Mubadalah.id – Sebelumnya pada cerita yang telah lalu aku telah bercerita tentang tubuh dan luka ibu. Hari-hari berlalu tanpa jeda. Usiaku semakin bertambah, aku mulai tahu bahwa Bapakku berprofesi sebagai mandor, polisi hutan. Sebuah pekerjaan yang dianggap mentereng di kampung kami.
Tak heran, semua orang memandangnya dengan rasa segan, bahkan para sundal-sundal pun bermimpi menjadi istri atau simpanannya. Dan itu, tanpa sadar, menjadi pemicu pertengkaran setiap malam.
Keributan itu selalu berujung pada luka ibu dengan lebam yang terukir di sekujur tubuh. Aku, yang mulai mengerti, semakin gelisah. Sebegitu besar cintanya pada Bapak hingga rela diperlakukan seperti binatang? Kenapa tidak pergi saja, berontak, melarikan diri dari penderitaan yang tak berkesudahan?
Aku masih tak mengerti, sampai suatu hari, ketika aku pulang dari mengaji, mendapati pintu rumah terkunci rapat. Aku mengetuk pintu dengan cemas. Mendengar aku pulang, Ibuku keluar dari dapur. Wajahnya lebam, matanya sembap, rambutnya acak-acakan. Aku tahu, ia tak ingin aku tahu apa yang terjadi, tapi usiaku yang beranjak remaja terlampau cukup untuk memahami semuanya.
Pemandangan yang mengguncang hati terus menggema. Keluarga Sekar, Dewi, Dasiah, dan Pak Ustad di madrasah tempatku mengaji, membuat hari-hariku penuh dengan pertanyaan. Aku mulai mencari arti hidupku, mencoba mencerna pola hubungan antara Ibu dan Bapakku, dan akhirnya aku menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan keluargaku.
Laki-laki dan perempuan, menjadi orang tua, seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya keduanya saling mendukung, tidak ada yang lebih besar atau lebih rendah. Laki-laki dan perempuan, pada hakikatnya, memiliki peran yang seimbang.
Menjadi pasangan bukan soal siapa yang lebih kuat atau lebih lemah, siapa yang kaya atau miskin, siapa yang harus kita hormati atau siapa yang harus menghormati. Hubungan mereka harusnya berbicara tentang kesetaraan dan saling mengisi, agar tumbuh bersama, bukan dominasi.
Ibu Kembali Terluka
Melihat Ibu kembali terluka, aku merasa cukup. Aku coba membuka pintu yang menghubungkan dapur dengan rumah utama, dan pintu itu terkunci dari dalam. Tanpa berpikir panjang, aku tendang pintu itu, emosi yang membuncah keluar begitu saja. Ibuku terduduk di ranjang, air mata menetes di pipinya. Aku berkata dengan suara parau, “Biar ku laporkan Bapak ke polisi.”
Namun, dengan suara lembut dan bergetar Ibuku menjawab, “Melapor bagaimana? Hanya akan memperkeruh suasana. Aib akan tercecer kemana-mana. Kalau kamu mau ini berakhir, sekolahlah yang tinggi. Buatlah pengorbanan Ibu ini berarti dengan menjadi anak yang sukses dan berpendidikan tinggi. Dengan itu, kamu akan bisa membela Ibu dan orang-orang seperti kami.”
Aku terhenyak dengan jawaban Ibu. Di usiaku yang masih belasan itu, jawaban Ibu membuat hati semakin pilu. Aku pun kembali menendang pintu dengan kesal. Ibu menarik lenganku dan mengajakku menginap di rumah Paman dan Bibi, adik dari Bapakku yang tinggal di sebelah rumah kami. Namun setelah aku tertidur, Ibu kembali pulang. Dengan rela ia tidur di ranjang dapur, tempat menyimpan peralatan bertani, bumbu dapur, dan lukanya sendiri.
Keesokan harinya, seperti hari-hari sebelumnya, mereka tampak seperti orang bodoh, menjalani hidup tanpa banyak bicara, tanpa perubahan yang berarti. Ibuku, wanita pekerja keras, namun pekerjaannya hampir tak berbekas. Tak ada upah yang pantas untuk segala keringat yang ia cucurkan. Setiap hari, dia bangun sebelum fajar.
Ketika mendengar kereta api lewat pukul tiga dini hari, dipastikan Ibu sedang menyalakan kayu bakar pada tungku untuk menanak nasi. Ia mencuci piring dan baju, membereskan rumah, dan pergi ke ladang sebelum aku bangun untuk sekolah. Saat zuhur tiba, ia pulang untuk menggembala kerbau warisan Nenek, kemudian pulang sebelum magrib.
Bergiat dalam Isu Perempuan
Ibuku, perempuan yang melahirkanku, meskipun selalu ada di sampingku, tak ada yang benar-benar tahu rasa sakit yang ia sembunyikan. Perasaannya sungguh tak terjamah. Sementara Bapakku, dia begitu angkuh, kehadirannya begitu superior. Ia seperti bayangan kekuasaan yang tak bisa tersentuh siapa pun.
Ibuku selalu mendorongku untuk terus sekolah meskipun Bapak menentang keras. Dengan pengorbanan yang luar biasa, aku akhirnya dititipkan di pesantren. Setelah lulus dari madrasah aliyah, aku melanjutkan pendidikan ke universitas, berbekal doa tulus dan uang simpanan Ibuku yang ia sembunyikan dengan hati-hati dari Bapak.
Di sana, aku mengenal berbagai organisasi dan pergerakan, beberapa di antaranya fokus pada perjuangan hak-hak perempuan dan anak. Aku memutuskan untuk bergabung dengan salah satu organisasi yang memperjuangkan isu-isu tersebut.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin terlibat dalam perubahan. Bersama teman-teman, kami menjadi pembicara, pemimpin diskusi, dan pionir yang mengusulkan serta memperjuangkan disahkannya rancangan undang-undang untuk melindungi hak-hak perempuan.
Bersama teman-teman, kami mendirikan sebuah lembaga advokasi, tempat perempuan bisa mencari perlindungan, pendampingan hukum, dan kekuatan untuk bangkit. Setiap kali aku menyaksikan senyum mereka, senyum yang tulus dan penuh harapan, aku merasakannya seperti senyum Ibuku yang telah lama menyimpan luka.
Doa dan Tangisan Ibu
Tangisan Ibu yang tersimpan dalam lipatan-lipatan mukena membawaku meraih gelar magister. Meskipun demikian, aku belum ingin membuka hati untuk berumah tangga. Sementara Ibuku, sering kuajak ia mencari rumah baru, tempat berteduh yang lebih damai, menikmati perjuangan baru tanpa bayang-bayang Bapak.
Ingin rasanya membebaskannya dari segala nestapa, membawanya pergi dari lingkaran luka yang terus mengendap. Namun dia, Ibu, tetap seperti yang dulu. Keteguhannya adalah dinding batu, tak tergoyahkan, dan aku selalu kandas di hadapannya. Ia memilih tetap tinggal, tetap bertahan, demi sesuatu yang diyakininya sakral.
“Bagaimanapun, dia Bapakmu,” begitu katanya. Kalimat yang tak pernah berubah, tak peduli seberapa dalam luka yang telah ditorehkan, seberapa sering tangisnya ditelan malam. Dan segala ilmu yang kukumpulkan, segala logika yang kujadikan tameng, entah mengapa tetap tak sanggup meredam amarah dan kutukan terhadap kenyataan itu. Seolah cinta yang diajarkannya adalah luka yang diwariskan turun-temurun.
Ibuku, sepanjang hidupmu adalah pengabdian yang sunyi, mengabdi pada luka, demi masa depanku. Penderitaanmu kau sisihkan demi senyumku. Kebahagiaanmu kau gadaikan untuk masa depan perempuan-perempuan seperti kita, yang diajari untuk sabar, untuk tabah, untuk diam, meski dunia tak selalu adil kepada perempuan.
Keangkuhan Bapak
Kini, keangkuhan Bapakku mulai terkikis, digerogoti usia dan penyakit. Dan Ibuku, bahkan di usia senjanya, tetap memilih setia. Ia mendampingi dalam diam yang lapang, dalam cinta yang tak pernah mengiba, dalam pengorbanan yang tak butuh pengakuan, tak berharap balasan, tak menuntut penghargaan.
“Loh, kok belum mandi?” tanya Ibu sambil membuka pintu kamarku. Aku pun terperanjat. Tanpa berkata, Ibu berbaring di sampingku. Lama kami saling menata kata dalam benak.
“Tadi, ketika Ibu menyuapi Bapak, ia menanyakanmu, ‘Apa Ayuning pulang?’ katanya, dengan isyarat.” Suara Ibu terdengar lirih, seolah mengetuk sanubariku. Hening merambat.
Lalu ia melanjutkan, “Ayuning… sesaat setelah pertengkaran hebat itu, ketika Ibu bersikukuh agar kau tetap mendaftar kuliah, Ibu sempat… menabur racun tikus di makanan Bapakmu.”
Napas Ibu tertahan. Aku berbalik badan, matanya nanar. “Sebelum suapan pertama itu benar-benar masuk ke mulutnya, Ibu tampik piringnya hingga jatuh dan pecah berantakan. Ibu tidak sampai hati… Ayuning. Hanya ibu biadab yang tega dengan sengaja menjadikan putri kesayangannya menjadi yatim…”
Tangan keriputnya menyeka air mata yang jatuh, lalu menggenggam lenganku. “Sudah bertahun lamanya Bapakmu seperti mayat hidup. Maafkanlah dia sebelum suapan terakhirku untuknya tiba. Barangkali dengan maafmu, dia bisa pergi dengan tenang.” Ibu pun tersedu. Dan aku, tak bisa menahan tangis yang memburu di dada. []