Mubadalah.id – Beberapa bulan terakhir ini, saya tinggal di sebuah desa bersama dengan sepasang suami istri yang berusia lebih dari setengah abad. Kedua pasutri itu membuka warung makan dengan memanfaatkan teras rumah. Penganan yang mereka jual sederhana: nasi dengan tahu yang diguyur sambal kacang dan juga sayur lodeh. Sebagai pelengkap, kedua pasangan suami istri itu menambahkan beberapa gorengan seperti tahu, bakwan, dadar jagung, dan pisang goreng.
Setiap pagi, warung itu ramai dikunjungi orang. Bahkan sejak gorengan belum dimasak. Sebab, selain makanan berat dan gorengan, mereka juga berjualan bubur kacang ijo dan ketan hitam. Para pembeli sangat beragam, mulai dari anak sekolah sampai para lansia. Mereka datang untuk membeli makanan dan kudapan, dan sesekali tentu saja mengobrol dengan pemilik warung makan.
Hanya berselang satu rumah dari warung makan itu, ada dua warung makan lainnya. Satu berada di depan rumah—tepat sekali di depan warung, yang itu artinya berhadap-hadapan, dan satu lagi di samping rumah—karena rumah menghadap ke selatan, sehingga penjual ini membelakangi warung makan pasutri ini.
Meski ada dua tempat makan lain, warung pasutri ini tetap laris. Pun dua warung yang lainnya tetap punya pelanggan sendiri. Tak jarang malah warung makan pasutri ini tampak ramai orang mengantri, padahal di dua warung lain terlihat longgar.
Apa soal? Selain soal rasa, menurut saya juga karena harga. Saat yang lain menjual sebiji gorengan di harga seribu rupiah, pasutri ini masih menjual gorengan di harga lima ratus perak untuk semua jenis gorengan. Anda pasti terkaget-kaget.
Sebab, di beberapa kota, apalagi seperti Jakarta, harga gorengan lebih dari seribu rupiah. Pun kudapan dan makanan berat harganya murah. Sangat murah malah. Bubur kacang hijau hanya dibandrol dua ribu lima ratus dan nasi dengan sayur lodeh atau tahu hanya lima ribu rupiah. Hanya dengan sepuluh ribu rupiah, Anda bisa memenuhi perut dengan banyak makanan.
Untung dan Rugi
Beberapa kali saya tanya pasutri ini. Apakah mendapatkan untung? Tahu apa jawabannya? Jualan itu tidak melulu soal untung dan rugi. Yaps. Sebuah jawaban, yang menurut saya, agak sulit dilontarkan oleh seseorang yang memiliki tingkat spiritual yang biasa saja. Sebab, tamak dan keserakahan adalah sesuatu yang cukup sulit manusia taklukkan jika berhadapan dengan kesenangan dan kekayaan.
Tentu saja rasa saya terus menyelidik pasutri ini tiap kali sarapan pagi. Satu pagi, saat warung sedang sepi. Saya kembali bertanya, warung-warung tak ada lagi yang jual gorengannya seharga 500 rupiah, kenapa tidak menaikkan harga jual sama dengan yang lain? Sekali lagi, saya kaget mendengarkan jawabannya: dengan harga 500 rupiah saja sudah dapat untung. Untuk apa mengambil untung lebih?
Mendengar jawaban itu, saya merenung agak lama sembari mengingat kembali bagaimana dunia ini bekerja. Nyaris dalam seluruh kehidupan modern saat ini bekerja dalam sistem kapitalisme. Modal minimal dengan untung maksimal. Terus berproduksi untuk mendapatkan untung yang berlipat ganda.
Namun, pagi itu dari sebuah gorengan di sebuah warung kecil di sebuah desa di Jawa ini saya memahami satu hal: kapitalisme hanya bisa kita lawan dengan rasa cukup.
Melihat Kapitalisme Bekerja
Sebagai sistem ekonomi, kapitalisme mempersilakan siapa saja untuk terlibat dan berkompetisi di pasar dengan tujuan utama keuntungan. Oleh karena itu, terbentuklah apa yang disebut dengan pasar bebas–di mana harga ditentukan oleh permintaan dan kesediaan barang. Semakin tinggi permintaan, maka semakin tinggi pula harganya.
Pun sebaliknya, jika permintaan rendah, harganya juga akan menurun. Tak heran, beberapa pelaku pasar yang culas menimbun komoditas pokok sehingga terjadi kelangkaan di pasar. Akal-akalan macam itu mereka gunakan sebagai strategi untuk menaikkan harga jual dan meraup keuntungan yang besar.
Justru pada wataknya yang bebas itulah. Kapitalisme memakan manusia-manusia kecil yang tak memiliki kapital. Sebab, mereka tak pernah dihargai dengan pantas oleh pemilik modal meski tenaganya habis diperas untuk terus menerus berproduksi dan menghasilkan banyak laba.
Tenaga mereka tak pernah dihitung sebagai kapital—yang memungkinkan mereka juga memiliki hak yang sama dengan para pemilik modal. Jika para pemilik modal bekerja dengan uang, kaum kelas pekerja dengan tenaga. Dua alat produksi ini—jika dipandang sebagai sesuatu yang setara—seharusnya menempatkan kelompok pekerja tidak dalam posisi rentan.
Watak lain dari kapitalisme adalah selalu mengakumulasi profit tanpa batas. Oleh karenanya, ia harus selalu mencari cara ruang-ruang baru yang relevan untuk investasi. Dalam lintasan sejarah kapitalis terus terdorong untuk mereorganisasi ruang, mencari bahan baku murah, mengeksploitasi buruh murah (neo-kolonianlisme dan imperialisme).
Melawan Kapitalisme dengan Rasa Cukup
Pada akhirnya, kita sadari atau tidak, kapitalisme mendorong manusia (modern) menjadi konsumtif yang tak mengenal rasa cukup. Sebab untuk mengakumulasi kapital dapat berjalan terus-menerus dan mengalami pembesaran, kapitalisme memakai strategi untuk menghilangkan hambatan (boundless accumulation) melalui structural adjustment, perjanjian-perjanjian yang bersifat legal-binding, dan lain sebagainya.
Maka jangan heran jika banyak hutan digunduli untuk kepentingan industri. Tanah yang tereksplotasi, dan pasir laut yang kita keruk tanpa ampun atas nama membangun kesejahteraan dan memanfaatkan kekayaan alam.
Dalam wajah paling sederhana, kapitalisme bisa terlihat dalam gempuran iklan yang memberikan pesan bahwa hidup Anda belum sempurna jika tidak memiliki sesuatu seperti yang diproduksi oleh kelompok kapitalis.
Manusia mereka beri identitas kelekatan pada barang dan kemilikan—yang dengan narasi mereka menyebutnya prestise dan “harga diri”. Dan dengan itu, masyarakat kelas pekerja—korban dari kapitalisme—pada akhirnya terjebak dalam perangkap yang kapitalisme buat.
Saat menggigit gorengan di warung itu, saya berpikir. Cara sederhana untuk melawan kapitalisme adalah melatih diri untuk memiliki rasa cukup. Sesuatu yang sangat sederhana, tetapi tidak semua manusia bisa melakukannya. Perasaan cukup ini akan mengantarkan pada keseimbangan dan kehati-hatian. []