Mubadalah.id – Ramadan 1433 Hijriyah, saya diberi kesempatan yang sangat luar biasa untuk dapat berjumpa langsung dengan Nyai Hj. Marsiyah Amva di Pondok Pesantren Pondok Jambu Al-Islami Babakan Ciwaringin Cirebon. Saat itu, saya mendapat amanat dari Rektor IAIN Ponorogo Nyai Dr. Evi Muafiah M.Ag untuk melakukan wawancara terkait dengan kepemimpinan perempuan di pesantren. Tentang bagaimana kiprah perempuan, perjuangan, tantangan, peluang, melawan insecure dengan self love, dan juga pengalaman Nyai Masriyah Amva sepanjang memimpin pesantren.
Namun, artikel ini tidak akan membahas tentang hal di atas. Hasil dari wawancara dengan Nyai Masriyah Amva akan dilaporkan dalam catatan yang lain. Dalam kesempatan ini, saya akan mencatat pengalaman pribadi dan kekaguman saya saat berinteraksi dengan Nyai Masriyah Amva sepanjang wawancara. Tentang bagaimana beliau saat berada dalam titik terendah hidupnya, bagaimana beliau bangkit melawan insecure dengan self love , dan bagaimana proses yang beliau jalani hingga sampai pada posisi saat ini.
Saya nyaris tidak percaya atau mungkin tidak membayangkan, bahwa ternyata Nyai Masriyah Amva pernah berperang melawan rasa insecure dengan self love untuk waktu yang tidak sebentar. Namun beliau bisa melawan perasaan tersebut dengan cara yang sangat unik dan layak untuk diduplikasi oleh seluruh perempuan. Lantas seperti apa cara Nyai Masriyah Amva melawan rasa insecure nya? Dan bagaimana beliau bisa bangkit dari rasa ketidakpercayaan dirinya?
Perempuan, Inferioritas, dan Insecure
Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah menyatakan bahwa pengalaman perempuan baik secara biologis maupun sosial kerap diabaikan. Dalam keadaan normal, pengabaian terhadap pengalaman perempuan menyebabkan adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Menyusul kemudian stigmatisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda yang lahir dari sistem patriarki akut.
Pun memahami dan bahkan menyadari bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama makhluk Allah, namun perempuan dan rasa inferioritas seolah berjalan beriringan. Hal ini pula yang pernah dirasakan oleh Nyai Masriyah Amva ketika melawan insecure dengan self love.
Saat suami beliau K.H. Muhammad (Alm) menjadi pimpinan pesantren, Nyai Masriyah Amva selalu berada disisi K.H. Muhammad. Membantu membesarkan pesantren mendukung perjuangan sang suami dalam segala bidang. Beberapa kali juga, beliau mengikuti kajian tentang perempuan dan Al-Quran yang diadakan oleh KH. Husein Muhammad.
Namun saat itu, beliau mengakui bahwa beliau belum bisa merasakan manfaat dari kajian tersebut. Materi tentang kemandirian perempuan, kesetaraan, keberpihakan Islam terhadap perempuan beliau resapi sembari terus bertanya, “memang penting ya?”. Karena selama ini K.H. Muhammad memberlakukan Nyai Masriyah Amva dengan sangat baik sebagai pasangan suami istri. Sehingga Nyai Masriyah Amva yakinkan dirinya sebagai perempuan akan terus dan selalu baik-baik saja selama ada K.H Muhammad disisinya.
Hingga pada tahun 2006, K.H. Muhammad dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Tampuk kepemimpinan pesantren ada di tangan Nyai Masriyah Amva dengan jumlah santri yang tidak sedikit. Kepergian sosok K.H Muhammad sebagai figure Pondok Jambu menyebabkan banyak santri izin untuk meninggalkan Pondok Pesantren Pondok Jambu Al-Islami. Dengan segala keterbatasan kemampuan, rasa inferior, dan penuh ketidakpercayaan diri beliau berkomitmen untuk melawan insecure dengan self love, lalu melanjutkan perjuangan suami tercinta dalam mengembangkan pesantren.
Dari sinilah, Nyai Masriyah Amva benar-benar merasakan bahwa perempuan perlu untuk dibekali kemandirian. Perempuan harus berdaya, perempuan harus bergantung hanya kepada Allah SWT karena segala yang dimiliki di dunia ini hanyalah sementara. Allah lah pemilik segalanya, maka kepada Allah lah perempuan bergantung.
Bukan kepada suami, anak, ataupun orang tua. Selama memulai memimpin, beliau juga selalu bertanya pada diri sendiri. Akankah aku sebagai perempuan mampu? Apakah aku sebagai perempuan bisa? Apakah aku sebagai perempuan layak memimpin sebagaimana K.H Muhammad?
Dimulai dengan Self Love, dan Menggantungkan Segalanya pada Allah
Guna melawan rasa inferioritas yang terus menjangkiti pikiran, beliau memulai melawan insecure dengan menanamkan self love. Dalam goretan pena dan narasi puisi yang indah, beliau berkomunikasi dengan Allah. Beliau meminta kekuatan kepada Allah agar bisa menjadi pribadi yang baik. Nyai Masriyah Amva mensugesti dirinya sendiri bahwa beliau adalah pemilik kehidupan dirinya. Dirinya memiliki otoritas penuh untuk menentukan sampai dimana kemampuan dirinya untuk mengembangkan potensinya sebagai manusia. Sedangkan Allah yang akan menuntun dan menunjukkan jalan terbaik yang harus beliau lalui.
Adapun berbagai desas desus dari manapun asalnya yang meragukan kemampuan perempuan dalam memimpin, yang tidak percaya dengan kapasitas perempuan dalam mengambil keputusan sama sekali tidak dihiraukan. Karena beliau yakin bahwa beliau mampu melawan insecure dengan self love, selama ada Allah ada disisinya. Beliau mencintai dirinya, beliau yakin dengan kapasitas dan kemampuannya.
Dalam sebuah puisi beliau mencatat “Aku adalah ratu di kerajaan Barat dan Timur”. Bagi orang yang tidak memahami, goresan pena dan puisi yang beliau tulis akan dianggap sebagai kesombongan. Namun sebenarnya, itu semua adalah luapan hati Nyai Masriyah Amva tentang bagaimana beliau sangat cinta dengan dirinya.
Ketika seseorang sudah bisa menanamkan kecintaan pada dirinya sendiri atau memiliki self love yang kuat, maka segala potensi akan bisa tersalurkan dengan sempurna. Karena self love mampu menumpas segala keraguan dan ketidakpercayaan diri. Seseorang akan merasa bangga dengan segala capaiannya, tidak pusing dengan perkataan orang yang meragukan dirinya karena yakin dirinya kuat dan mampu.
Namun self love ala Nyai Masriyah Amva harus disertai rasa tawakal kepada Allah. Harus diiringi dengan sebuah keyakinan bahwa Allah lah yang mengatur segalanya. Allah lah yang akan membimbing ke jalan mana potensi manusia tersebut bisa dimanfaatkan. Karena self love tanpa disertai dengan sikap tawakal hanya akan berbuah kecongkakan.
Dengan keyakinan yang dibangun itulah, dan dengan terus memohon petunjuk dari Allah SWT, beliau mampu memimpin pesantren dengan baik. Beliau yakin bahwa perjuangan melalui jalur pendidikan sebagaimana yang beliau jalani saat ini tidak akan sia-sia. Beliau yakin beliau mampu melawan insecure dengan self love, lalu memimpin sebagaimana yang dilakukan K.H Muhammad ataupun kyai-kyai lain.
Beliau yakin bahwa berjuang di jalan Allah tidak melihat jenis kelaminnya. Dan beliau yakin semua manusia baik laki-laki dan perempuan diberi potensi yang sama untuk berjuang di jalan kebaikan semaksimal mungkin, sebanyak mungkin, Lii’laai kalimatillah. []