Angka gugat cerai yang mencapai 70 persen dari keseluruhan perceraian di Indonesia. Hal ini mendapat perhatian sejumlah pihak, termasuk Kustini Kosasih yang merupakan Peneliti dari Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Hal itu mendorongnya melakukan penelitian bersama rekan sejawat, dan dukungan rekomendasi dari pihak terkait.
Dari hasil penelitian itu digunakan sebagai pijakan dalam pengembangan program Bimbingan Perkawinan (Bimwin), yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Salah satu yang menjadi alasan mendasar dari konsep Bimwin ini, meski trend gugat cerai lebih tinggi daripada talak, namun tanggung jawab untuk melanggengkan perkawinan tidak bisa hanya dibebankan pada istri saja. Tetapi juga suami.
Menurut Kustini, yang ditemui awak Mubaadalahnews beberapa waktu lalu di kantornya, anggapan bahwa perempuan yang menyebabkan perceraian harus diluruskan agar tidak melulu perempuan yang disalahkan. Menurutnya, melanggengkan perkawinan itu adalah tugas bersama suami dan istri. Maka untuk melanggengkannya juga harus bersama-sama. Sehingga di sini pentingnya kesadaran untuk kesalingan itu dikenalkan pada calon pengantin, sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan rumah tangga kelak.
Suami dan istri sudah harus tahu apa peran dan fungsinyanya, serta bagaimana tanggung jawab dari masing-masing pihak dalam rumah tangga. Kustini mencontohkan, suami dan istri bekerja, sementara penghasilan lebih besar istri, tetapi suami tidak bersedia membantu urusan domestik. Lalu dalam kondisi komunikasi yang tidak selesai itu, seringkali muncul salah paham yang berakibat pada perpisahan.
Jadi komitmen untuk keutuhan keluarga itu lemah di antara keduanya. Tidak siap menghadapi resiko bersama. Tidak ada upaya bagaimana terjadi komunikasi yang baik, memahami emosi dan mengatasi persoalan ekonomi. Kemampuan-kemampuan tersebut harusnya dimiliki oleh pasangan calon pengantin.
Kustini membuat ilustrasi, jika orang yang ingin menjadi ahli dalam bidang kedokteran atau arsitek saja, orang harus belajar bertahun-tahun, hanya agar bisa mendapatkan pekerjaan, yang itu ada masa kontrak kerja dan lalu pensiun. Sementara relasi dalam rumah tangga yang itu kontraknya seumur hidup, calon pengantin (catin) menjalaninya tanpa bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai.
Sehingga bermubadalah atau relasi kesalingan menjadi materi penting yang akan diterima catin. Materi itu perlu ada dalam modul yang telah dibuat Kemenag, sebagai buku panduan dan pegangan bagi para peserta Binwin.
Jadi dalam prosesnya, calon pengantin akan diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan informasi tentang apa itu perkawinan, apa kemungkinan resiko yang harus dihadapi, dan bagaimana menjalani rumah tangga yang bahagia. Untuk kemudian peserta berbagi pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.
Semua proses itu dipandu fasilitator yang sudah melalui tahap pelatihan dan bersertifikasi, sehingga diharapkan catin akan mendapatkan pemahaman dan bekal yang cukup sebelum memasuki gerbang pernikahan. Termasuk di antaranya bimbingan praktis tentang pengelolaan keuangan keluarga.
Kustini berharap dengan konsep dan metode Binwin ini akan mampu menekan angka perceraian di Indonesia dan mengembalikan makna perkawinan sebagai sesuatu yang sakral. Dan melanggengkan perkawinan harus diperjuangkan bersama antara lelaki dan perempuan.[]