Mubadalah.id – Pada sisi lain para penafsir harus selalu memiliki kesadaran yang tinggi bahwa teks-teks al-Qur’an, dan juga Sunnah Nabi Muhammad saw sengaja dikemukakan dalam rangka menciptakan kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan manusia ini, menurut pandangan KH. Husein Muhammad merupakan bagian dari tujuan aturan-aturan Islam.
Imam al Ghazali (w 1111 M) menyebutnya dengan istilah maqashid syari’ah. Dia merumuskan kemaslahatan ini ke dalam lima prinsip dasar atau “al-kulliyyat al-khams”.
Yaitu hifzh al-Din (perlindungan terhadap keyakinan/agama), hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap jiwa), hifzh al-Aql (perlindungan terhadap akal pikiran).
Kemudian, hifzh al-‘Irdh (perlindungan terhadap kehormatan/ keturunan/alat-alat reproduksi) dan hifzh al-Maal (perlindungan terhadap kekayaan/properti).
Imam Abu Ishaq Al-Syathibi (1388 M) dalam karya besarnya al-Muwafaqat fi Ushul al Syari’ah menyatakan hal yang sama. (Baca juga: Bonus Demografi Indonesia: Bisa Menjadi Peluang sekaligus Tantangan)
Al-Syathibi adalah ahli ushul fiqh yang sangat menekankan betapa signifikansinya prinsip-prinsip ini dalam kajian-kajian hukum syari’ah.
Dr. Abdallah Darraz, pada kata penghantarnya dalam buku ini menegaskan bahwa lima prinsip perlindungan dan kemaslahatan ini merupakan dasar-dasar pembangunan masyarakat yang diajarkan dalam setiap agama.
Tanpa dasar-dasar ini dunia tidak akan tegak dan kemaslahatan manusia serta keselamatan manusia pasti terancam.
Maqashid syari’ah (tujuan-tujuan agama/syari’ah) tersebut pada saat ini sangat identik dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia. *
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.