Mubadalah.id – Bagi banyak muslim, masjid bukan sekadar tempat beribadah. Masjid adalah rumah. Rumah bagi rindu-rindu yang basah oleh doa, bagi hati orang-orang yang lelah pada dunia. Sejak zaman Rasulullah, masjid berdiri bukan hanya untuk salat. Melainkan tempat inklusif. Ia menampung obrolan, merawat pengetahuan, menjadi ruang singgah siapa saja. Miskin atau kaya, muda atau renta, sehat atau terbatas raganya.
Tapi ideal tak selalu bertemu realitas. Banyak rumah ibadah hari ini, apalagi di desa-desa, seakan menutup pintu rapat-rapat bagi sebagian warganya, terutama para difabel, lansia, dan mereka yang mobilitasnya terbatas.
Masjid semestinya inklusif, menjadi ruang yang menghapus sekat: antara mampu dan terbatas, antara muda yang gagah dan renta yang berjalan perlahan. Semua seharusnya bahu-membahu menata jalan hidup, saling menjaga agar tak ada yang tertinggal di belakang.
Sampai tulisan ini dibuat, banyak mimbar kerap menjulang megah, tapi tangga kecil saja sering luput diperhitungkan. Langit-langit bersuara azan lima kali sehari, tapi suara mereka yang terhalang kursi roda atau tongkat justru sering tenggelam. Padahal, yang butuh masjid bukan hanya kaki yang kuat, tetapi semua, yang hatinya rindu akan pulang, meski raganya tak lagi mudah melangkah.
Potret Rumah Ibadah yang Belum Ramah Difabel
Di kampung saya sendiri, ada sebuah masjid desa besar yang selalu ramai. Jamaahnya sebagian besar orang-orang sepuh. Tapi entah kenapa, lantai masjid itu dibangun agak tinggi dari tanah halaman, tanpa tanjakan, tanpa pegangan.
Tiap kali salat Jumat, saya melihat beberapa bapak-bapak sepuh tertatih menaiki tangga, berpegangan pada bahu orang di sampingnya. Bapak saya sendiri sering merasakan hal serupa. Setiap Jumat, saya menemaninya salat ke masjid kampung.
Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia berusaha menaiki undakan masjid desa yang tinggi tanpa pegangan. Kadang saya membatin, seandainya saja ada pegangan di beberapa sisi, langkah bapak pasti lebih tenang, pundak saya pun tak selalu harus jadi satu-satunya sandaran.
Selain itu, harus diakui juga bahwa beberapa masjid bahkan punya kolam pembatas. Tujuannya mulia: menjaga kesucian. Tapi desain kolam itu sering jadi sekat yang merintangi saudara kita yang memakai tongkat atau kursi roda. Yah, masjid yang inklusif memang sebaiknya sudah mulai dipikirkan.
Masjid Harusnya Rumah Bagi Semua
Kadang hati saya terhenyak: bagaimana kita bisa bicara Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi semesta—jika untuk beribadah pun aksesnya belum setara? Bukankah Nabi Muhammad pernah membangun masjid sebagai ruang merawat semua, tak pandang status, tak pandang fisik?
Tentu, masyarakat desa tidak patut disalahkan sepenuhnya. Kebanyakan mereka hanya tidak tahu, belum paham pentingnya aksesibilitas. Tak ada niat jahat, hanya kebiasaan lama yang belum tersentuh pengetahuan baru.
Namun, saya juga kepikiran, bukankah kita semua akan menua? Seperti lirik Barasuara, “Kita kan tua dan kehilangan pegangan.” Suatu saat, kaki kita pun rapuh, punggung kian bungkuk, dan tangga masjid yang dulu terasa sepele akan berubah menjadi sesuatu yang menyusahkan.
Dalam Islam, masjid adalah baytullah (rumah Allah). maka siapa pun yang datang, termasuk mereka yang berbeda kemampuan fisik, punya hak yang sama untuk disambut dengan layak. Jika pintu masjid justru menolak sebagian orang karena desainnya tak ramah, bukankah kita sedang menutup sebagian jalan menuju rumah-Nya?
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga pernah mengingatkan, agama tidak hanya mengukur dari banyaknya ibadah ritual, tetapi dari kemanfaatannya bagi sesama. Masjid yang nyaman bagi semua adalah wujud nyata dari spirit rahmatan lil ‘alamin itu sendiri. Rahmat yang benar-benar membumi, bukan sekadar terucap di mimbar.
Menuju Masjid yang Lebih Inklusif
Kadang saya berpikir, tak perlu muluk-muluk harus ramah kursi roda, cukup ada pegangan kokoh pun sudah melegakan. Iya, mari mulai dari hal kecil. Buat jalur landai meski sederhana. Sediakan kursi lipat untuk jamaah yang tak sanggup salat berdiri.
Langkah-langkah kecil ini barangkali sederhana, tapi Insya Allah membukakan pintu masjid agar semakin pantas sebagai rumah. Rumah yang menyambut siapa pun, tanpa kecuali. Karena esok atau lusa, mungkin giliran kita yang menua dan membutuhkan pegangan erat-erat. Dan semoga saja ketika saat itu tiba, kita akan selalu menemukan kemudahan. Iya, semoga saja masjid-masjid desa akan lebih inklusif. []