Mubadalah.id – Dalam satu dekade terakhir, wacana domestikasi perempuan atau memaksa perempuan untuk mengurus rumah tangga saja tanpa mendengarkan aspirasi dan keinginan pribadinya, kian menguat dengan dalih bahwa rumah adalah tempat terbaik bagi kaum hawa. Sehingga harus ada upaya untuk melawan domestikasi perempuan ini, melalui narasi cerita baik perjuangan perempuan di pasar terapung Banjarmasin.
Karena di masa Nabi Muhammad Saw. bukan hal aneh bagi perempuan untuk bekerja di ruang publik. Bahkan Rasul di masa itu tidak pernah melarang perempuan bekerja di luar rumah selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Salah satu hadist yang menguatkan pernyataan ini, yaitu:
غزوتُ مع رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ سبعَ غزواتٍ، أُخلِّفُهم في رِحالِهم، فأصنع لهم الطعامَ، وأُداوي الجَرحى، وأقوم على المَرضى
“Aku ikut peperangan bersama Nabi Saw. tujuh kali. Aku berada di belakang rombongan pasukan ini. (Tugas)ku membuatkan mereka makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit” (HR. Muslim)
Sumber kisah tadi berasal dari hadis riwayat Shahih Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha. Disebabkan di masa itu terjadi sejumlah peperangan, termasuk konflik antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, kaum hawa di sana tidak hanya tinggal diam. Tugas perempuan pada masa itu adalah mengobati orang-orang yang terluka, menyediakan air dan makanan, dan bahkan turut membantu mengelabuhi musuh.
Pedagang Perempuan di Pasar Terapung di Banjarmasin: Tak ada Domestikasi Perempuan
Di Indonesia, catatan kiprah perempuan bekerja juga tak kalah beragam, salah satunya di daerah Banjarmasin yang terkenal akan potret tangguh kelompok perempuan pedagang di kawasan pasar terapung. Gambaran perjuangan mereka memenuhi kebutuhan keluarga di tengah arus sungai, dilandasi oleh aspek geografis Banjarmasin yang dikenal dengan kota seribu sungainya. Kondisi ini menjadi potret untuk melawan domestikasi perempuan.
Pada masa lampau, sungai merupakan prasarana transportasi yang paling efektif karena Banjarmasin merupakan daerah rawa maka perahu adalah alat transportasi yang paling mudah untuk mengangkut barang dagangan.
Sungai juga menjadi tempat aktivitas utama dari dulu hingga sekarang, terutama dalam aktivitas perdagangan dan transportasi. Karena keadaan wilayahnya yang dikelilingi oleh sungai besar dan sungai kecil, tak heran kondisi ini mempengaruhi corak kebudayaan masyarakat di sana.
Masyarakat terbiasa melakukan seluruh aktivitasnya melalui sungai misalnya saja mandi, mencuci, dan berdagang pun juga di sungai. Di Kalimantan Selatan pada umumnya, berdagang merupakan pekerjaan mencari nafkah yang tidak hanya dilakoni oleh laki-laki, namun juga menjadi lapangan kerja bagi para perempuan.
Perempuan Banjar banyak terlibat dalam menopang ekonomi keluarga dengan cara berdagang. Hal ini dapat kita saksikan banyaknya para perempuan yang bekerja sebagai pedagang baik di pasar yang berlokasi di daratan maupun di sungai. Berpartisipasi dalam dunia perdagangan merupakan posisi yang terhormat dalam tradisi Banjar. Sehingga melakukan domestikasi perempuan bukanlah langkah tepat.
Aktivitas perdagangan yang dilakoni perempuan sangat jelas terlihat pada bagaimana komposisi penjual di pasar terapung, di mana mayoritas para pedagangnya adalah perempuan.
Layaknya aktivitas pasar lain di Indonesia, pasar terapung merupakan pasar yang menjual barang-barang dagangan seperti barang kebutuhan sehari-hari, baik berupa bahan-bahan makanan pokok, barang yang menjadi keperluan sehari-hari (pancarekenan), ikan, buah-buahan, sayur-sayuran, menjual makanan tradisional (kue-kue dan nasi) atau disebut kuliner atau rombong.
Bahkan ada yang berjualan bahan-bahan sekunder seperti pakaian dan lain-lain yang dapat dijual oleh masyarakat Banjar dan sekitarnya. Kebutuhan dipenuhi dengan adanya pedagang berperahu yang menjajakan kebutuhan sehari-hari di sungai (Sakdiah, 2016).
Jika ada yang sempat berkunjung ke pasar terapung di Banjarmasin, akan terlihat sekali potret-potret perempuan tangguh di atas jukung Pasar Terapung. Mereka semua amat layak disebut sebagai pejuang. Mereka betul-betul berjuang sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ketika perahu konsumen mendekat, mereka dengan sigap merapat dan menawarkan barang yang mereka jajakan. Meski terdapat banyak pedagang di kawasan tersebut, keyakinan mereka sangat kuat: “rezeki sudah diatur oleh Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia hanya perlu berusaha,” begitu kira-kira ucapan optimis dari pedagang di atas jukung/perahu.
Keyakinan akan rezeki bukan satu-satunya pelajaran positif yang bisa kita ambil dari mereka. Alam dan waktu sudah mengajarkan mereka bahwa bagaimana metode terbaik untuk menarik perhatian konsumen. Meski lewat sampan, mereka selalu membuat konsumen merasa dihargai.
Terkadang sebelum berjualan, mereka mengajak kita berbalas pantun dan kata-kata bijak. Tak lupa, mereka juga beberapa kali menyampaikan kelebihan produk dan jika perlu menjelaskan asal-muasal produk dengan bahasa sederhana, meski hanya dengan waktu yang singkat.
Oh ya, mereka selalu berjualan dengan gembira, serta terus memberikan senyuman terbaik. Dari cara mereka berdagang, saya belajar banyak bahwa mereka adalah potret nyata jihad perempuan dalam Islam. Bagaimana tidak, mereka terbiasa bangun dini hari, kemudian menyiapkan diri untuk berjualan dengan mengayuh jukung.
Sepulangnya dari pasar terapung, mereka lalu membantu suami di kebun, sawah atau jualan di rumah, sampai sore. Malam harinya, mereka menemani anak belajar dan menemani suami. Jadi waktu istirahat mereka amatlah terbatas, namun dari mereka, saya melihat bukti nyata kepahlawanan lokal sesungguhnya. Tidak ada domestikasi perempuan di sana []