kalau dia tidak malu!” lanjutnya.
Sekejap saja, kelas dibuat gegap gempita oleh tanggapannya itu. Terlihat menakjubkan menyaksikan seorang Zaala, yang selama 4 tahun sepak terjangnya sebagai santri, baru kali ini dia berpendapat, terlebih kalimatnya yang heroik: bukan zaman perbudakan dan peperangan. Kelas seolah dibuat takjub akan ucapannya, ekspresi mereka terlihat seperti seorang dungu yang mendapat pencerahan dari seorang cerdik cendekia. Terpana.
Hanya seketika itu. Dan setelahnya, seperti biasa, mereka sering cekcok kembali, terlebih Zaala semakin muntab melihat tingkah Alwaan yang jarang piket kelas, tapi sering dibanggakan guru dan para senior.
“Yeee, orang pengasuh kita juga perempuan, kok. Tuh, bukti nyata kalau perempuan juga bisa jadi pemimpin. Sekelas Nyai, bahkan! Lihat sendiri, kan? Pondok kita makmur, sejahtera, aman dan gembira!” Zaala tersenyum puas. Menanggapi Alwaan yang bertanya kenapa ketua Osis dari tahun ke tahun selalu dijabat oleh laki-laki.
Perempuan Ibu Peradaban
Lain waktu, Zaala memancing dengan, bahwa perempuan lebih kuat karena sebagai ibu peradaban yang melahirkan kaum laki-laki dan perempuan, bahwa jiwa perempuan lebih rahman dan rahim, dan bahwa perempuan, jika mereka tidak ada, maka keberlangsungan kehidupan akan berhenti.
“Gimana cowok mau ngelahirin, orang Allah nakdirinnya cowok gak punya rahim. Coba cowok punya dan cewek gak punya, pasti cowok yang wahnan ala wahnin!” jawab Alwaan.
“Ngawur!”
Dan seterusnya selalu perang. Padahal di usia sepuber itu mereka masih belum memahami betul apa itu peran-peran antara laki-laki dan perempuan, pengkotak-kotakkannya, pembagiannya, ketimpangan dan kesetaraan di dalamnya, namun seakan-akan mereka sudah paham tentang isu gender yang kebetulan, saat itu tengah marak lantaran KUPI 1 yang dilaksanakan di Pondok mereka.
Hingga suatu hari, keributan mereka semakin seru dan menantang. Alwaanlah yang memulai.
“Berani ikut Musabaqoh[1] Alfiyah dan menang???!!!”
***
“Bisa, kok, Zaal, 1 bulan dapet 125 nadzhom. I hari 5 nadzhom, 5 hari sisanya buat nikror. Berarti dari sekarang sampai 8 bulan mendatang, pas Musabaqoh kamu dapet 1005 nadzhom!!!”
Ketiga sahabat udik itu tertawa, sebab Lubna berkelakar sampai melewati jumlah nadzhom Alfiyah yang sebenarnya ada 1002. Lebih 3 Nadzhom. Seakan-akan itu adalah hal yang fantastis.
“Mana bisa. Waktu Zaala itu padet buat ngabdi. Pagi nyuci beras, pulang sekolah jaga koperasi, abis ngaji ashar masak lauhan, abis ngaji isya nyuci baju Ibu Nyai, ngaji juga nyolong waktu. Alangkah sibuknya, kau, Nak,” ucap Ashfara menatapnya prihatin. Namun Zaala malah terkekeh mendengar Ashfara sampai hafal kegiatannya.
Setelah sebelumnya bilang tentang tantangan itu kepada kedua sahabatnya yang beda kelas, keduanya terbelalak. Alwaan sampai sebegitunya!
“Belagu sekali!” nyinyir Lubna.
“Kamu juga! Kenapa terima tantangan itu? Apa selama ini kamu tidak pernah sadar bahwa antara fiil dan fail juga kamu itu sering tertukar!?” ujar Ashfara sambil melotot kepada Zaala.
Menerima Tantangan
Namun semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur dan Zaala menerima tantangan kisah santri itu dengan tangan lebar terjulur.
“Alwaan memang sombong. Mentang-mentang sudah khatam,” Qais berkomentar. Pasalnya, Qais sinis begitu karena ia baru hafal 643 nadzham.
Meski saat tantangan itu ia terima dengan rasa percaya diri yang tinggi dan gensi yang memuncak, semakin hari ia malah semakin merasa tidak yakin. Mengingat rutinitas hariannya yang seabrek. Zaala kewalahan sendiri membagi waktunya antara mengabdi dan menghafal.
Jangankan Alfiyah, Imrithy saja dia keblinger. Telinganya sudah tidak asing mendengar sulitnya menghafal Alfiyah dengan kalimat-kalimat yang njelimet, apalagi di Pondok Putri yang tidak ada program yang mewajibkan menghafal Alfiyah.
“Kalo Zaala menang, jaminan kamu apa, Wan?” tanya Rohim suatu pagi saat di kelas.
“Aku bakal ngerjain semua tugas sekolah Zaala plus kasih dia sarapan bubur kacang ijonya Mang Kasep selama sebulan!” jawab Alwaan mantap.
“Kalo kamu yang menang?”
“Zaala harus nyuci baju aku selama sebulan juga!”
Zaala melongo. Alfiyah di tangannya sampai ia abaikan. Ingin berteriak protes bahwa hal itu tidak adil dan sangat-sangat tidak adil. Apa-apaan???!!!
Sabar, sabar. Ucapnya dalam hati. Jangan terpancing. Sabar, sabar…
Yang ia cemaskan dalam tantangan itu bukan soal ikut lombanya. Sebab semua juga bisa. Tinggal daftar ke pendidikan. Beres.
“”Enak aja. Pendidikannya juga milih, lah, Zaal. Ada beberapa orang yang lebih layak dan meyakinkan buat diikutkan lomba.”
Benar kata Ashfara. Tapi itu urusan nomor dua. Karena kalau ia sudah hafal 500 nadzhom juga pendidikan pasti meloloskannya mendaftar. Sebab sekarang yang paling lebih dicemaskan adalah kata ‘menangnya’.
“Alwaan itu sebenarnya orang baik dan cerdas. Tantangan ini mungkin dari perdebatan kalian yang diseriuskan. Bisa saja dia ingin menghentikan keributan kalian dengan pembuktian seperti ini. Alwaan bisa saja jadi pemenang sebab di tingkatannya dia memang Pangeran Alfiyah.”
Kata Kang Habib. Kelak Kang Habib yang merupakan kakak Lubna ini yang akan membantu Zaala memahami Alfiyah. Belajar di sela-sela waktu istirahat mereka di perpustakaan dengan ditemani Lubna dan Ashfara.
Zaala tercenung. Jika ia lihat-lihat Alwaan itu memang orangnya baik dan terkesan dewasa. Mungkin dia terpancing meladeni Zaala karena Zaala terlalu menyebalkan saat menyuruhnya piket atau menaikkan bangku ke atas meja, serta kesinisan Zaala yang sering meledeknya anak emas para guru.
Bahwa Alwaan juga sebenarnya setuju-setuju saja dengan pandangan Zaala tentang keunggulan perempuan dalam satu sisi. Namun juga di sisi yang lain merasa muak dengan mulut besar Zaala. Hanya saja dia juga tidak bisa serta merta mundur.
Seketika bayangan Alwaan yang meledeknya ketika ia kalah nanti berkelebat dalam benaknya. Si Alwaan tengil itu pasti akan semakin menggulung harga dirinya, selaku santri putri, yang memang dalam mengaji masih kurang konsisten dengan santri putra. Dan dia juga pasti akan menyerukan bahwa santri putra selalu lebih unggul dari santri putri.
Lemas Zaala membayangkannya.
Mengejar Hafalan
“Awas, lho, Zaal, harus ada penjelasannya,” ledek Alwaan saat lewat di depan Zaala yang tengah menghafal.
Zaala tak berkutik. Meladeni Alwaan hanya akan menambah sakit jiwanya saja.
Rupanya seminggu setelah tantangan itu, malamnya Zaala jarang tidur. Setiap pagi di sekolah, matanya macam mata panda yang kena tinju kaki gajah. Bengkak berlapis-lapis. Mau meledak kepalanya menampung 80 bait-bait asing dan nyerimped itu. Selama 4 tahun mondok, ini pertama kalinya dia menghafal. Nyai menyuruhnya menjadi khadam sejak kelas 3 tsanawiyah semester 2.
Sejujurnya Zaala dan Alwaan adalah satu tingkatan. Zaala tahu Alwaan karena dia sejak tingkat satu atau saat anak baru sudah menyabet juara tashrifan. Saat tingkat dua Jurmiyah dan saat tingkat 3 Imrithy. Yang dia dengar dari kawan-kawannya juga bahwa Alwaan itu sebenarnya memang baik.
Sebab bapaknya adalah seorang Kiai kampung dan Ibunya pemimpin jamiyahan kaum Ibu-ibu. Hanya saja, entah mengapa Zaala menangkap sikap belagu dan arogan dalam diri Alwaan saat pria itu tak mau piket, kadang bolos di pelajaran kedua, suka tidak mengerjakan PR, tidur di kelas, telat ke sekolah, namun suka cari muka di depan guru. Dan menyebalkannya para guru itu tidak tahu sama sekali sikap bobroknya. Tahu yang baik-baik saja, salah satunya, kecerdasannya itu.
Kata teman-teman juga, Alwaan wajar saja telat sebab di pondoknya kadang suka ditunjuk membantu mengajar atau ngurusin anak kamarnya. Halah! Dia saja yang 24 jam full time mengabdi masih sempat sekolah dan full time juga ikut belajar di sekolah. Sibuk!
Anak Emas Guru
Pernah ia dengar bahwa Alwaan hanya memancing Zaala agar Zaala tidak terus-terusan meledek Alwaan anak emas, melainkan agar Zaala juga bisa menikmati proses belajar, tidak lantas meninggalkan mengaji dengan dalih mengabdi, meski mengabdi juga baik.
Bahkan sangat baik. Agar Zaala juga bisa merasakan angele ngaji, sehingga ketika dia bisa mencicip lezatnya ilmu, dia juga akan mencicip perasaan senang ketika dibutuhkan dalam pendidikan santri, atau perasaan bersyukur saat disanjung guru, terlebih perasaan haru saat bisa membagi ilmu yang diketahuinya kepada adik kelasnya.
Namun Zaala menepis itu semua. Baginya Alwaan adalah Alwaan, teman sekelasnya yang jarang piket dan anak emas para guru!
Hal yang paling menyebalkan dari tantangan itu juga, banyak temannya yang mengucilkan Zaala sebab menganggap Zaala cari sensasi saja.
“Cari muka saja dia!”
“Sok sekali!”
“Jangan-jangan Zaala itu suka sama Alwaan.”
Tapi Zaala berusaha menutup telinga rapat-rapat. Meski kadang ingin menyerah dan menyiapkan diri mencuci baju Alwaan selama sebulan. Kadang terlintas di pikirannya, sebagaimana dikatakan orang-orang, bahwa Alwaan hanya ingin menghentikan perseteruan mereka dengan menjadikan Musabaqoh Alfiyah sebagai penentu. Sehingga dapat terlihat antara laki-laki dan perempuan di pondok mereka, sejauh ini siapa yang unggul.
Kesetaraan Gender
Seketika dia merasa naif. Seakan-akan begitu aktif membicarakan kesetaraan gender. Padahal pada kenyataannya jelas, kisah santri putri di pondoknya masih kalah jauh dengan santri putra. Sekonyong-konyong Zaala merasa rapuh dan tertohok akan semuanya.
Namun pencerahan yang mengobarkan kembali semangatnya datang sebulan kemudian.
Saat itu Ustadz Mahmud absen mengajar, jadilah ngaji angkatan Zaala gabung dengan tingkatan yang diajar Kiai Mulhim, mengaji Imrithy.
“Walwaawu Fii Kamuslimiyya Udhmirot Wannuunu Fii Latublawunna Quddirot. Jika kalian jeli, bait ini adalah sepenggal peringatan untuk kita semua. Di sana ada contoh Muslimiyya dan Latublawunna yang artinya, ‘sungguh kalian akan diuji.’ Maknanya dapat kita luaskan menjadi, ‘Sungguh kalian orang-orang muslim akan diuji.’”
Ucapan Kiai Mulhim, Sang Dewan Pengasuh, Ahlunnahwi wa Shorfiy itu, seketika menggertaknya. Sederhana dan terkesan sepele, namun kata-kata sederhana bagi jiwa yang merana adalah mutiara.
Serta merta dia meyakini ucapan tersebut. Sebagaimana yang juga pernah ia baca dari salah satu ayat Al-Qur’an bahwa semua manusia akan diuji. Termasuk dia. Dan yang lebih ia ingat adalah bahwa Tuhan tidak akan menguji manusia melebihi kemampuannya. Akankah itu berarti, bahwa Tuhan mengujinya karena sebenarnya ia mampu? Maka, berilah kemampuan, Tuhan, bisiknya.
Dalam hal itu pula, Zaala seakan meyakini bahwa dia juga diuji begini untuk menyadarkan Alwaan agar… apa? Ah, bukankah dia yang menyebalkan. Tapi, tetap saja, dia ingin mmebungkam mulut Alwaan dan menyadarkannya agar mau piket juga tidak seenaknya mengandalkan perempuan untuk masalah nyapu dan beres-beers kelas, sementara dia senang-senang saja dengan jabatan di Pondoknya dan terlena dalam pujian guru-guru yang menyanjungnya. Bukankah seharusnya, mereka, laki-laki dan perempuan, bekerjasama?
Kiai Mulhim kembali melanjutkan memaknai jawanya, pada hal ini, tiba-tiba Zaala jadi teringat juga ucapan Nyainya saat kumpulan para abdi dalem.
“Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini ketika kita meyakini hidup ini dengan iman, bukan akal.”
Benar. Secara akal logika Alwaan mungkin dapat unggul dalam segala hal, amun jika Zaala mengandalkan keyakinan dan imannya bahwa Tuhan juga akan meliriknya sebab ia telah bersusah payah dan tertekan atas semuanya, peluangnya untuk menang bisa diperhitungkan.
Terus bekerja sambil berdoa, sebab begitulah kata Nyainya. Yang kata-katanya satupun tak ada melesetnya dan sangat sesuai realita.
Pernyataan-pernyataan yang mungkin terdengar biasa saja bagi orang lain, tapi baginya itu adalah sebuah mantra dan membuatnya ingin menangis.
Menjalani Proses
Sepertinya kala itu Alwaan lupa bahwa KUPI sudah digelar di Pondok mereka sebagai tuan rumahnya. Sepertinya ini adalah tugas Zaala untuk kembali menyadarkan Alwaan agar mau bersama-sama menjalankan tugas dan kewajiban meskipun terkesan lebih dominan sebagai pekerjaan perempuan.
Ini Latublawunnanya membangunkan Alwaan agar nanti-nanti jika akan ada perdebatan semacam itu lagi, sebaiknya dia diam, karena meski perempuan masih lemah dan tak berdaya, setidaknya mereka tengah menjalani proses untuk digdaya, terutama menyadarkan Alwaan agar jangan lagi-lagi sok membantu perempuan sepertinya. Sok-sokan menantang lomba Alfiyah segala!
Dan meskipun Alwaan tidak serta merta mengucapkannya secara gambang atas semua cekcok yang mereka alami sejauh ini, tapi dari kata-katanya itu dia terkesan pamer, membangga-banggakan dan sangat menyebalkan.
Sebagaimana dia juga ingat bahwa di Al-Qur’an sangat jelas ada ayat tentang kesetaraan. Pada hakikatnya semua manusia itu sama, terkecuali mereka yang bertakwa. Nabi pun tercipta untuk tugas kemanusiaan, menghapus perbudakan dan menghormati perempuan.
Begitupun sosok yang sangat dekat sekali dengannya selama ini, yang terus memahamkan dirinya tentang peran-peran laki-laki dan perempuan bahwa semuanya itu sama. Memiliki hak yang sama. Tak ada perbedaan. Begitulah hal-hal yang Zaala pikirkan. Seolah-olah dia adalah tokoh pejuang kesetaraan di usianya yang masih begitu labil.
Maka, saat riuh rendah tepuk tangan membahana menyambutnya naik ke panggung utama untuk menerima piala juara satu, ia bangga tak terkira. Lebih merasa tak percaya kepada dir sendiri yang amat bodoh tetapi bisa memenangkan musabaqoh Alfiyah ini.
Menjadi Pemenang
Riang namun elegan dan berwibawa, serta perasaan haru yang sebisa mungkin ia kendalikan. Dia menyambut pemberian piala dan piagam penghargaan atas kemenangannya dari Kiai Mulhim, selaku Dewan Pengasuh yang naik ke panggung untuk memberikan hadiah.
“Sulit kupercaya,” bisik para penonton. Terutama rekan, kawan dan teman-teman Zaala dengan tatapan kagum mereka dan ketakpercayaan atas menangnya seorang yang sama sekali tak berminat mempelajari nahwu.
“Santri putri idaman,” puji penonton dari santri putra.
Dari atas panggung tempatnya berdiri, dia mencari-cari Alwaan. Berniat menyombongkan diri pada pria tengil itu. Begitu dapat melihat Alwaan berdiri tegak di antara para penonton putra, yang ia tangkap justru Alwaan menatapnya bangga dan tulus. Tangannya bertepuk tangan dengan semangat sekali. Tersenyum amat lebar kepada Zaala. Tidak ada ekspresi nanar atau perasaan kalah.
Zaala menyangkal dalam hati. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat pada ekspresi Alwaan. Berusaha mencari kejanggalan, semisal, Alwaan sengaja mengalahkan diri agar Zaala menang. Atau Alwaan bertepuk tangan dan tersenyum lebar begitu hanya untuk meledek Zaala. Namun sayangnya dia tidak berhasil menerjemahkan hal yang ia pikirkan itu. Alwaan malah terlihat begitu bersungguh-sungguh, seolah mengatakan, “Bravo!”
Seakan-akan benar yang orang katakan, bahwa Alwaan sengaja menantang Zaala agar terbakar semangatnya untuk memahami Afiyah. Seolah Alwaan benar-benar kalah, dan tidak akan mau semudah itu Zaala kalahkan. Di mana ia sangat amatir dalam ilmu nahwu.
Seakan-akan Alwaan adalah penolong Zaala dari belenggu buta ilmu terkhusus ilmu nahwu. Yang terpenting, seakan-akan Alwaanlah yang mendorong Zaala agar menjadi bukti itu sendiri. Bahwa santri perempuan juga bisa menghafal alfiyah seperti santri laki-laki.
Lalu akal perempuan dan semangatnya dalam menuntut ilmu setara dengan laki-laki bahkan bisa mengalahkan laki-laki. Perempuan seperti Zaala merupakan perempuan yang kuat sebab mampu menyeimbangkan kesibukan ruang domestiknya dengan kegigihannya dalam menghafal serta mencari ilmu. Bahwa sebenarnya semua perempuan itu mampu melakukan segala hal.
Dari semuanya entah mana yang benar, yang jelas semuanya berhasil membuat Zaala membeku. Zaala merasa dia tersedot ke dalam lorong senyap pemikirannya. Sementara tubuhnya berdiri bak patung pualam dalam keramaian pengunjung pameran. Ia melihat Alwaan semakin tersenyum lebar. Namun Zaala tak tersenyum sedikitpun sampai sesi pengambilan foto berlangsung. Zaala tertegun. []
[1] Perlombaan setahun sekali yang dilakukan setiap akhir tahun menurut perhitungan harlah Pondok, di mana pesertanya adalah dari delegasi Pondok Putra dan Putri yang digabung dalam ajang bergengsi tersebut