Mubadalah.id — Siapa sangka, setelah pengajian, bapak tua itu bertanya hal remeh kepada seorang kiai setingkat Wakil Ra’is Aam PBNU, kiai Afifuddin Muhajir. Malaikat Jalanan? Pertanyaan yang ia sodorkan kemarin, Minggu (21/7/2024) bakda pengajian tiap hari minggu di kediaman Kiai Afif.
Sembari senyam-senyum bapak tua itu mengungkapkan kegelisahannya tiap kali jumpa kalimat “Malaikat Jalanan” di beberapa titik sekitar rute perumahannya.
Malaikat Jalanan, bagi sebagian orang, hanya lelucon tapi tidak bagi si bapak yang gundah hingga menyentuh sensitifitas keyakinannya.
Saya mengira, kiai Afif akan melewati pertanyaan tersebut. Mengingat antrian pertanyaan lain yang lebih besar dan serius misal respons terkait perhelatan tambang, nasab, dan terakhir kasus waqi’i meninggalkan wasiat dalam khutbah jum’at yang kedua.
Kesetaraan Huruf Arab dan Ajami
Faktanya tidak. Dan perkiraan saya salah. Kiai justru menikmati menjawab pertanyaan tersebut dengan selingan gelak tawa dari para hadirin.
Dalam menjawab pun, kiai Afif tak gamblang boleh-tidak, haram-halal, tidak. Beliau membawa pada hal yang mendasar. “Huruf-huruf itu tak ada yang sakral baik huruf Arab atau bukan” tuturnya. Mengulang penjelasan dalam unggahan di Facebooknya.
“Huruf itu tidak sakral. Yang sakral adalah kalimat atau kata yg melambangkan sesuatu yang sakral seperti asma Allah, asma Nabi dll”.
Jadi, huruf apapun baik huruf arab atau ajami tidaklah sakral selama tidak menjadi lambang atau simbol dzat yang sakral. Keduanya setara. Sebaliknya, huruf apapun yang terangkai menjadi kata atau kalimat dan merujuk makna dzat yang sakral, maka menjadi sakral.
Malaikat Jalanan
Sementara malaikat, imbuh Kiai Afif, adalah makhluk yang sakral. Sehingga tak elok bila kata Malaikat bersanding dengan kalimat yang bermakna “negatif/buruk”.
Tentu saja, yang tak elok adalah kata Malaikat – baik pakai tulisan arab atau latin. Karena huruf apapun yang merujuk kepada makhluk sakral maka kata itu menjadi sakral pula. Karena malaikat, dalam teologi muslim, merupakan perantara turunnya Alquran kepada manusia.
Lalu apakah “Malaikat Jalanan” tak elok dan mengesankan desakralisasi makhluk yang mestinya sakral? Sayang Kiai Afif tak menjawab dengan tegas kendatipun secara konteks dan indikasi mengatakan, tak seharusnya “malaikat” bersanding dengan kata “jalanan”.
Sebabnya, sebagaimana kata saya di muka, bagi sebagian orang seolah lelucon yang konotasinya negatif dan buruk. Itulah kesan kala di majlis pertanyaan itu terlontar. Boleh jadi, alasan inilah yang membuat bapak tua sedikit janggal hingga denyut nadi keyakinannya berteriak, tidak.
Tapi tidak bagi sebagian orang, misal saya. Bagi saya dan beberapa anak muda yang senasib, “malaikat jalanan” merupakan suatu kata untuk terus mendorong menjalani hidup.
Di saat Jibril tak lagi singgah ke dunia sejak Nabi Muhammad wafat. Izrail yang enggan mencabut nyawa sebelum waktunya. Israfil yang sibuk memegang terompetnya, dan Mikail sibuk membagi-bagikan rizki bahkan ke para koruptor.
Kala itulah “Malaikat Jalanan” dengan penuh kesakralannya menemani kita tetap berjalan menuju Tuhan dan merengkuh dari lumbung keputus asaan. Dan boleh jadi, membantu anak-anak yang dibulli bahkan oleh aparat, para petani dari jeratan korporat.
Dalam kondisi ini Malaikat jalanan bukan hanya sekedar tulisan, apa lagi lelucon. Tapi malaikat yang senantiasa berjalan sembari memberikan energi menyelamatkan seorang tak berdaya, menabur cinta atas orang putus asa. Bahkan dengan hilangnya nyawa sebagai pilihan terbaik tinimbang hidup disiksa – layaknya bocah yang mati dugaan penyiksaan aparat. Wahai Malaikat Jalanan. []