Mubadalah.id – Bayangkan diri Anda sebagai pedagang kecil yang mengais rezeki dengan penuh perjuangan, lalu seseorang dengan pengaruh besar melontarkan olokan yang menyinggung profesi Anda. Apa yang Anda rasakan?
Barangkali hati Anda terluka, harga diri tergores, dan semangat mencari nafkah memudar. Sayangnya, hal seperti ini kerap terjadi, bahkan melibatkan tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi teladan. Lalu, bagaimana jika pelaku olok-olok tersebut adalah seorang da’i yang kita percaya menyuarakan ajaran Islam?
Kejadian terbaru yang menimpa seorang pedagang es teh, yang menjadi bahan olok-olok dalam sebuah candaan oleh seorang da’i terkenal, Gus Miftah, menjadi sorotan publik.
Ucapan yang mungkin dianggap lelucon ringan ternyata menyisakan luka bagi yang menjadi sasaran. Ini bukan hanya soal etika, tetapi juga pelanggaran terhadap ajaran Islam yang dengan tegas melarang perbuatan tersebut.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak membutuhkan ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).
Menimbang Akhlak dalam Bercanda
Kisah pedagang es teh yang menjadi sasaran candaan oleh seorang da’i terkenal, Gus Miftah, mengingatkan kita pada pentingnya menjaga akhlak dalam berbicara, terlebih ketika menyandang status sebagai tokoh masyarakat atau pemuka agama.
Mungkin bagi sebagian orang, olok-olok tersebut hanyalah humor biasa. Namun, bagi si penerima, hal itu bisa menjadi luka batin yang sulit sembuh. Sebagai seorang da’i, setiap kata yang terucapkan bukan hanya merepresentasikan dirinya, tetapi juga mencerminkan ajaran Islam yang ia dakwahkan.
Candaan yang merendahkan martabat orang lain tidak hanya bertentangan dengan prinsip ukhuwah Islamiyah, tetapi juga dapat merusak kepercayaan umat terhadap pemuka agama. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai pemimpin dalam penyampaian ajaran agama, seorang da’i wajib menjaga ucapannya agar tidak menyakiti atau merendahkan orang lain, apalagi di depan publik. Kesalahan kecil dalam lisan bisa menjadi fitnah besar yang merugikan semua pihak.
Peristiwa ini memberikan pelajaran penting: bercanda memiliki batas dalam Islam. Rasulullah ﷺ adalah manusia terbaik yang juga pernah bercanda, tetapi candaan beliau selalu mengandung kebenaran dan kebaikan. Tidak ada olok-olok, sindiran, atau penghinaan dalam tutur kata beliau.
Maka, sebagai umatnya, kita dituntut untuk meneladani akhlak mulia ini. Bercanda tidaklah dilarang, tetapi harus dilakukan dengan menjaga adab, menghormati sesama, dan membawa manfaat, bukan menciptakan keburukan.
Menggunakan Lisan Sebagai Alat Kebaikan
Lisan adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada manusia. Dengannya, kita dapat berkomunikasi, menyampaikan gagasan, dan mempererat hubungan. Namun, lisan juga bisa menjadi alat yang merusak jika tidak dijaga dengan baik.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang ia anggap ringan, tetapi itu membuatnya terjerumus ke neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang Muslim diperintahkan untuk menggunakan lisannya hanya untuk berkata yang baik atau diam. Ucapan yang baik dapat menjadi ladang pahala, memperbaiki hubungan, dan menanamkan rasa kasih sayang di antara sesama.
Sebaliknya, ucapan yang buruk—termasuk olok-olok, celaan, dan hinaan—bisa menjadi penyebab permusuhan dan perpecahan. Tidak ada ruang dalam Islam untuk kata-kata yang merendahkan orang lain, meskipun dengan alasan bercanda. Rasulullah ﷺ sendiri menunjukkan bahwa setiap kata yang keluar dari lisannya adalah kebaikan, bahkan ketika beliau bercanda.
Menggunakan lisan untuk kebaikan bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk syukur atas nikmat Allah. Ketika kita menjaga lisan, kita sedang melindungi diri dari dosa yang tidak terlihat namun memiliki dampak besar. Sebagai umat Islam, kita harus menjadikan lisan sebagai sarana dakwah yang mempererat ukhuwah, menyebarkan cinta kasih, dan menunjukkan keindahan Islam.
Menguatkan Ukhuwah dengan Akhlak Mulia
Menjaga lisan adalah langkah pertama dalam memperkuat ukhuwah Islamiyah. Sebagai umat Islam, kita memiliki tanggung jawab untuk saling menghormati, mendukung, dan menjaga kehormatan satu sama lain.
Allah berfirman “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” ( QS. Al-Hujurat:10)
Akhlak mulia adalah pondasi bagi terwujudnya masyarakat yang harmonis. Ketika setiap individu menghormati orang lain, baik melalui ucapan maupun perbuatan, maka akan tumbuh kepercayaan dan kasih sayang di antara mereka. Sebaliknya, candaan yang menyakiti, olokan, atau hinaan hanya akan menimbulkan perpecahan.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, apa pun yang kita tidak ingin orang lain lakukan kepada kita, janganlah kita lakukan kepada mereka.
Islam adalah agama rahmat, yang ajarannya memancarkan keindahan dan kebaikan. Sebagai umatnya, mari kita terus berusaha menjadi teladan dalam berperilaku dan bertutur kata. Jadikan lisan sebagai sarana untuk memperbaiki, bukan merusak.
Dengan menjaga lisan dan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, kita tidak hanya memperkuat ukhuwah Islamiyah tetapi juga menunjukkan kepada dunia betapa indahnya Islam sebagai agama yang membawa kedamaian. Wallahu a’lam bish-shawab. []