Mubadalah.id – Setiap tanggal 7 Oktober seluruh dunia memperingati Hari Kerja Layak Sedunia. Penetapan Hari Kerja Layak Sedunia ini dalam sejarahnya dilakukan untuk menyatukan pekerja agar berani bicara menentang kebijakan ketenagakerjaan yang lebih mengutamakan peningkatan keuntungan bagi para pemilik modal ketimbang hak dan kebutuhan pekerja.
Mandat Badan Perburuhan Dunia, ILO terkait Hari Kerja Layak Sedunia ini berisi mendorong peluang bagi semua orang untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman dan bermartabat.
Oleh sebab itu, untuk disebut layak kerja, maka kondisi kerja harus memenuhi tiga syarat yakni tersedia tanpa kecuali bagi semua orang usia produktif termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, serta tanpa hambatan gender.
Selain itu, semua pekerja juga harus terlindungi secara sosial tanpa kecuali, termasuk mereka yang terlibat dalam kegiatan ekonomi informal. Syarat ketiga adalah semua pekerja tersalurkan suara dan aspirasinya melalui sistem dialog sosial yang berharkat secara kemanusiaan.
Indikator ILO selanjutnya juga mengatur tentang pekerjaan layak adalah sebagai berikut, yaitu adanya 1. Administrasi Tenaga Kerja, 2. Komitmen Pemerintah pada Lapangan Kerja, 3. Asuransi Pengangguran, 4. Hukum Upah Minimum, 5. Jam Kerja Maksimum.
6. Tunjangan Cuti Tahunan, 7. Cuti Kehamilan Ibu, 8. Cuti Orang Tua, 9. Pekerja Anak, 10. Pekerja Paksa, 11. Pemutusan Hubungan Kerja, 12. Kesempatan dan Perlakuan yang setara, 13. Remunerasi yang Setara antara Pria dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Bernilai Sama, 14. Manfaat bagi Pekerja Celaka.
15. Inspeksi Pekerja (Keselamatan dan Kesehatan Pekerjaan), 16. Pensiun, 17. Ketidakmampuan Bekerja Dikarenakan Sakit/Cuti Sakit, 18. Ketidakmampuan Bekerja Disebabkan Cacat, 19. Kebebasan Berserikat dan Hak Beroganisasi, 20. Perundingan Kolektif dan 21. Konsultasi Tripartit.
PRT Masih Jauh Layak Kerja
Memanfaatkan Hari Kerja Layak Sedunia 2022, sejumlah organisasi mengkritisi situasi kerja layak yang tidak didapatkan oleh PRT. Indikator di atas semakin memperlihatkan bahwa kondisi PRT masih jauh dari kerja layak. Hal ini ditunjukkan dengan pekerja rumah tangga (PRT) yang tidak diakui sebagai pekerja di Indonesia, tidak punya upah layak, tidak mendapatkan perjanjian kerja dan cuti, tidak punya hak untuk berorganisasi, dll.
Hal ini juga menandakan adanya kekosongan hukum yang mengatur dan mengakui PRT sebagai pekerja di Indonesia. Konvensi ILO 189 yang mensyaratkan adanya standar umum dan standar khusus untuk pekerja rumah tangga agar mendapatkan kelayakan hidup seperti mendapatkan upah layah, kerja layak dan hidup layak.
Namun hingga sekarang juga tidak diratifikasi pemerintah hingga kini. Sedangkan RUU Perlindungan PRT sudah 18 tahun mangkrak, dan hingga hari ini terparkir di DPR tak juga disahkan.
Padahal mayoritas PRT di Indonesia jumlahnya mencapai 5 juta orang bekerja dalam kondisi yang jauh dari kategori layak kerja. Di Indonesia, ketiadaan payung hukum ini mengakibatkan banyak hak-hak dasar bagi PRT tidak terpenuhi.
Kondisi ini juga membuat posisi PRT rentan mengalami beragam bentuk kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan berbasis gender lainnya. Hal ini terjadi karena adanya persoalan ketimpangan relasi kuasa, bias kelas, sehingga kerja-kerja domestik yang perempuan pekerja rumah tangga lakukan nilainya sangat rendah posisinya.
400 PRT Alami Beragam Kekerasan
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sejak 2012 hingga Desember 2021 rata-rata dalam setahun sekitar 400 pekerja rumah tangga mengalami beragam kekerasan mulai dari fisik, psikis, ekonomi, kekerasan seksual, dan perdagangan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja rumah tangga bekerja pada situasi yang tidak layak dan sangat rentan mengalami kekerasan.
Dari data dan fakta di atas maka RUU Perlindungan PRT menjadi urgen untuk segera disahkan. Mengingat banyak muatan penting dalam rancangan kebijakan tersebut, utamanya pengakuan pekerja rumah tangga sebagai pekerja sehingga akan melekatkan hak-hak pekerja dan jaminan perlindungan dari berbagai diskriminasi, penindasan, dan kekerasan.
Parlemen maupun pemerintah juga menilai tidak serius membahas RUU PPRT. Mandeknya pembahasan RUU PPRT selama 18 tahun menunjukkan adanya arogansi dan kepentingan politis para pembuat kebijakan.
Padahal kehadiran RUU PPRT akan membongkar pembagian kerja yang tidak adil di ranah domestik dan membangun budaya kerja yang lebih berperspektif gender. Sekaligus sebagai upaya untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa care work atau kerja-kerja pengasuhan dan perawatan merupakan pekerjaan bernilai yang harus mendapatkan penghargaan, apresiasi, dan upah secara layak sebagaimana pekerjaan lainnya.
Karena kondisi ini, untuk itu sejumlah organisasi menyatakan:
1. Mengajak masyarakat khususnya anak muda untuk terus menyebarluaskan kerja layak bagi PRT dan hak-hak pekerja rumah tangga lainnya kepada publik dan media.
2. Mendesak DPR RI untuk mengesahkan RUU PPRT yang sudah 18 tahun mandeg di parlemen
3. Pemerintah segera meratifikasi ILO No.189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No.190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja sebagai mekanisme dalam memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja informal seperti PRT. (Rilis)