Problem yang menimpa perempuan sangatlah kompleks. Mulai dari ranah domestik hingga ranah sosial, yang berdampak melukai fisik hingga berbekas jelas terhadap psikis, dari yang tidak saling kenal antara pelaku dan korban hingga pelaku yang ternyata adalah orang terdekat korban.
Kasus seperti itu masih saja marak terjadi hingga detik ini. Banyak kronologi yang menyebabkannya terjadi. Salah satunya karena ketimpangan sosial. Ada pihak yang merasa dominan yang kemudian memarginalkan pihak yang tidak punya kekuatan. Pihak dominan ini tentulah memiliki relasi kuasa yang lebih sehingga ia berani melakukan tindak yang memarginalkan yang lainnya.
Tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang notabene perempuan (istri) menjadi korbannya, kasus pelecehan dan atau kekerasan seksual bahkan korban berstatus pelajar, buruh perempuan yang diupah tidak layak hanya karena ia adalah perempuan.
Ironisnya, tidak semua problem tersebut dapat diselesaikan dengan payung hukum. Banyak kasus yang menimpa perempuan akhirnya dipaksa diselesaikan dengan kata “damai” karena dianggap terlalu sepele. Atau bahkan pelaku memiliki kuasa lebih sehingga dapat membungkam dan menghilangkan jejak kejahatannya.
Hal tersebut bisa terjadi karena tidak semua orang menghayati mafhum mubadalah, sebuah perspektif dan pemahaman dalam relasi tertentu antara dua pihak, yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan, dan prinsip resiprokal.
Mafhum mubaadalah adalah cara pandang yang meyakini bahwa antara dua entitas yakni laki-laki dan perempuan harus saling menghormati dan bekerjasama satu sama lain. Dengan begitu antara laki-laki dan perempuan tidak terjadi suatu ketimpangan relasi, karena keduanya berkesalingan dan membawa dampak positif tentunya.
Mengingat dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang seluruhnya berisi hal-hal positif, penulis menganggap mafhum mubadalah adalah representasi dari penggalan isi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
“…..mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Mafhum mubadalah dapat mengantarkan seluruh manusia tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, suku, agama ke “depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia.” Yang mana di Indonesia sendiri masih banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran hak-hak kemanusiaan, terutama dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dapatkah dianggap merdeka apabila masih ada rakyat yang tertindas, tidak mendapat keadilan, tidak dapat bersatu karena keperbedaan? Mafhum mubaadalah dapat menjadikan warga Indonesia merasakan kemerdekaan, kebersatuan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran. Karena dengan mafhum mubaadalah kita diajak untuk saling menghormati dan memanusiakan manusia.
Mafhum mubadalah yang juga dikenal sebagai interpretasi resiprokal ini tidak hanya diperuntukkan bagi perempuan saja, laki-lakipun dapat menggunakan dan menerima manfaatnya. Mafhum mubadalah tidak juga hanya untuk membaca teks-teks referensi, tetapi bertindak dengan mafhum mubadalah sangat diperlukan.
Dalam setiap tindakan, dipertimbangkanlah dulu apakah ia akan merugikan orang lain, jika iya, maka perlulah dicari jalan keluarnya agar antara satu dan yang lainnya sama-sama merasakan dampak positifnya dan tidak ada yang dirugikan. Disitulah makna kesalingan dari mafhum mubadalah, relasi kemitraan-kesalingan.
Penulis meyakini andai saja semua orang memegang mafhum mubadalah dan menjadikannya prinsip atau patokan dalam bertindak, pastilah tidak akan ada korban-korban baru yang mengalami kasus serupa seperti yang selama ini telah banyak terjadi. Dengan begitu, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang selalu didengungkan setiap diadakannya upacara bendera terutama tanggal 17 Agustus yang merupakan hari kemerdekaan Indonesia tidak hanya sebagai formalitas saja, tetapi benar-benar dapat dirasakan maknanya oleh seluruh rakyat Indonesia. []