Mubadalah.id – Saya hendak memurwakai tulisan tentang masjid inklusif ini dari sebuah pengalaman pribadi. Pada 26 Maret 2025 lalu, saya bertugas mengisi ceramah tarawih di salah sebuah masjid di daerah Yogyakarta.
Saya berangkat dengan asumsi bahwa para jamaah merupakan masyarakat bersuku Jawa. Alhasil, sebagai upaya penghormatan, saya mencoba berceramah dalam bahasa Jawa Krama Inggil.
“Maaf, pakai bahasa Indonesia saja, Mas. Saya dari Aceh. Tidak paham bahasa Jawa,” seorang jamaah sepuh menghentikan saya sebelum bagian pembukaan usai.
Duh…! Seketika saya sadar bahwa saya belum mampu mewujudkan cita-cita masjid inklusif. Saya masih terpenjara oleh asumsi personal.
Dari situ saya sadar, bahwa niat baik mesti bersambut dengan kontekstualisasi. Muslim di Yogya telah mengindonesia raya dan amat heterogen. Tidak lagi bisa disatuwarnakan, sekalipun dalam aspek bahasa.
Pengalaman saya dan Yogya hanyalah sebuah potret kecil. Kebutuhan umat akan masjid yang mengakomodasi heterogenitas jamaah perlahan menjelma menjadi sebuah kewajiban.
Kritik atas Kampanye Masjid Inklusif
Tema tentang inklusivitas masjid sebetulnya pernah beberapa kali menghiasi kolom Mubadalah.id. Misalnya, pada 19 Februari 2025 lalu, Arina Rahmatika menulis tentang akses masjid yang ramah difabel.
Secara substansi, gaung yang coba mengudara dari tulisan tersebut memiliki similaritas dengan tulisan berjudul Pentingnya Menyediakan Fasilitas Masjid yang Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas (Redaksi, 31 Januari 2025).
Beberapa tulisan lain yang lebih berumur juga telah banyak menyoroti pentingnya inklusivitas masjid atau rumah ibadah. Sayangnya, saya melihat dua kecenderungan problematis yang muncul dari tulisan-tulisan tersebut.
Pertama, fokus dalam narasi-narasi tentang masjid inklusif lebih banyak menyoroti ranah akses dan fasilitas fisik. Bangunan masjid yang belum terjangkau untuk setiap kalangan seakan telah merenggut seluruh atensi kita.
Pengalaman berceramah dalam bahasa daerah yang ternyata tidak dipahami oleh sebagian jamaah menunjukkan bahwa inklusivitas tak hanya perihal bangunan fisik semata.
Inklusivitas bagi rumah ibadah berarti bahwa manajemen yang berjalan telah mengakomodasi upaya pemberdayaan. Selain itu, keterlibatan perempuan juga mesti menjadi prioritas (Agustin, Riska Dwi, dkk. 2024).
Kedua, saya mencermati bahwa kebutuhan akan masjid inklusif telah tereksklusikan untuk golongan tertentu. Yakni, kampanye yang jamak muncul acap menempatkan penyandang difabel sebagai ujung tombak.
Paradigma ini bertalian erat dengan kekeliruan pertama yang memandang inklusivitas sebatas dari ranah fisik. Alhasil, atas nama difabel, kita kerap menuntut agar masjid mau menyediakan lift serta toilet ramah difabel.
Kita terperangkap pada jeratan pikir bahwa inklusif sekadar berarti friendly sekaligus welcome terhadap difabel.
Bila kita telusuri ulang, tidakkah cara-cara begini justru menyudutkan kawan difabel? Bukankah itu berarti kita tengah menopang berdirinya stigma bahwa mereka manja?
Tengoklah tulisan saya bertitel Jangan Memanjakan Penyandang Disabilitas!
Untuk Siapa Masjid Inklusif?
Saya berpendirian bahwa masjid inklusif adalah kebutuhan bersama. Tuntutan akan hadirnya inklusivitas di ruang-ruang ibadah berangkat dari kontekstualisasi terhadap dinamika zaman.
Setidaknya, saya berdiri pada unggahan Tempo lewat Instagram @tempodotco bertanggal 26 Maret 2025. Tempo memuat sedikitnya lima kalangan yang tidak boleh luput dari perhatian masjid.
Kelimanya yakni musafir/perantau, penyandang difabel, lansia, anak-anak, serta dhuafa. Tempo pun menyebut bahwa masjid juga mesti memfasilitasi umat lintas agama yang memerlukan bantuan seperti ambulans.
Pendekatan Tempo menunjukkan kepada kita bahwa masjid inklusif bukanlah kepentingan segelintir orang. Kelima kalangan tersebut merupakan representasi dari masyarakat kita di masa kini dan zaman mendatang.
Saat ini, kita memiliki anak-anak yang ingin kita didik untuk dekat dengan masjid. Sementara, seiring dengan bertambahnya usia, kita akan memiliki perubahan difabilitas dan pada akhirnya menua sebagai lansia.
Fase ini akan terus bergulir sebagaimana perputaran roda kehidupan. Kita akan sampai pada titik di mana kita menjadi makhluk lemah atau dhuafa. Kelak, kita pun akan membutuhkan ambulans saat kita mulai sering sakit-sakitan.
Wal hasil, masjid inklusif tak lain adalah pengejawantahan atas kebutuhan umat beragama akan rumah ibadah sebagai payung sepanjang hayat.
Semoga, berakhirnya Ramadan serta tibanya Syawal di tahun ini dapat menjadi momentum transformasi menuju masjid bersama yang kita cita-citakan. []