Judul: Apalagi Islam Itu Kalau Bukan Cinta
Penulis: Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit: Yayasan Islam Cinta Indonesia
Cetakan: Cetakan Pertama, November 2018
ISBN: 978-602-53014-5-8
Mubadalah.id – Perayaan Hari Raya Idul Adha hingga saat ini masih begitu terasa. Karena tepat pada tanggal 29 Juni 2023 lalu, baru saja sebagian umat Islam di Indonesia merayakan hari Raya Kurban.
Masih dalam perayaan hari Raya Kurban, ada salah satu buku “Apalagi Islam Itu Kalau Bukan Cinta” karya Husein Ja’far al-Hadar yang menarik untuk saya bahas. Di dalam buku tersebut, pria yang kerap disapa Habib Ja’far menjelaskan tentang makna yang ada dalam kurban.
Menurut Habib Ja’far kurban merupakan salah satu simbol totalitas penghambaan dan kepatuhan Nabi Ibrahim as dan Sayyidah Hajar kepada Allah Swt. Keduanya telah merelakan Ismail yang telah mereka nantikan kelahirannya hingga puluhan tahun, namun Allah Swt justru memerintahkan untuk Ibrahim menyembelih Ismail.
Bahkan Nabi Ibrahm as dan Sayyidah Hajar selalu berdoa kepada Allah Swt untuk dikarunia seorang anak. Doa keduanya diabadikan dalam al-Qur’an surat as-Saffat ayat 100:
رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Artinya: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (QS. as-Saffat ayat 100).
Namun begitu lahir, keduanya harus merelakan anaknya untuk di kurbankan. Inilah, yang menurut Habib Ja’far, sebagai simbol kepatuhan Nabi Ibrahim as dan Sayyidah Hajar kepada Allah Swt.
Terlebih, saat Ismail benar-benar akan disembelih, Allah Swt justru menggantikannya dengan domba. Nah, dengan menggantinya menjadi seekor domba ini lah, menurut Habib Ja’far terdapat banyak teladan dan hikmah di dalamnya.
Pertama, dengan menggantikan Ismail menjadi seekor domba tampaknya ini merupakan cara Allah untuk mengakhiri tradisi persembahan nyawa dan darah manusia pada Tuhan ala kaum Masokhis yang berkembang sebelum masa Ibrahim.
Allah Swt ingin menghapus tradisi keberagamaan dan kebertuhanan yang salah kaprah itu. Allah Swt hendak menegaskan bahwa tak boleh lagi ada kekerasan, apalagi hingga mengorbankan nyawa manusia atas nama-Nya.
Bahkan, sebetulnya, melalui Ismail, Allah Swt sedang memerintahkan kepada kita semua agar menyembelih egoisme dan sifat kebinatangan yang mungkin ada dalam diri kita.
Menjadi Ibrahim dan Sayyidah Hajar
Kedua, Allah Swt ingin menegaskan bahwa sebenarnya setiap kita adalah layaknya menjadi Ibrahim dan Sayyidah Hajar. Masing-masing kita memiliki “Ismail”-nya sendiri-sendiri. “Ismail” itu tak mesti berbentuk anak, namun bisa juga istri, cucu, orangtua, teman, saudara, dan lain-lain.
Bahkan, “Ismail” tak mesti manusia. Ia bisa saja berbentuk harta, jabatan, status sosial, dan lain-lain. Maka, jangan biarkan “Ismail-lsmail” kita itu menumbuhkan egoisme dalam diri, membutakan mata hati dan membuat keruh pikiran kita. Sehingga kita menjadi hambap-Nya yang membangkang.
Lalu, Habib Ja’far menanyakan, siapa “Ismail” kita?
Ia menjawab, tak ada yang saling tahu. Hanya diri masing-masing yang paling tahu. Jangan bertanya pada yang lain. Bercermin dan bertanyalah pada diri sendiri: “Siapa “Ismail”-ku?”.
Yang jelas, kata Habib Ja’far, rumusnya “Ismail” adalah segala sesuatu yang melemahkan iman, membutakan hati, membuat keruh pikiran, dan memicu hawa nafsu.
Kemudian, menumbuhkan ego, membuat sombong, iri, menjadikan diri merasa paling benar sembari menuduh yang lain salah dan kafir. Dan segala sesuatu yang menjauhkan diri dari kebaikan, sekaligus menyeretnya ke jurang kegelapan. Itulah “Ismail” kita.
Lebih lanjut, Habib Ja’far mengartikan makna “sembelih”. Menurutnya, sembelih adalah perintah Allah Swt, untuk menyembelih binatang yang ada dalam diri kita semua.
Oleh sebab itu, terlepas dari itu semua, mari kita semua umat Islam melalui pesan kurban ini, kita mampu menyembelih segala hawa nafsu dan amarah yang ada di dalam diri kita semua. Sehingga, kita akan kembali menjadi manusia yang mampu untuk saling menghormati, mencintai, menyayangi seluruh umat manusia. []